Sebagai wanita yang tumbuh ditengah keluarga miskin
dilingkungan pesisir, aku terbiasa hidup dan kerja keras membantu orangtuaku
yang nelayan. Kampung kami di sebuah pulau terpencil dan agak jauh dari kota seperti
terisolir membuat tatanan kehidupan bermasyarakat disana kurang terbuka
sehingga aku pun tumbuh menjadi gadis yang agak kurang pergaulan.
Sejak berusia 11 tahun, ayah dan ibuku bercerai. Ibu
kawin lagi dengan lelaki idamannya membawa Fery, adikku. Mereka pun tinggal di
kota yang merupakan rumah barunya. Sejak itu pula aku hidup bersama ayahku
dirumah kami dikampung pesisir itu karena Anto dan Santi, kedua kakakku sudah
merantau kepulau seberang. Kehidupanku bersama ayah berjalan wajar. Untuk makan
sehari-hari, ayah masih sanggup mencari nafkah sebagai nelayan, sedangkan aku
turut membantu bibi berjualan dipasar. Hingga aku menginjak usia 17 tahun, dan
tumbuh menjadi gadis yang kata masyarakat kampungku aku lumayan cantik. Diusia
itu aku disunting Mas Hamdi yang tak lain adalah anak lelaki bibiku.
“Kamu sudah dewasa nak dan setelah menikah nanti jadilah
istri yang taat kepada suami. Ayah harap kamu tidak seperti ibumu yang tergiur
harta kekayaan lelaki lain sehingga kamu menderita. kata ayah setelah menerima pinangan
bibi yang merupakan orang tua Hamdi.
Pesta penikahan yang cukup mewah untuk ukuran kami tak
membuat aku bergembira karena pikiranku tertuju iba pada ayahku yang nantinya
akan sebatangkara kutinggalkan. Tapi aku pun sangat mencintai Mas Hamdi yang
tak lain adalah suamiku.
Dimalam pertama kami, aku benar-benar bahagia bersama Mas
Hamdi. Malam itulah kuserahkan semua yang kumiliki padanya dan sangat berkesan
bagiku.
“Aku sayang kamu Mar..” Mas Hamdi mengecup keningku saat
kami dipembaringan, usai pesta kawin kami malam itu.
“Aku juga Mas..” jawabanku tulus dan kami pun berpelukan
erat.
Kecupan Mas Hamdi dikeningku terus turun ke pipi, hidung,
dan selanjutnya Mas Hamdi mengecup bibirku dan mengulumnya dalam. Tangannya
mulai melucuti kebaya putih yang kukenakan, menyibak bra yang kupakai, lalu menyentuh
puting susuku, meremas dan mencubit kecil susuku.
“Aouhh Mass, geli Mas,” terus terang baru sekali itu aku
dijamah lelaki, perasaanku bukan main takut bercampur enak.
Mas Hamdi tak peduli, bagaikan singa lapar ia kemudian
melucuti seluruh kain yang melilit tubuh bawahku dan juga melepaskan seluruh
pakaiannya.
“Tenang ya sayang, sakit sedikit kok.. nanti juga enak,”
kata itu keluar dari bibir Mas Hamdi saat menindih tubuhku.
“Aahh mass, sakit sekali Mas,” aku agak menjerit saat
benda tumpul milik Mas Hamdi mengoyak vaginaku.
Malam pertama itu Mas Hamdi menyetubuhiku dengan
beringas, dan tak memberiku kesempatan untuk mencapai klimaks yang nikmat. Tapi
aku pikir mungkin itulah gaya seks pria pesisir yang terbiasa hidup keras
sebagai nelayan.
Meski aku bahagia hidup bersama suamiku, namun rasa Bakti
pada ayah tak pernah kusingkirkan. Walau kami hidup beda rumah dengan jarak 200
meter.
Tetapi seringkali kubawakan ayah makanan dan minuman dan biasanya
tiga hari sekali. Apalagi Mas Hamdi pun menyuruhku untuk tetap memperhatikan
ayahku yang mulai tua dan jarang melaut lagi. Tapi selama itu segela sesuatunya
masih berjalan lancar.
Hingga suatu siang, empat bulan setelah aku menikah, aku
membawakan makanan dan minuman kerumah ayah yang letaknya agak terpisah dari
rumah lainnya dikampung kami. Saat itu aku sudah hamil dua bulan.
“Ini yah, saya bawakan sayur dan ikan. Ayah nggak usah
masak lagi untuk nanti malam tinggal dihangatkan saja,” kataku setiba dirumah
ayah.
“Duh.. makasih ya sayang. Kamu ini benar-benar anak
berBHakti,” kata ayah seraya menghampiri dan mengecup keningku.
Kupikir kecupan itu pertanda sayang seperti yang selama
ini diperbuat padaku, kubiarkan saja itu dan kemudian aku ke dapur untuk
memindahkan makanan dari rantang yang kubawa kepiring didapur. Ayah rupanya
membuntutiku dan ikut kedapur, lalu disaat tanganku sibuk menyusun piring
dimeja makan, ayah memelukku dari belakang.
“Kamu sudah hamil ya sayang,” tanya ayah sambil memeluk
dan memegangi perutku dari belakang.
“Iya yah, sebentar lagi saya akan kasih ayah cucu,”
jawabku membiarkan ayah tetap memelukku, karena kupikir ayah sangat
menyayangiku.
“Kalau mulai hamil, perutmu harus sering diusap dan
dipijit pelan supaya bayinya nggak turun,” ayah berkata itu sambil mengusap
perutku dengan posisi tetap memelukku dari belakang.
Kubiarkan ayah melakukan itu sementara aku tetap sibuk
memindahkan makanan untuk ayah.
“Si Hamdi sering mijitin kamu nggak sayang,” ayahku
bertanya lagi.
“Uh ayah ini, Mas Hamdi kan kerja, pulangnya capek mana
sempat mijitin saya. Bukannya saya sebagai istri yang harus mijitin dia?”
kujawab ayah dan melepaskan pelukan ayah, lalu aku pindah keruangan depan.
Siang itu, seperti biasanya sebelum pulang aku sempatkan
untuk ngobrol bersama ayahku. Selain menanyakan kebutuhan apa saja yang harus
kubawakan, aku juga kerab berkeluh kesah tentang sikap mertuaku, ibu Mas Hamdi
yang sampai saat itu belum bisa kuakrabi sebagai menantu.
Tapi siang itu ayah justru membicarakan masalah
kehamilanku, masalah perawatan janin diperutku, termasuk masalah harus rajin
diusap dan dipijat perutku.
Nah.. suamimu kan nanti malam melaut, kamu datang kemari
saja supaya ayah bisa pijitin ya,” begitu pinta ayah sebelum aku pulang.
Aku pun mengiyakan saja, soalnya biasanya Mas Hamdi
pulangnya agak siang setelah melaut. Lagipula, dirumah mertua aku sering
bingung mau melakukan apa, maklum mertuaku belum sreg benar kepadaku
kelihatannya.
Malam itu setelah Mas Hamdi pamit melaut, aku langsung
kerumah ayah. Tentu saja aku pamit ke mertua untuk menengok ayah, kataku pada
mereka, ayah sedang sakit. Waktu aku datang, ayah sedang mendengarkan siaran
radio sambil menghisap rokok tembakau lintingan diruang tamu.
“Malam yah.. kok ngelamun sih?” sapaku sambil bergelayut
dilengan ayahku.
“Iya sayang, ayah lagi ingat masa muda dulu,” ayahku
tetap asyik dengan rokok lintingnya.
Dari bibirnya segera meluncur secuil perjalanan hidupnya
yang sebenarnya sudah sering diceritakan pada kami, anak-anaknya.
“Tuh kan ayah jadi cerita, jadi nggak nih mijitin saya?
katanya sayang sama cucu yang masih diperut ini?” aku merajuk menghentikan
ceracau ayahku tentang hidupnya.
“Iya..iya, tapi sekarang kamu mandi dulu sana,” perintah
ayahku.
Aku langsung mandi dan terus kekamar ayahku. Saat itu
seluruh pakaianku kutanggalkan dan hanya menggunakan kain sarung milik ayah
untuk menutup tubuhku. Biasanya dikampung ini, melilit tubuh dengan sarung sudah
jadi tradisi tiap wanitanya.
“Sekarang berbaring diranjang itu ya sayang, ayah
ambilkan minyak kepala dulu,” ayahku memandangi tubuhku dengan senyuman, lalu
meninggalkanku sendirian dikamar, aku pun menunggunya sambil berbaring
diranjang. Tak lama kemudian ayah datang membawa sebotol kecil minyak kelapa.
“Memang susah anak muda sekarang, nggak perhatian sama
istrinya,” ayahku bicara sendiri ketika duduk ditepi ranjang.
“Iya, untung saya masih punya ayah yang perhatian ya
yah,” kataku.
Tangan ayah segera menyibak kain yang kukenakan dibagian
atas, sehingga susuku tanpa pembungkus bebas terlihat. Tetapi aku sama sekali
tak risih karena sejak kecil sampai gadis pun aku sering dilihat mandi
telanjang oleh ayah. Jemari ayah yang kasar mulai mengusapi perutku dengan
minyak kelapa, sesekali tangannya memijit bagian perutku.
“Tuh kan? Posisi bayimu agak turun, kamu sering merasa
sakit ya?” ayah bertanya sambil tangannya terus memijiti perutku.
“He-eh yah.., sering capek juga kakinya,” jawabku
menikmati pijitan ayah.
“Ya sudah, nanti ayah pijitin seluruh badanmu ya,” ayah
mengatakan itu, lalu pijitannya pindah kebetisku, pijatannya bergantian betis
dan perut.
Sambil dipijit, aku dan ayah tetap ngobrol, mulai masalah
harga ikan yang sedang turun, sampai masalah masa lalu ayah dengan ibuku.
“Uhh.. sakit yah,” aku agak berteriak saat merasakan
sakit dibagian perut saat tangan ayah memijit.
Ayah menghentikan pijitannya, tetapi tangannya tetap
berada diatas perutku.
“Ini ya yang sakit Mar? Wah.. ini bisa bahaya, kalau
dibiarkan nanti anakmu bisa cacat lho kalau lahir,” kata ayah dengan raut wajah
serius.
“Cacat? Jadi gimana dong yah, Mar nggak mau punya anak
cacat,” aku takut sekali waktu itu, takut menanggung malu jika kelak melahirkan
anak yang tak normal.
Ayah tak langsung menjawab pertanyaanku, ia kelihatan
sedang berpikir, tapi kemudian tersenyum.
“Bisa kok ayah obatin, tapi ayah harus siapin obatnya
dulu ya,” ayah kemudian meninggalkanku sendirian dalam kamar. Tak lama ayah
datang lagi dan membawa baskom plastik berisi air dan beberapa kembang kenanga.
Ayah kemudian menjelaskan padaku bahwa ia akan mengobati
kehamilanku dengan pengobatan tradisional.
“Tapi ayah harus masukan air kembang ini kedalam rahimmu
sayang, kamu bisa tahan sakit sedikit kan?” ayah mengatakan itu dengan sangat
meyakinkan.
Semula aku ragu, apalagi ayah bilang kalau dia akan
memasukan air kembang itu dengan cara menyemburkannya divaginaku. Tetapi keraguanku
pupus setelah ayah berkali-kali meyakinkanku. Sampai sekarang pun aku tak tahu
pasti apa kata ayahku itu benar atau hanya sekedar akal bulusnya saja.Tetapi
yang jelas, saat itu aku menurut saja ketika ayah menyingkap sarung yang
kukenakan dibagian bawah dan meminta aku mengangkangkan kaki dalam posisi
terlipat, seperti posisi wanita yang hendak bersenggama dengan lelaki.
Ayah sendiri naik keranjang dengan posisi bersimpuh
dihadapan kangkangan kakiku. Terus terang aku malu dan kikuk menyadari betapa
vaginaku terpampang jelas tanpa penghalang didepan mata ayahku.
“Kamu tenang saja ya sayang, tidak lama kok,” katanya,
lalu meneguk air kembang dalam baskom dan menampung dalam mulutnya yeng
menggelembung.
Aku sangat penasaran apa yang akan terjadi selanjutnya,
apalagi saat kepala ayah mulai merunduk melewati dua pahaku, mendekati vaginaku
yang tak terbungkus CD. Beberapa detik kemudian kurasakan dingin mejalar
dipermukaan kemaluanku, rupanya ayah sudah menyemburkan air dalam mulutnya
tepat kevaginaku.
Yang kurasakan selain dinginnya air kembang, juga
perasaan geli dibagian vitalku. Ayah mengulangi lagi meneguk air itu dan
menyemburkan ke vaginaku, beberapa kali.
Hal itu menimbulkan perasaan tak menentu padaku, geli,
dingin bercampur enak.
“Gimana Mar, sudah agak membaik rasa sakitnya?” ayah
bertanya padaku.
Namun belum sempat kujawab tangan kanan ayah tiba-tiba
membelai vaginaku.
“Sabar ya, ayah harus pastikan air kembang itu masuk
sampai kerahimmu,” katanya, sambil tangannya terus mengusapi bibir vaginaku.
Usapan tangan ayah divaginaku yang sudah basah terkena
air kembang membuat sensasi tersendiri kurasakan, aku pun tak bisa berkata-kata
lagi karena mendadak lemas seluruh sendi tubuhku.
“Uhh yahh.. sudah yah.., Mar nggak bisa tahan geliinya,”
bibirku meminta ayah menghentikan aksi usapnya, tetapi kedua tanganku tak
menahan tangan ayah yang aktif, tetapi tanganku justru meremasi sprei ranjang
kanan dan kiri.
“Disini ya sayang yang geli itu,” ayah bertanya sambil
jempol kanannya menekan klitorisku dan menguyak-nguyak benda sensitifku itu
memutar kecil.
“Nnnghh.. iya yah.. geli sekali disituhh,” nafasku mulai
tersengal menahan geli yang nikmat dibawah usapan jempol ayah dibagian
klitorisku.
Rasa gatal yang sangat kurasakan dipucuk-pucuk kedua
susuku yang putingnya sudah mengembang pertanda birahi yang kualami.
Ayah meneruskan aktifitasnya mengusapi klitorisku dengan
jempolnya, usapan itu perlahan melemah dengan posisi jempol beranjak menjauh
dari klitorisku.
Saat itu aku sudah sangat terangsang oleh ayah, pinggulku
kini yang naik mengejar jempol ayah agar tak meninggalkan klitorisku.
Aku menggelepar dengan napas sudah sangat tidak beraturan
lagi, pikiranku sudah melayang dan tak ingat lagi bahwa yang merangsangku
adalah ayahku sendiri.
Tapi disaat aku sudah sangat terangsang seperti itu, ayah
justru menghentikan aktifitasnya di klitorisku.
Pinggulku yang tadinya sedikit mengangkat mencari jempol
ayah langsung terjerembab lagi, aku terpejam menahan gejolak yang berkecamuk
ditubuhku.
“Auhh yahh, kenapa?” tanyaku agak kecewa, tapi mendadak
malu saat ayah menatapku, malu karena aku seperti meminta hal yang lebih dari
ayahku.
“Mar.. sepertinya air kembang itu tidak masuk benar dalam
rahimmu. Ayah ulangi semburannya ya,” kata ayahku.
“Yah.. sudah saja ya, Mar.. nggak tahan gelinya,”
pintaku, tapi anehnya tubuhku tetap berbaring seolah tak ingin menjauhi ayah.
Ayah tak menjawab permintaanku dan kembali meneguk air
kembang lalu ditampung dimulutnya.
Aku memejamkan mata saat kepala ayah kembali tunduk mendekat
ke pangkal pahaku.
Aku kembali merasakan dingin di permukaan vaginaku saat
ayah mulai menyemburkan air kembang, tapi kali ini lain, setelah semburan itu
aku merasa ada benda kenyal nan lembut menyapu permukaan vaginaku.
Kupikir itu jemari tangan ayah, tetapi tidak, itu bukan
tangan, benda bertekstur lembut, hangat, dan kenyal itu adalah lidah ayah. Ya,
ayah mengusapi tepatnya menjilati permukaan vaginaku dengan lidahnya.
“Ihh.. mmpphh yaahh, aauhh hhsstt,” aku tak kuasa menahan
rasa nikmat dijilati ayah, terus terang sejak kawin dengan Mas Hamdi belum
pernah aku diperlakukan seperti itu.
Mas Hamdi selalu main langsung tembak, tanpa rangsangan
lebih dulu sehingga selama ini aku sendiri belum pernah merasakan apa yang
disebut kenikmatan orgasme.
Jilatan ayah mulai meningkat, kini lidahnya justru sering
menelusup belahan bibir vaginaku yang mulai banjir.
Cairan bening kental dari vaginaku diseruput ayah seperti
menyeruput kopi hangat dari gelasnya.
“Ngghhsstt.. yah.. Mar nggak bisa tahnn.. ouhh..” aku
mulai menggelinjang tak menentu rasanya.
Namun disaat aku mulai melambung tinggi, ayah
menghentikan lagi aktifitasnya di vaginaku, membuat aku menggelepar menahan
birahiku sendiri.
“Mar.. ayah agak sulit masukan air kembang itu kerahimmu.
Tahan sebentar lagi ya,” katanya.
“Yah.. cepetan ya, Mar nggak kuat lagi, geli sekali yah,”
aku merasa semakin lemas karena birahiku dipermainkan seperti itu.
Saat itu aku berhayal seandainya Mas Hamdi ada tentu
dialah yang akan memuaskanku dengan penisnya, karena aku merasa sudah siap
betul dan ingin sekali untuk disetubuhi lelaki. Tapi pikiran itu kutepis,
karena bukankah ayah yang sedang mengobati kandunganku? Aku tak berpikir bahwa
ayah pun terangsang saat itu.
Tapi tak lama kemudian kurasakan nafas ayah kembali
mendekati vaginaku, setelah meneguk air kembang yang hampir habis di baskom. Ayah
tidak lagi menyemburkan air itu dengan berjarak dari vaginaku, tetapi bibir
ayah langsung menempel dibibir vaginaku dan ia menyemburkan air itu. Kurasakan
aliran air itu masuk hingga ke dinding rahimku, rasanya sama seperti saat Mas
Hamdi menumpahkan spermanya ketika kami bersenggama.
Setelah itu bibir ayah melumati bibir vaginaku, lidahnya
mulai masuk dibelahan vaginaku membuat nikmat yang sangat dibagian sensitif
itu, aku benar-benar kepayang dibuat ayah. Kini jemari tangan ayah turut
menyibaki vaginaku, membukanya lebar dan lidahnya menyapu klitorisku dari atas
kebawah dan sebaliknya dari bawah keatas.
Ouhh.. yah.. suddhh yaahh, Mar mau kencingg rasanya ah..”
seluruh sendiku terasa ngilu dan mengembang bersama kedutan kecil didinding
vaginaku, aku hampir sampai puncak orgasmeku.
“Iya sayang, sudah selesai kok,” lagi-lagi ayah
menghentikan aktifitasnya, tapi saat kubuka mata ternyata kali ini tubuh ayah
sudah berada diatas tubuhku dengan bertopang pada dua tangannya.
“Yah.. kok ayah begitu? Ouhh yahh.. ahh,” belum habis
kagetku karena ayah menindih, aku merasakan ada benda keras yang masuk ke
vaginaku.
Ternyata ayah sudah melepaskan celananya dan penisnya yang
tegang dimasukan ke vaginaku.
Aku hendak berontak karena hal itu tabu dikampungku dan
dimanapun, bukankah seorang ayah tak boleh melakukan itu pada anak
perempuannya.Perang bathin kualami saat itu, aku ingin mendorong tubuh kekar
ayahku tetapi aku sudah sangat lemas saat itu. Sementara dorongan birahiku
ingin segera terpuaskan dengan senggama bersama lelaki.
“Oohhgg, Mar.. angap saja ayah Hamdi Mar.. ouhh ayahh
nggak tahhann,” ayah tetap menindihku dan kini pinggulnya mulai naik turun
diatas tubuhku membuat penisnya bebas keluar masuk diliang nikmatku yang sudah
licin dan becek oleh cairanku sendiri.
“Nghhg.. aahsstt, yahh..” aku tak kuasa lagi menolak
penis ayah yang mulai mengobati rasa gatal di vaginaku.
Dengan mata terpejam aku malah ikut menyambut goyangan
ayah dengan goyangan pinggulku. Merasa aku tak melawan, ayah pun semakin liar menyetubuhiku,
anak kandungnya.
Kini sambil menggenjotku, bibir ayah menjelar menghisapi
puting susuku, sehingga senggama kami sempurna dan kenikmatan yang kurasakan
pun semakin tak tertara bila dibanding senggamaku bersama suami.
Sekalipun usia ayah sudah kepala enam, tetapi kondisi
fisiknya masih kuat dan kurasakan penisnya pun masih normal dengan ukuran yang
sedikit lebih besar dari punya Mas Hamdi.
“Yahh.. Marr mauu kencinghh yahh uuh..sstt,”
Sepuluh menit berlalu dalam senggama, kurasakan
kenikmatan mulai mengumpul di pangkal pahaku, bongkahan pantatku, ujung-ujung
jari kakiku, dan juga di liang nikmatku. Kedutan semakin terasa didinding
vaginaku, dan akhirnya kurasakan kejang dibagian pinggul sampai kakiku, kakiku
kemudian kugunakan untuk menjepit pinggul ayah dan menekannya agar lebih dalam penisnya
bersarang di vaginaku.
Tanganku memeluk tubuh berkeringat ayah, sementara
kepalaku terangkat dengan bibir menyedok kulit dada ayah.
Dalam kondisiku yang puncak itu, ayah masih menggejot
penisnya beberapa kali sebelum akhirnya ayaHPun mengejang dan mengerang diatas
tubuhku.
“Ahhgg Mar.. ngghh,” ayah lalu lunglai dan berbaring
disampingku yang juga lemas tak bertenaga. Tulangku seakan dicopoti saat itu,
namun kuakui itulah kali pertama aku kepuncak nikmatnya senggama.
Malam itu aku tidur bersama ayahku dirumahnya, dan
paginya kami seperti melupakan kejadian itu. Akupun pulang kerumah mertua pagi
harinya, dan bersikap seperti biasa saat Mas Hamdi pulang melaut.
Kejadian pertama bersama ayah, membuat aku agak malu
untuk datang kerumah ayah lagi. Sudah dua minggu ini aku tidak menjenguk atau
mengantarkan makanan untuk ayah. Entahlah, walau sebenarnya aku tak keberatan
disetubuhi nikmat oleh ayah, tetapi aku malu kalau disangka ayah ingin mengulangi
kenikmatan itu lagi.
Sore itu, sebelum Mas Hamdi melaut seperti biasa ia
meminta jatah dilayani kebutuhan biologisnya. Sebagai istri kulayani suamiku
semaksimal mungkin. Tapi seperti biasa juga, Mas Hamdi hanya memikirkan
kepuasannya saja, dan sudah mengejang menyemprotkan air maninya sebelum aku
merasa terangsang, apalagi orgasme.
“Mhh, aku sayang kamu Mar..” Mas Hamdi selalu mengatakan
itu sambil mengecup keningku setiap kali usai menikmati klimaks diatas tubuhku,
lalu ia mengenakan kembali pakaiannya dan meninggalkanku sendiri dikamar, ia
pun melaut bersama teman-temannya.
“Hati-hati Mas..,” hanya itu yang kuucapkan melepas pergi
suamiku.
Aku tetap berbaring diranjang tanpa mengenakan kembali
pakaianku, rasa kecewa terhadap suamiku tumpah lewat air bening yang meluncur
ditepian mataku.
Aku merasa tersiksa dua minggu ini setiap kali berhubungan
intim dengan suamiku. Tersiksa karena tak mendapatkan nikmat yang maksimal
seperti yang kudapat dari ayahku. Setelah suamiku menghilang dibalik pintu lalu
aku bangkit dan mengunci kembali pintu kamar.
Kembali berbaring diranjang tanpa busana dan aku
menghayalkan kenangan nikmat bersama ayah.Tak terasa tanganku mulai meremasi
payudara sendiri, sambil membayangkan ada lelaki yang sedang mencumbuiku sehingga
aku pun menjelajahi bagian tubuh sensitifku sendiri.Malam itu aku mencapai
orgasmeku dengan masturbasi sambil menghayalkan ayahku lalu tertidur pulas.
Komentar
Posting Komentar