Sepertinya
aku harus mengubur dalam-dalam impianku untuk menjadi satu-satunya perempuan
dengan gelar Sarjana di kampung ini. Sia-sia sudah semua jerih payah selama
masa sekolah dulu. Semuanya berawal dari datangnya musim kemarau yang
berkepanjangan tahun lalu. Untuk mengembangkan usahanya, Ayah telah mendapatkan
kredit yang lumayan besar dari sebuah bank swasta. Semula, Ayah tidak mengalami
kesulitan untuk membayar cicilan kreditnya karena hasil yang diperoleh Ayah
dari perkebunannya yang luas dan modern sangat berlimpah. Karena itulah Ayah
dapat mengirim aku kekota untuk kuliah di sebuah universitas terkemuka.
Namun,
musim kemarau berkepanjangan tahun lalu telah menghancurkan semuanya. Semua
tanaman di ladang dan kebun Ayah mati kekeringan. Karena stress, Ayah terkena
stroke dan aku pun harus membatalkan niatku untuk melanjutkan kuliah.
Semakin
hari kondisi Ayah tambah menurun. Kami sekeluarga harus menjual barang-barang
berharga kami untuk biaya pengobatan dan membayar cicilan kredit ke bank. Pada
bulan ke-enam, kami sudah tidak punya apa-apa lagi yang dapat kami jual,
sementara rumah dan ladang sudah diagunkan Ayah ke bank untuk mendapatkan
kredit sehingga tidak mungkin kami menjualnya.
Sebulan
yang lalu, beberapa orang petugas bank datang menagih pembayaran cicilan kredit
yang sudah tidak lagi dapat kami bayar selama tiga bulan. Mereka mengancam akan
menyita rumah dan ladang apabila kami tidak dapat melunasi tunggakan pembayaran
dalam waktu dua minggu. Kami hanya bisa menangis, memohon belas kasihan orang-orang
bank itu. Namun, mereka hanya petugas rendahan yang tidak memiliki wewenang
besar, sehingga mereka tidak dapat membantu kami.
Di
tengah kekalutan, datang seorang laki-laki paruh baya yang bersedia membantu
kami. Dia adalah salah seorang terkaya di kampung kami, yang juga sekaligus
merupakan saingan usaha Ayah. Kami mengenal pria ini sebagai Pak Suhendar.
Semua hutang-hutang kami dibayar lunas oleh Pak Suhendar pada hari itu juga.
Kami semua sangat senang dan berterima kasih pada Pak Suhendar, karena tanpa
dia, kami mungkin harus tinggal di kolong jembatan atau emperan toko.
Malam
itu Pak Suhendar datang ke rumah kami dan aku menemani ibu untuk menemuinya.
Tak disangka, ketika ibu pergi menengok Ayah di kamar, Pak Suhendar mengatakan
hal yang tidak pernah terlintas di pikiranku.
“Kamu
sadar, kan … Henny, Utang ayah kamu besar sekali. Saya harus mengeruk tabungan
untuk melunasinya. Tentunya saya tidak mau itu dianggap amal jariah. Saya harus
mendapatkan sesuatu. Saya ingin mendapatkan kamu, Henny,” kata Pak Suhendar.
“Ma
…. Mmaa …maksud Pak Suhendar, bapak mau mengambil saya sebaga istri?” tanya ku
terbata-bata.
“Henny
… Henny …Kalau saya mengambil kamu sebagai istri, maka hubungan utang piutang
di antara kita akan hilang. Saya tidak mau itu. Saya bilang kan tadi saya ingin
mendapatkan kamu, tubuh kamu persisnya. Saya ingin menikmati tubuh kamu sampai
saya anggap utang itu lunas,” kata Pak Suhendar sambil menyeringai.
Begitu
mendengar keinginan Pak Suhendar, Mak langsung meminta Pak Suhendar pergi dari
rumah kami, namun Pak Suhendar membalas ucapan Mak dengan mengatakan bahwa dial
ah yang sebenarnya berhak untuk mengusir kami dari rumah ini. Pak Suhendar
benar dan kami tidak punya alasan lain untuk membantahnya. Aku dan Mak menangis
sambil berpelukan. Namun aku sadar bahwa dengan merelakan tubuhku, aku akan
dapat menyelamatkan kedua orang tuaku yang sangat aku sayangi. Karena itu, aku
mengiyakan permintaan Pak Suhendar.
Malam
itu, Pak Suhendar menjadi lelaki pertama yang menyetubuhi aku. Aku merelakan
keperawananku untuk membayar utang Ayah.
Di
sini, di kamar ini, untuk pertama kalinya aku melayani laki-laki. Pak Suhendar
bahkan tidak mau repot-repot menghabiskan uang untuk menyewa kamar hotel untuk
menikmati tubuhku. Begitu aku mengiyakan niatnya, dia meminta aku bersiap-siap
di kamarku sambil menunggu obat kuat yang diminumnya bereaksi. Aku masih duduk
di ujung tempat tidur ketika Pak Suhendar masuk ke kamarku. Dia langsung
menghampiri aku tanpa peduli bahwa dia membiarkan pintu kamarku terbuka lebar
dan kemudian membelai rambutku. Tiba-tiba dia membuka retsleting celananya dan
mengeluarkan batangnya yang sudah tegang. Aku terkesiap. Itu adalah kali
pertama aku melihat batang, dan batang itu ada di depan wajahku.
Pak
Suhendar meminta aku mengulum batangnya. Dengan tangan gemetar aku memegang batang
Pak Suhendar dan memasukkannya ke mulutku. Air mataku berlinang. Betapa tidak,
aku yang berpendidikan tinggi ini pada akhirnya terpaksa harus mengulum batang
laki-laki tua. Pak Suhendar menjambak rambutku dan memaksa aku untuk mengocok batangnya
dengan mulutku. Meski sempat tersedak, aku berusaha untuk menyenangkan lelaki
tua bangka ini. Pak Suhendar menikmati layananku sambil mendesah dan mendesis.
Setelah
beberapa menit berlalu, batang Pak Suhendar menjadi semakin tegang dan Pak Suhendar
memegang kepalaku dengan kedua tangnnya sambil mendorong batangnya ke dalam
mulutku. Dia mencapai klimaks dan air maninya menyembur keluar di dalam mulut
ku. Karena kepalaku tertahan kedua tangan Pak Suhendar, aku terpaksa menelan
peju yang keluar agar aku tetap bisa bernafas. Sebagian peju Pak Suhendar
meleleh keluar dari mulutku ketika Pak Suhendar menarik keluar batangnya dan
tumpah membasahi bajuku.
Kemudian
Pak Suhendar meminta aku membuka semua pakaian yang aku kenakan. Pak Suhendar
menjadi lelaki pertama yang pernah melihat aku telanjang bulat. Dia memandangi
tubuh mulusku sejenak dan meminta aku rebah di atas tempat tidur, sementara dia
melucuti pakaiannya sendiri. Dia naik ke atas tempat tidur dan kedua tangannya
mulai mengeranyangi dadaku. Dia meremas payudaraku dengan lembut sambil
memainkan pentilnya. Aku terdiam bagaikan patung. Aku berusaha untuk
mengabaikan rasa geli yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya pada buah
dadaku. Salah satu tangannya meraih ke selangkanganku dan membelai lembut kemaluanku.
Sementara itu, dia memainkan lidahnya pada salah satu payudaraku. Aku begitu
marah pada diriku sendiri karena aku seharusnya tidak menikmati apa yang dia
lakukan pada tubuhku, namun aku tidak kuasa menahannya. Pak Suhendar telah
memberikan sensasi yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya. Sensasi yang
membuat aku melambung ke awing-awang.
Tanpa
sadar aku membuka lebar-lebar kedua pahaku dan mengerak-gerakkan pantatku. Pak Suhendar
membuka bibir kemaluanku dan dengan jari-jarinya dia mulai menggosok-gosok
itilku dengan lembut. Mulutnya tak henti-hentinya menyedot pentil buah dadaku.
Tubuhku sudah di luar kendaliku sendiri karena nafsu birahi telah menguasaiku.
Kini aku yang mendesah dan mendesis. Perlahan-lahan kepala Pak Suhendar
berpindah dari dadaku, turun ke perutku dan akhirnya dia menempatkan kepalanya
di selangkanganku. Kini dengan lidah dan bibirnya dia melahap kemaluanku. Habis
sudah pertahananku. Aku kini bahkan menyodor-nyodorkan kemaluanku sambil
memembelai dan sesekali merenggut rambutnya. Sensasi yang tak pernah aku rasakan
itu begitu indah dan nikmat.
Melihat
aku sudah sangat terangsang, Pak Suhendar berhenti dan mengambil posisi di
antara kedua pahaku. Batangnya dia gesek-gesekkan ke itil dan lubang kemaluanku.
Aku yang sudah dikendalikan nafsu justru mengangkat pantatku sehingga ujung batang
Pak Suhendar menyodok masuk ke lubang kemaluanku. Aku tersentak. Sensasi yang
aku rasakan ternyata jauh lebih nikmat sehingga tanpa sadar aku memohon Pak Suhendar
untuk cepat-cepat memasukkan batangnya ke kemaluanku yang sudah basah oleh
cairanku endiri dan liur Pak Suhendar.
“Masukin,
Pak … Masukin …. Aku sudah gak tahan lagi,” kataku.
“Hehehehe
… Siapa tadi yang menagis tersedu-sedu gak mau melayani aku? Hahahaha … Nih,
aku kasih ….” katanya sambil melesakkan batangnya ke lubang kemaluanku yang
masih sempit. “Agak sakit sedikit, kamu tahan ya …”
“Ahhhhhhh
…… Shhhhhhh …. Enakkk …Pak,” kataku. Separuh batang Pak Suhendar kini sudah
masuk ke dalam kemaluanku. Dia mengerakkan pingulnya maju mundur dengan
perlahan. Aku meracau dilanda kenikmatan yang timbul karena gesekan dinding kemaluanku
dengan batang Pak Suhendar. Tiba-tiba Pak Suhendar mengigit leherku dan
menyentak pinggulnya maju sehingga batangnya masuk semuanya ke kemaluanku.
“Aaaaauuu
…. Sakit …. …Pak!” aku tersentak. Selaput daraku kini sudah tembus di dorong batang
Pak Suhendar. Namun rasa pedih di leher dan rasa kaget karena digigit secara
tiba-tiba membuat aku tidak terlalu merasakan pedih yang timbul karena sobeknya
selaput daraku. Pak Suhendar cuma terkekeh.
“Gimana?
Gak terlalu sakit kan kemaluan kamu?”
“Enggak
Pak, tapi pelan-pelan keluar masuknya. Masih agak nyeri …”
Kemudian
Pak Suhendar mulai melakukan gerakan memompanya. Awalnya perlahan-lahan dan
kemudian semakin cepat.
“Ahhhhh
Hennyiiii …. Nimaaat bangeeeet ….. “ kata Pak Suhendar.
Aku
tidak menjawabnya. Aku terlalu sibuk menikmati persetubuhan itu dan sesekali
aku mengangkat pantatku untuk menyambut tusukan batang Pak Suhendar di kemaluanku.
Aku merangkul dan membelai-belai punggung Pak Suhendar. Aku sudah memperlakukan
Pak Suhendar seperti seorang suami. Pak Suhendar mempercepat gerakannya dan aku
pun semakin melambung ke angkasa. Aku merasakan dorongan yang sangat kuat di
bagian rahimku yang membuat aku seperti mengejan. Reluruh otot-otot di tubuhku
mengejang. Kemaluanku berdenyut-denyut.
“AAAAAAAAAAH
……. AAAAAAAAAAAAAHHHHHHHHHHHHHH …” aku menjerit keras ketika aku mencapai
orgasme pertamaku. Hal yang semula aku lakukan karena terpaksa untuk
menyelamatkan martabat orang tuaku ternyata begitu nikmat. Mungkin ini adalah
kompensasi yang diberikan Tuhan atas pengorbananku. Tubuhku begitu rileks
setelah puncak kenikmatan bersetubuh itu aku capai. Aku terbujur di atas tempat
tidur sambil meresapi setiap sensasi yang aku rasakan.
Pak
Suhendar yang belum mencapai klimaks tidak terlalu suka dengan kondisi kemaluanku
yang sangat basah serta tubuhku yang lemas tanpa reaksi. Dia mencabut batangnya
dari kemaluanku dan berganti posisi. Dia menempatkan batangnya di antara kedua
buah dadaku. Dia memegang buah dadaku dengan kedua tangannya sehingga batangnya
terjepit kedua benda lembut tapi kenyal itu. Lalu dia menggerakkan pinggulnya
dan memperlakukan celah di antara kedua buah dadaku seperti yang dia lakukan
pada kemaluanku. Aku yang masih lemas karena orgasmeku hanya terdiam memandangi
kepala batang Pak Suhendar yang timbul tenggelam dari celah itu. Setelah
beberapa menit Pak Suhendar mempercepat gerakkannya dan akhirnya air maninya
menyembur membasahi wajah, leher dan payudaraku. Dia pun ambruk di sisiku
sambil mengatur nafasnya.
“Bukan
main! Asyik sekali yang barusan itu ….” kata Pak Suhendar sambil kembali
mengenakan pakaiannya. “Mulai hari ini sampai batas waktu yang aku tentukan
nanti, kita akan sering melakukannya. Kamu harus siap kapan pun saya ingin
menyelipkan batang ini di kemaluan kamu,” sambungnya sambil berjalan
meninggalkan aku yang terbujur lemas di atas tempat tidur.
Begitu
aku sadar tentang apa yang telah terjadi, air mataku menitik keluar. Aku tidak
menyesali pengorbananku, namun aku menyesali mengapa aku begitu menikmati
persetubuhan itu. Aku merasa jijik pada diriku sendiri, tetapi aku tidak bisa
memungkiri bahwa kenikmatan yang aku dapat dari persetubuhan itu memang begitu
indah. Aku bahkan tidak menyeka mukaku yang berlumuran air mani Pak Suhendar
yang bercampur air mataku.
Mak
yang rupanya sempat menyaksikan detik-detik terakhir persetubuhanku dengan Pak Suhendar
dengan setengah berlari menghambur masuk ke kamar dan menghampiriku “Henny ……
Maafkan Mak dan Ayah ya nak. Karena kami kau harus melakukan ini,” kata Mak
sambil membersihkan wajah. Leher dan dadaku dari air mani Pak Suhendar dengan
sapu tangan yang diambilnya dari meja riasku. (Aku masih menyimpan sapu tangan
bernoda air mani Pak Suhendar itu dan sesekali aku menciumi aroma laki-laki
yang samar-samar masih tersisa di sana). Aku hanya diam mematung di atas tempat
tidurku, tak mapu untuk berkata apa-apa. Mak menutup tubuh telanjangku dengan
selimut dan menyuruh aku untuk tidur. Aku pun terlelap sampai pagi.
Sebelum
pergi meninggalkan rumah kami, Pak Suhendar sempat menaruh beberapa lembar uang
ratusan ribu di atas meja riasku. Aku pergunakan uang itu untuk biaya
pengobatan Ayah dan makan sehari-hari. Sejak saat itu, aku telah menjadi gundik
pemuas nafsu birahi Pak Suhendar untuk waktu yang aku pun tidak tahu berapa
lama. Bioskop Online
Pagi
tadi, ketika aku kembali dari pasar, aku bertemu Pak Suhendar di tengah jalan.
Dia sedang berdiri sambil mengobrol dengan Pak Jono, sopirnya. Rupanya Pak Suhendar
sedang meninjau pembuatan sumur bor di tengah ladangnya. Jalan di desa kami
memang tidak pernah terlalu ramai, sehingga Pak Suhendar bisa memarkir mobilnya
di bahu jalan tanpa menghalangi orang yang lalu lalang. Pak Suhendar menyapaku
dan meminta aku untuk berhenti sebentar.
“Wah
baru selesai belanja rupanya …” kata Pak Suhendar.
“Ya,
Pak … Untuk makan siang dan makan malam Ayah dan Mak nanti,” jawabku.
“Sini
kamu. Aku kepingin sarapan dulu,” katanya sambil menarik tanganku untuk
mendekatinya.
Menyadari
posisiku yang lemah, aku tidak berani melawan. Begitu aku berdiri di
sampingnya, Pak Suhendar membuka retsleting celananya dan aku mengerti apa yang
dia mau. Aku berjongkok dan mulai mengulum batangnya. Sambil terus mengawasi
orang-orang yang sedang membuat sumur bor, Pak Suhendar menikmati “sarapan
pagi” yang sedang aku berikan. Aku pegang batangnya dan aku gerak-gerakkan
kepalaku maju mundur sehingga kepala batangnya keluar masuk dari mulutku.
Sesekali aku jilati ujung batangnya sambil beristirahat. Pak Suhendar begitu
menikmatinya sehingga dia mengerang, mendesis bahkan kadang bergumam tidak
jelas. Suaranya membuat orang-orang yang sedang membuat sumur bor menoleh ke
arah kami. Malu juga rasanya ditonton orang, walau hanya cuma beberapa kepala
saja.
batang
Pak Suhendar sudah begitu tegang dan keras. Dia meminta aku berdiri dan melepas
celana dalamku. Semula aku menolak. “Masak di sini sih, Pak … Kan gak enak
ditonton orang,” kataku. “Tenang saja … Ayo cepat buka,” katanya sambil
mengocok-ngocok batangnya dengan tangannya sendiri. Aku angkat rokku dan aku
copot celana dalamku dengan hat-hati agar kemaluanku tidak terlihat oleh
orang-orang di ladang atau Pak Jono yang berdiri tidak jauh dari kami, setelah
itu aku lipat dan taruh di keranjang belanjaanku. Pak Suhendar meminta aku
berdiri di samping mobil dan menaruh kedua tanganku di atas kapnya. Pak Suhendar
kemudian berdiri di belakangku dan menyingkap bagian belakang rokku. Pantatku
yang telanjang terasa dingin diterpa angin. Aku malu sekali karena pantatku
bisa dilihat oleh banyak orang sekarang.
Akan tetapi bayangan akan disetubuhi
di udara terbuka dan disasksikan orang banyak membuat aku agak terangsang. Pak Suhendar
sempat tersenyum begitu dia menyentuh kemaluanku dari belakang, karena kemaluanku
ternyata sudah cukup basah.
“Wah
sudah basah nih, sudah kepingin ya?” katanya. “Baguslah, coba bungkukkan
badanmu sedikit biar saya gampang masuk,” sambungnya. Aku mnegikuti
keinginannya. Badanku aku bungkukkan sedikit sehinga pantatku agak menonjol ke
belakang. Kakiku dilebarkan. Akhirnya, hal itu pun terjadilah. batang Pak Suhendar
masuk ke dalam kemaluanku yang masih sempit ini. Pak Suhendar masih agak
kesulitan menembus lubang di selangkaganku. Pelan-pelan dengan dibimbing
tangannya batang Pak Suhendar akhirnya melesak masuk. Badanku agak bergetar
begitu aku merasakan gesekan batang Pak Suhendar pada dinding-dinding dalam kemaluanku.
Perlahan-lahan Pak Suhendar mulai menggenjot batangnya keluar masuk kemaluanku.
“Ahhhhh
….. Aaaaahhhhhhh …. Aaaaaaahhhhhhh….” desahku pada setiap tusukan. Aku
menggoyang pinggulku untuk mengimbangi genkotan Pak Suhendar. “Shhhhhhh ….
Yeeeeeaaahhhhhh …… Aaaaaaahhhh …” aku terus mendesah.
“Nikmat
sekali … Goyang terus, Henny … Yaaaa …… Kayak gituuuuu …… Uuuuuuuhhhhhhh …..”
kata Pak Suhendar. Tangan Pak Suhendar memegangi pinggangku setiap kali dia
mendorong batangnya masuk ke kemaluanku. Sesekali dia meremas buah dadaku dari
balik baju.
Sensasi
bersetubuh di pinggir jalan dengan beberapa orang yang menyaksikannya sangat
luar biasa buat aku. Aku merasa seperti wanita jalang yang hanya punya satu
tujuan hidup: seks. Aku sangat menikmati persetubuhan itu sehingga tanpa sadar
aku mengeleng-gelengkan kepalaku sambil terus mendesah, mendesis dan bahkan
berteriak. Kenikmatan itu sudah mengambil alih kendali atas tubuhku.
“Lebih
cepat, Pak …. Lebih cepat ….. Yeeeeeaaaaaahhhh …. Shhhhh …. Genjot lebih
cepaaaaat …. Aku sudah mau keluar …” Pak Suhendar pun memenuhi permintaanku. Batangnya
bergerak lebih cepat keluar masuk kemaluanku. Aku merasa sudah hampir mencapai
orgasme. Tubuhku mengejang dan melengkung ke belakang hingga berhimpitan dengan
tubuh Pak Suhendar.
“Aku
mau keluar Pak …. Aku mau keluaaaaarrrrr …. AAAAAHHHHH …. AAAAAAAAHHHHHHHH
…..AAAAAAHHHHHHHHHHH ….” Aku berteriak melepaskan semua rasa ketika orgasme
meledak-ledak di dalam tubuhku. Orang yang lewat dan para tukang yang sedang
bekerja di lading membuat sumur bor mengalihkan perhatian mereka ke arah kami
berdua. Aku sudah tidak peduli lagi.
Kenikmatan seksual ini jauh lebih berharga
bagiku. Sesaat setelah tubuhku kembali melemas, Pak Suhendar mencabut batangnya
dari kemaluanku dan meminta aku melakukan oral lagi. Hanya beberapa menit saja
aku mengulum, mengenyot dan menjilari batang Pak Suhendar hingga akhirnya batang
itu menumpahkan air mani kental berwarna putih. Sebagian air mani itu membasahi
bajuku dan rambutku. Lalu aku menjilati sisa air mani dari batang Pak Suhendar
hingga bersih.
Setelah
itu aku membenahi rok dan bajuku dan minta ijin Pak Suhendar untuk pulang.
Celana dalam sengaja tidak aku pakai lagi. Di sepanjang jalan, ada beberapa
orang yang menoleh ke arahku ketika berpapasan. Aroma air mani segar yang
tumpah di bajuku mungkin yang menarik perhatian mereka. Aku terus bejalan tanpa
mempedulikan mereka. Sesampai di rumah aku memberika belanjaanku kepada Mak
yang bingung melihat ceceran air mani di bajuku. Tapi dia tidak banyak tanya.
Selitas aku melihat air matanya berlinang. Aku pun tidak peduli. Kalau memng
aku harus menjadi budak seks Pak Suhendar untuk menolong orangtuaku, mengapa
tidak sekalian saja aku menikmati setiap persetubuhan yang aku lakukan.
Bagaimanapun, aku toh harus melakukannya.
Hari
ini aku kembali membawa Ayah ke rumah sakit untuk melanjutkan pengobatannya.
Syukurlah, dokter bilang kondisi Ayah sudah banyak kemajuan. Aku menyempatkan
diri ketika sedang berada di rumah sakit untuk mengunjungi dokter kandungan.
Aku minta pada dokter itu untuk memasangkan spiral di rahimku. Semula dokter
menganjurkan aku untuk mengurungkan niatku, namun dengan sedikit kebohongan dia
pun bersedia melakukannya. Aku katakana pada dokter itu bahwa aku sedang
menyelesaikan kuliah S2-ku. Kehamilan pasti akan sangat mengganggu. Entah aku
dapat ide dari mana untuk mengarang cerita bohong itu. Dengan spiral di
rahimku, aku tidak akan takut lagi persetubuhanku dengan Pak Suhendar berakhir
dengan kehamilan.
Setelah
beberapa hari tidak menyentuh tubuhku, sore tadi Pak Suhendar bertandang ke
rumah. Aku tahu apa maksud kedatangannya dan aku pun sudah menyiapkan diriku
untuk kembali melayaninya. Bayangan akan kenikmatan orgasme membuat aku menjadi
bergairah. Aku sambut Pak Suhendar di pintu depan dan menyilakannya duduk di
ruang tamu. Setelah menghidangkan secangkir teh, aku menemani Pak Suhendar
berbicang-bincang sebentar.
“Henny,
kita ngewek di taman belakang sana yuk …” kata Pak Suhendar. “Sudah lama kan
kita gak ngewek.” “Terserah Bapak saja … Saya kan gak bisa nolak,” jawabku
pasrah.
Pak Suhendar bangkit dari kursi tamu dan menarik tanganku untuk
mengikutinya ke taman belakang rumah. Taman di belakang rumah tidak terlalu
terbuka. Pagar sampingnya lumayan tinggi, tetapi bagian belakangnya sengaja
hanya dipagari dengan pohon perdu setinggi pinggang yang selalu dipangkas rapi.
Di taman itu, ada beberapa buah kursi taman dari batu tanpa sandaran serta sebuah
meja batu besar. Di sekelilingya ditumbuhi berbagai tanaman hias dan bunga. Ah,
bersetebuh di udara terbuka, membayangkannya saja aku sudah terangsang. Tanpa
disentuh pun, kemaluanku sudah basah.
Pak
Suhendar meminta aku menanggalkan semua pakaianku. Dia agak kaget melihat
ternyata aku sudah tidak memakai celana dalam. Setelah tidak ada benang sehelai
pun yang menempel di kulitku, Pak Suhendar meminta aku duduk di pinggir meja
batu besar. Dia juga mencopot pakaiannya, sehingga kami pun berdua bugil seperti
bayi baru lahir. Dia berjongkok di hadapanku dan mengangkat kedua kakiku.
Ternyata dia ingin menciumi dan menjilati kemaluanku “Ssssshhhhhh …. ahhhhhhhhhh
….. Ihhhhh ……. Ohhhhhhhhhhhh ………” kataku sambil terus mendesis menikmati setiap
sapuan lidahnya dikemaluanku.
Setelah
kemaluanku benar-benar basah, Pak Suhendar duduk di salah satu kursi batu dan
meminta aku duduk di pangkuannya. Dengan mudah batangnya masuk ke kemaluanku
ketika aku menurunkan pantatku. Dengan bertumpu pada pundak Pak Suhendar aku
bergerak naik turun sehingga batang Pak Suhendar bergerak bebas keluar masuk kemaluanku.
Sebentar saja aku sudah tenggelam dalam kenikmatan birahi. Aku terus mendesah
dan mendesis. Ternyata Pak Suhendar sangat menyukai tingkahku setiap kali dia
menyetubuhiku. Istrinya atau wanita lain yang sering dia setubuhi biasanya
hanya diam saja menerima segala perlakuan Pak Suhendar. Desahan dan teriakanku
membuatnya lebih bergairah. Sambil duduk seperti itu, itilku selalu bergesekan
dengan jembut Pak Suhendar yang kasar setiap kali aku bergerak turun.
Setelah
bermain dengan posisi duduk selama beberapa puluh menit, Pak Suhendar meminta
aku rebah di meja batu besar dan dia pun menyodokkan batangnya ke kemaluanku
sambil berdiri. Kedua kakiku dilipat ke atas dan ditopang oleh kedua tangannya.
Dengan begitu, kemaluanku menjadi menyembul ke atas dan lebih keras menjepit batang
Pak Suhendar. “Aaaaahhhhhh …… Ini baru enaaaaaakk ….” Kata Pak Suhendar sambil
terus menggenjot pinggulnya. “Genjot yang kuat, Pak …. Ayo … dong ….” Kataku
memberi semnagat. Satu tanganku menjulur ke bawah untuk meraih itilku sendiri.
Sambil terus menikmati setiap tusukan batang Pak Suhendar di lubang kemaluanku.
Sementara tangan yang satu lagi
aku pergunakan untuk memilin-milin pentil buah dadaku.
Tanpa
sadar mulutku terbuka lebar mendapatkan kenikmatan rangsangan itu. “Ahhhhhh …
ahhhhhhh …. Ahhhhhh ….. ahhhhh ….” Keluar dari mulutku setiap kali Pak Suhendar
menyodokkan batangnya. “Kocok yang cepat, Pak … Lebih cepat, lebih cepat ….
Tolong, Pak … Kocok lebih cepaaaattt ….. Aku sudah mau keluaaaarrrr ……Ahhhhhh
……” seperti yang sudah-sudah Pak Suhendar pun memenuhi permintaanku. Dia
menarik dan mendorong batangnya lebih cepat. Ergesekan batang Pak Suhendar dan kemaluanku
mengeluarkan bunyi berdecak-decak. Tubuh kami sudah bermandi keringat. Entah
pada sodokan yang keberapa aku pun mencapai orgasme. “AAAAAAHHHHHHHHHHHHHH
…………… AHHHHHHHHHHHHHH …. AAAAAAAAAAAAAAHHHHHHHHHH ….. EENNNNNNAAAAAKKKKKHHH
!!!” teriakku. Kakiku kaku menjulur ke atas dan pahaku mengatup. batang Pak Suhendar
tak bisa lagi bergerak. batang itu berdenyut-denyut di dalam kemaluanku dan
akhirnya menyemburkan cairan kental memenuhi rahimku. “AAAARRRRGGHHHHHH ……” Pak
Suhendar pun berteriak sambil memancarkan cairan spermanya. “HENNY …. SAYA JUGA
KELUARRRRR…”
Pak
Suhendar tertunduk lemas sambil bertopang pada meja batu dengan kedua
tangannya. Kedua kakiku kini menjuntai lemas. Namun Pak Suhendar sepertinya
sengja tidak mencabut batangnya dari kemaluanku. Bahkan dia beberapa kali
mendorongnya agar masuk lebih dalam. Ketika batangnya sudah benar-benar lemas
lunglai, barulah Pak Suhendar mencabutnya dan rebah disampingku.
“Henny,
kamu tadi menjepit batang saya sehingga saya tidak bisa mencabutnya. Air mani
saya tumpah semua di dalam kemaluan kamu. Apa kamu sengaja agar kamu hamil?”
tanya Pak Suhendar. “Tenang Pak. Aku sudah pasang spiral . Kecil kemungkinannya
aku hamil,” jawabku. “Ohhhh … sukurlah. Aku agak kaget tadi,” kata Pak Suhendar
lega dan untuk pertama kalinya dia mencium keningku.
Setelah
merenggut keperawananku dan menyetubuhiku berulang kali, inilah kali pertama
Pak Suhendar menciumku. Aku memegang wajahnya dan membelainya. Entah siapa yang
memulai, kami kemudian berpagutan. Kami berciuman dengan lembut dan tidak
tergesa-gesa. Indah sekali … Lima menit kami berciuman. Lidah kami bertemu dan
bergelut di dalam mulutku. Karena ciuman itu Pak Suhendar dan aku kembali
terangsang.
Tangan
Pak Suhendar kembali beraksi meremas payudaraku dan memainkan itilku secara
bergantian. Sementara aku membelai dan mengocok batang Pak Suhendar agar tegang
kembali. Begitu batangnya kembali tegang, aku mendorong Pak Suhendar agar rebah
di atas meja batu dan aku naik ke atas tubuhnya. Dengan sekali sentakan, batang
Pak Suhendar kembali masuk ke kemaluanku yang masih basah oleh air maninya
tadi. Dan kami pun terhanyut kembali dalam gelombang birahi Desahan dan
teriakan kenikmatan kembali keluar dari mulut kami.
Sore
itu, dua kali Pak Suhendar menumpahkan air maninya di dalam kemaluanku dan dua
kali pula aku menguyur batang Pak Suhendar dengan cairan kemaluanku ketika kami
orgasme. Setelah puas, Pak Suhendar kembali berpakaian dan pamit pulang. Tak
lupa dia menyelipkan beberapa lembar uang ratusan ribu di tanganku. Aku menerimanya.
Aku butuh untuk pengobatan Ayah, membayar listrik dan makan sehari-hari.
Aku
sengaja tetap tinggal di taman belakang, rebahan di atas meja batu, telanjang
bulat. Air mani Pak Suhendar menetes keluar dari kemaluanku. Mungkin aku sempat
terlelap di atas meja batu itu, karena begitu aku tersadar tubuhku sudah
tertutup kain batik. Mungkin Mak yang menyellimuti aku tadi. Aku pun bangkit
dan pergi ke kamar mandi untuk memberihkan badanku dari keringatku dan keringat
Pak Suhendar. Setelah itu, aku masuk ke kamar dan rebahan di atas tempat tidur
hanya berbalut daster. Aku mencoba memutar kembali rekaman persetubuhan kami
tadi dalam benakku. Nikmat sekali …. Sejenak aku bisa melupakan semua kesulitan
dan masalah yang membelit keluargaku. … Terima kasih, Tuhan…
Aku
mendapat kabar dari Pak Jono tadi siang ketika dia membawakan satu kardus penuh
berisi jamu-jamuan untuk wanita bahwa Pak Suhendar dan istrinya bertengkar
hebat karena ada yang melaporkan “kegiatan” kami berdua di pinggir jalan tempo
hari. Istri Pak Suhendar mengancam untuk mengajukan gugatan cerai, tapi Pak Suhendar
cuma tersenyum saja mendengar ancaman itu. Aku sempat bingung ketika Pak Jono
bilang terima kasih kepadaku. Ternyata setelah pertengkaran itu, istri Pak Suhendar
sudah beberapa kali mengajak Pak Jono bersebadan.
“Saya
sebenarnya berharap bisa ngewek sama Neng Henny, tapi itu kan gak mungkin.
Tapi, dapat sering-sering ngewek sama Ibu saja saya sudah senang … Hehehehe …
Buat selingan, Neng. Bosan juga sama yang di rumah,” kata Pak Jono.
Tadi
sore Pak Suhendar datang berkunjung untuk mendapatkan pelayanan seperti biasa.
Kali ini dia tidak pakai basa-basi lagi. Begitu aku duduk di sampingnya di
sofa, dia langsung menyergap aku dan kami pun berciuman. Selama beberapa puluh
menit bibir dan lidah kami bertautan. Sementara itu tangan Pak Suhendar terus
bergerilya di setiap bagian tubuhku. Baju kami pun stu per satu lepas dari
badan kami, sehingga kami berdua benar-benar telanjang seperti bayi yang baru
lahir.
Di
sana, di atas sofa di ruang tamu, ketika sinar matahari sore masih menerangi
ruangan itu, aku dan Pak Suhendar kembali terhanyut dalam panasnya gelora
birahi. Tanpa mempedulikan bahwa kami dapat menjadi tontonan orang yang lewat
di jalan depan rumah, kami terus bergelut di atas sofa yang kini mulai basah
dengan keringat kami.
Pak
Suhendar mendorong tubuhku hingga rebah di sofa. Kedua kakiku diangkatnya, lalu
disangga dengan bahunya. Perlahan-lahan dia mengarahkan batangnya ke kemaluanku.
Aku membantu membimbing ujung batang Pak Suhendar agar tepat sasaran. Sekali
dorong, batang Pak Suhendar pun menerobos masuk liang sanggamaku. Sambil
memegang kedua betisku,Pak Suhendar mulai melakukan gerakan maju mundur
sehingga batangnya timbul tenggelam dalam kemaluanku. Buah dadaku
berguncang-guncang seirama dengan setiap sodokan batang Pak Suhendar ke dalam kemaluanku.
Aku
meraih sebuah bantal sandaran sofa untuk menyangga kepalaku. Dengan posisi
begitu, aku bisa melihat gerakan batang Pak Suhendar yang keluar masuk kemaluanku.
Setiap kali Pak Suhendar mendorong masuk batangnya, kemaluanku menjadi agak
kempot dan ketika batang itu ditarik keluar, kemaluanku menjadi agak gembung.
Aku sangat terkesan dengan apa yang aku lihat di selangkanganku. Semua itu membuat
aku semakin terangsang.
“Kamu
suka melihatnya, Henny?” tanya Pak Suhendar sambil terus bergoyang.
“Ahhhhhh
……Iya, Ahhh.. tapi aku lebih suka
rasanya.
“Ahhhhhh
…. Yeahhhhh …. Sssssshhhh …. Yeahhhhh …. Ahhhhhhh ….” Jawabku di sela-sela
desahan kenikmatan.
Setelah
sekitar sepuluh menit, kakiku terasa pegal. Pak Suhendar menekuk lututku
sehingga sekarang pahaku bertumpu pada perut dan dadaku. Namun baru lima menit
disodok dengan posisi seperti itu, gentian Pak Suhendar yang merasa pegal dan
dia minta ganti posisi. Aku menyuruhnya berbaring di sofa dengan kedua kaki
lurus di atas sofa. Aku naik ke atas tubuhnya dan menancapkan batangnya kembali
ke kemaluanku. Aku merasa seperti seorang koboi yang sedang menunggang kuda.
“Oooooohh
… yeahhhhhhh …. Hussss …. Hussssss,” kakatu sambil bergaya seperti koboi. “Ya …
Goyang terus, Henny …. Enak sekali …. Teruuuuuss ….” Ujar Pak Suhendar sambil
menggapai buah dadaku dan meremasnya.
Aku
terus menggerakkan pantatku naik turun sehingga batang Pak Suhendar bisa terus
bergesekan dengan dinding-dinding dalam kemaluanku. Setiap gesekan memberi kami
sensasi yang luar biasa dan tidak terbayang nikmatnya. Keringat semakin deras
mengucur dari tubuh kami. Aku mempercepat gerakkanku karena kau merasa sudah
hampir mencapai klimaks.
“Ahhhhh
…. Ahhhhhh … Ahhhhhh ….. Aku sudah mau sampai, Pak …. Aahhhhh …. Ahhhh …”
kataku. “Saya juga ..” kata Pak Suhendar sambil menggerakkan pantatnya sehingga
gesekan antara kemaluanku dan batangnya semakin cepat. Tak lama kemudian puncak
itu pun tercapai.
“YEEAAAAHHHHH….
AAAAAHHHHHHHHH …….AHHHHHHHHHHH,” kami pun berteriak bersamaan melepas semua
rasa. Badanku mengejang dan menekuk ke belakang sehingga aku harus bertumpu
pada kedua kaki Pak Suhendar yang juga menjadi kaku. Tubuhku bergetar hebat dan
akhirnya aku tumbang dan rebah di atas dada Pak Suhendar. Nafas kami memburu
cepat, secepat detakan jatung kami.
Kami
berpelukan dan kembali berciuman selama beberapa menit. Tangan Pak Suhendar
mengelus-elus punggungku sementara aku terus berbaring di atas badannya. Aku
biarkan batang Pak Suhendar tetap di dalam kemaluanku walaupun batang itu sudah
tidak lagi tegang. Aku ingin lebih lama merasakan kehadiran batang itu di kemaluanku.
Ketika akhirnya aku bangkit berdiri, air mani Pak Suhendar yang bercampur
cairan dari kemaluanku sendiri merembes keluar dan mengalir di sisi dalam kedua
pahaku. Aku duduk di sofa dan aku biarkan cairan kami itu membasahi sofa.
Setelah
berpakaian kembali, Pak Suhendar menghampiriku yang masih terduduk lemas di
sofa dan telanjang bulat. Pak Suhendar mengecup keningku dan mengucapkan terima
kasih atas kenikmatan yang baru saja dia dapatkan dari tubuhku. Sebelum
melangkah keluar, Pak Suhendar seperti biasa mengeluarkan beberapa lembar uang
ratusan ribu dari dompetnya. Kali ini uang itu dia gulung dan diselipkannya ke
dalam kemaluanku yang masih saja mengucurkan sisa-sia air maninya.
Setelah
hilang lemasku, aku raih pakaianku yang terserak di lantai dan berjalan masuk
menuju kamarku sambil tetap telanjang. Setelah melempar pakaianku ke atas
tempat tidur, aku ambil selembar handuk. Aku keluar kamar dengan handuk di
tangan menuju ke kamar mandi. Di ruang makan, aku bertemu ibu. Aku berikan uang
pemberian Pak Suhendar yang telah basah terkena air mani dan cairan kemaluanku
tadi ke ibu. Hari ini, uang yang kami butuhkan untuk makan itu benar-benar
keluar dari kemaluanku.
Komentar
Posting Komentar