Perkenalkan namaku Yasinta. Aku adalah
seorang wanita berusia 30 tahun yang berstatus janda beranak 1. Dalam
keseharianku. Aku selalu mengenakan baju kurung longgar dengan bawahan rok
semata kaki. Kedua kakiku senantiasa terbalut oleh kaus kaki.
Aku telah menjanda sejak 4 tahun yang lalu,
akibat konflik yang tidak terselesaikan dengan mantan suamiku. Setelah usia
pernikahan kami menginjak 1 tahun, mantan suamiku mulai menunjukkan watak
aslinya. Ia mulai suka bermain tangan ketika marah. Begitu pula, ia tidak
pernah memberiku nafkah, karena dia seorang pengangguran.
Secara umum, ia bukan laki-laki yang
bertanggung jawab.Pada akhirnya, ia pun menceraikanku, setelah berselingkuh
dengan wanita lain. Pada saat itu aku sedang mengandung anak hasil perkawinanku
dengannya. Kekalutan yang kualami akibat perceraian itu membuatku mengalami
depresi selama beberapa bulan, hingga akhirnya aku menyadari bahwa aku harus
bangkit. Perlahan-lahan akupun mulai bangkit, dan melupakan perceraian tragis
yang menimpa diriku. Aku ingat, bahwa aku harus menghidupi anakku.
Akupun pun bekerja pada sebuah biro
konsultasi psikologi, mengingat aku adalah sarjana psikologi. Bisa dikatakan,
penghasilanku hanya pas-pasan untuk menghidupi diriku dan anakku. Pada saat
ini, anakku yang berusia 5 tahun kutitipkan pada neneknya di kota
Yogyakarta . Sedangkan aku sendiri bekerja di kota Semarang , sebuah kota di Jawa. Di kota tersebut aku tinggal
di kamar kost sederhana. Setiap akhir pekan aku mengunjungi anakku di rumah
neneknya.Banyak pria yang mengatakan bahwa aku memiliki wajah yang cantik dan
keibuan. Aku menjadi nampak anggun di mata para pria. Di samping itu, tak ada
tanda-tanda bahwa aku adalah seorang ibu beranak satu. Banyak yang menganggap
aku masih gadis. Tinggi badanku adalah 166 cm.Ukuran payudaraku tidaklah besar,
hanya 32B, akan tetapi, pantatku bulat, padat dan membusung.
Yasinta |
Walaupun sudah beranak 1, aku memiliki
perut yang datar. Hal ini tercapai karena aku memang rajin berolah raga. Tak
heran, meskipun statusku janda beranak 1, masih banyak pria yang mengharap
cinta dariku. Akan tetapi, pada saat itu, aku belum berfikir untuk menjalin
hubungan yang serius dengan seorang pria manapun.Hal ini disebabkan karena
masih ada sisa-sisa trauma akibat perceraian yang menyakitkan tersebut. Aku memiliki
pandangan bahwa semua pria adalah pendusta. Untuk apa aku menikah lagi kalau
hanya untuk bercerai lagi. Sudahlah aku sudah merasa hidup bahagia sebagai
single parent.Tak dapat kupungkiri bahwa aku merindukan pelukan pria. Tentu
saja, karena aku pernah merasakan manisnya seks, maka akupun seringkali
merindukannya. Hingga saat ini, aku masih kuat untuk menahan hasrat itu,
sehingga aku tidak terjerumus dalam seks bebas.Sejujurnya, aku seringkali
bermasturbasi untuk mengurangi hasrat seksku tersebut. Herannya, semakin sering
ku bermasturbasi, keinginanku untuk disetubuhi oleh pria justru semakin
menggebu-gebu. Masturbasi hanya mengurangi hasratku untuk sementara, hanya
pemuasan kebutuhan biologis semata, namun kepuasan psikologis tidaklah aku
dapatkan.
Adapun alat yang sering ku pakai untuk
bermasturbasi adalah buah mentimun.Uhhh sungguh beruntungnya buah mentimun itu.
Sementara para pria yang mengharap cinta padaku saja belum ada yang berhasil
menikmati jepitan lubang di pangkal pahaku, tapi buah mentimun silih berganti
telah menyodok berkali-kali. Terkadang diam-diam aku melakukan masturbasi
sambil menonton film porno di komputerku ketika di kost sendirian.
Dengan status jandaku, tentu saja ada
beberapa pria yang menganggap diriku adalah perempuan gampangan, yang butuh
dibelai. Dengan demikian, ada beberapa pria yang sering melakukan perilaku yang
menjurus pada pelecehan seks, dari verbal hingga pada sentuhan fisik. Salah
satunya adalah bosku, seorang keturuan Cina, yang sekaligus pemilik dari biro konsultasi
tempatku bekerja. Dengan pura-pura tidak sengaja, ia terkadang meremas pantatku
atau tetekku.Aku sebenarnya risih dengan hal itu, dan tidak nyaman untuk
bekerja di situ. Ia seakan tidak peduli bahwa aku adalah seorang wanita yang
selalu sopan dalam berpakaian dan berperilaku. Ia bahkan pernah menempelkan
penisnya di belahan pantatku ketika aku sedang membungkuk, karena membetulkan
mesin printer di kantor.
Aku terkejut, karena di sela-sela pantatku
terasa ada batang keras yang menekan.Aku pun lalu segera menghindar. Aku tidak
bisa marah padanya, karena aku masih berharap untuk bisa bekerja di biro
miliknya tersebut. Aku hanya menampilkan ekspresi muka tidak suka, sambil
pipiku memerah karena malu. Ia hanya tersenyum mesum sambil pergi berlalu. Ia nampak
paham sekali bahwa aku memang sedang butuh untuk terus bekerja di
bironya.Sungguh aku sangat benci dan jijik dengan perilaku bosku tersebut.
Bosku tersebut seorang laki laki berusia 40 tahunan. Ia telah berkeluarga, dan
keluarganya tinggal dilua kota .
Namanya Pak Edi. Ia memiliki tinggi 160 cm, dengan badan yang agak gemuk perut
yang buncit. Ia nampak gempal. Pada suatu hari, aku menerima kabar dari ibuku
yang tinggal di kota Yogyakarta ,
bahwa anakku sakit keras, hingga harus opname.
Bahkan dokter menyatakan bahwa anakku harus
dioperasi secapatnya, kalau tidak, bisa fatal. Untuk biaya operasi tersebut
butuh uang sebanyak lima
juta rupah. Orang tuaku menyatakan bahwa mereka telah kehabisan dana untuk
biaya pengobatan anakku.Sementara, aku sendiri sudah kehabisan uang karena kini
sudah tanggal tua. Uang hanya cukup untuk menyambung hidup beberapa hari. Aku
pun bingung, harus mendapatkan uang darimana lagi.
Masih banyak hutangku pada kawan-kawanku,
sehingga aku segan untuk berhutang lagi pada mereka. Satu-satunya yang bisa aku
lakukan adalah mengeluh pada Pak Edi. Tapi aku merasa ngeri, karena itu berarti
memberinya kesempatan untuk melecehkanku secara seksual.
Aku pun menjadi ragu. Akan tetapi, karena
aku sudah sangat panik, akhirnya aku beranikan diri untuk mengungkapkan hal itu
pada Pak Edi. Dengan perasaan tidak karuan, aku memberanikan diri untuk menuju
ruang Pak Edi. Saat itu, aku mengenakan baju warna pink sepanjang lengan,
dengan baju kurung yang sewarna, serta rok panjang hitam dari bahan kain yang
lemas.
Dengan demikian, celana dalamku agak
tercetak di permukaan luar rokku.Tok… tok.. tok.. tok… suara ketukanku di kamar
kerja Pak Edi.
“Masuk” aku dengar suara pak Edi berseru
dari dalam ruangan.Aku pun membuka pintu. Pak Edi yang sedang duduk di belakang
meja kerjanya menatapku dengan tatapan mesumnya, yang seolah menelanjangi
tubuhku.“Silahkan duduk”, katanya mempersilahkanku untuk duduk.
“Ada
apa Yasinta?” dia bertanya padaku dengan nada menggoda.
Sambil menunduk, akupun mengatakan
keperluanku pada pak Edi sambil terbata-bata.
“Mmmaaaff Pak, anak saya sedang sakitt
kerass…”
Keringat dinginku mulai mengucur….
“Terus???” Pak Edi bertanya dengan nada
sedikit ketus.“Mmaksud saya, saya mau pinjam uang sama bapak. Untuk pengobatan
anak saya. Saya sudah tidak ada uang.”
Ketika aku berkata seperti itu, pak Edi
hanya mengangguk-amgguk dengan tatapan melecehkan.
“Yasinta, dengan berat hati saya katakan ke
kamu, kalo saya tidak ada uang yang bisa saya pinjamkan ke kamu…?”“Tolonglah
saya pak, anak saya sakit.. berikan saya lima
juta rupiah saja… nanti bisa dipotong gaji saya” kataku menghiba.
Air mataku mulai mengalir dari sudut-sudut
mataku.
“Kamu tau kan , biro ini sedang kekurangan modal”, kata
pak Edi dengan datar dan tenang.
“Jumlah klien kita semakin sedikit, makanya
pemasukan ke biro juga sedikit..”
“Ya sudahlah, aku bisa usahakan uang itu”
kata pak Edi.
Kemudian ia membuka laci mejanya dan
mengeluarkan beberapa gepok uang 50ribu rupiahan. Ia pun memberikanya padaku.
Setelah dihitung, ia telah memberikan uang padaku sebanyak 6juta rupiah, lebih
banyak dari harapanku.Pak Edi berkata, Uang itu boleh kamu pinjam dulu. Kamu
nggak usah mikirin ntar gimana mengembalikannya.
“Udah, cepet, kamu bawa pulang… kamu tunggu
anak kamu sampe operasinya selesai… kamu boleh libur…”
Dengan perasaan senang dan rasa terima
kasih yang tidak terkira, aku pun berpamitan dengan pak Edi dengan menyalami
tangannya..Aku pun bersyukur, operasi anakku berjalan dengan lancar. Setelah
itu, aku kembali bekerja di kantor Pak Edi. Semenjak itu, Pak Edi semakin
menjadi-jadi dalam melecehkanku secara seksual. Karena hutang budiku padanya,
aku pun tak bisa berbuat apapun selain pasrah dengan perlakuan Pak EdiSetiap
kali berpapasan denganku, ia tak akan membiarkan pantatku lolos dari jamahannya.
Seringkali, ia mengejutkanku dari belakang dengan cara meremas pantatku.
Aku hanya bisa menjerit kecil. Semakin lama
iapun semakin berani untuk menjamah tubuhku yang lain. Payudaraku dan pangkal
pahaku pernah diremasnya.Yang aku heran, dia tetap paling suka meremas
pantatku, walaupun ia sesungguhnya dapat dengan bebas untuk menjamahi payudara
dan pangkal pahaku. Ketika aku sedang berdiri di dekatnya, ia mengajakku
ngobrol sambil jarinya menelusuri belahan pantatnya.
Dengan perasaan malu aku ingin menghindari
setiap perlakuannya, namun ku tak berdaya. Sungguh, aku merasa menjadi seorang
perempuan murahan yang bisa dinikmati oleh pria Cina itu demi sejumlah
uang.Suatu ketika, seorang pesuruh kantor bernama Pak Muklis memberitahuku
bahwa Pak Edi memanggilku untuk datang ke ruangannya.“Mbak, Pak Edi manggil
mbak ke ruangnya”
“Huh… ada apa lagi nih??” tanyaku dalam
hati. Pelecehan apa lagi yang kan
aku terima? gumamku.
“Mhhh…. iya pak… Nanti saya ke sana …
“Cepet ya mbak, Pak Edi minta mbak datang
cepet….” kata pak Muklis sambil berlalu.
“Iya… iya Pak Muklis” kataku sambil
tersenyum pada Pak Muklis..Hari itu aku mengenakan Pakaian warna krem yan
menutupi dua bukit mungilku, dengan baju kurung dan rok panjang. Dengan gontai
dan perasaan yang tidak tenang akupun datang ke ruang Pak Edi.Tok… tok… tok ku
ketuk pintu ruang Pak Edi.
“Masuk” terdengar teriakan Pak Edi dari
dalam ruangan.Aku pun masuk, dan Pak Edi mempersilahkanku duduk. Dengan senyum
jahat tersungging di bibirnya, ia menatapku dengan pandangan nafsu. Aku hanya
menunduk dengan muka yang malu bercampur cemas.“Mhhhhh, begini Yasinta…., saya
cuma mau informasikan ke kamu, kalau hutang kamu ke kantor sudah jatuh tempo.
Kantor butuh uang itu segera. Kamu bilang mau angsur hutang kamu, tapi sampai
sekarang, sudah tiga bulan, kamu sama sekali belum angsur.
Saya udah kasih kamu keringanan looo….” Pak
Edi berkata dengan nada serius.Jantungku berdetak keras, memompa darahku cepat
sekali. Wah, celaka… pikirku.. Aku jelas tidak mampu untuk membayar hutangku.
Bahkan untuk mengangsur pun aku tidak mampu. Kini hutang itu telah ditagih.
Ohhhh… betapa malang
nasibku, jeritku di hati.“Mhhhh…. mmaaf pak, saya belum mampu membayarnya…”
jawabku terbata-bata.
“Kebutuhan saya banyak sekali, dan uang
gaji saya saja tidak cukup”
Tak terasa, air mataku mulai meleleh.“Iya,
saya tau… tapi masalahnya, kantor ini juga butuh biaya. Kan sudah aku bilang, kalau biro ini lagi
seret. Klien kita semakin sedikit?” suara Pak Edi mulai meninggi.
Air mataku pun semakin deras mengalir. Tak
sadar aku mulai sesenggukan.Pak Edi masih nampak cuek, sambil sesekali
melirikku. Sorot matanya menunjukkan kelicikan.
“Hmmmmm… apapun kamu harus membayar hutang
kamu…. Atau kita selesaikan saja secara hukum??” ancam Pak Edi.
Aku semakin panik dengan ancaman itu…“Ssaya
mohon jangan pak. Saya pasti akan bayar. Saya masih punya anak pak….” kataku
tersedu-sedu.
“Trus, kamu mau bayar pake apa? Kamu bilang
nggak punya uang?”
“Beri saya waktu barang satu minggu, saya
bisa usahakan” jawabku putus asa.
Satu minggu pun aku tidak yakin akan
mendapatkan uang sejumlah itu.
“Wah… wah… aku meragukan kamu bakalan
sanggup membayar. Paling hanya menunda waktu. Gak ada gunanya. Saya nggak akan
kasi keringanan lagi”“Sssayaaa mohon pakkk” aku berusaha menahan tangisku agar
tak semakin keras.
“Mhhhhh… baik… baik…. Aku bisa kasih kamu
solusi. Supaya kamu bisa lunasin utang kamu”
Aku agak lega mendengar ucapan Pak Edi. Aku
memandanginya dengan pandangan bertanya.
“Mhhhhh… boleh tau apa solusinya pak?”
ungkapku.
“Kamu bisa bayar hutangmu dengan tubuh
molek kamu itu” kata Pak Edi sambil melirik padaku dengan sorot mata
birahi.Bagai disambar petir, aku terkejut mendengar ucapan Pak Edi. Aku
kehabisan kata-kata.
“Nggak, nggak mau” jawabku sambil menangis.
“Kamu bisa apa….? Kalo kamu nggak bayar
sekarang, ya diselesaikan lewat hukum. Aku akan laporkan kamu ke polisi” ancam
Pak Edi.Dia sungguh lihai mempermainkan perasaanku. Aku merasa semakin putus
asa. Aku hanya bisa menangis. Tangisku yang tertahan pun mulai keluar juga.
Namun Pak Edi tetap tak peduli. Aku hanya
tertunduk sambil menangis.“Hehehe… lagian, kamu kan sudah lama jadi janda. Masa sih, ga
kangen sama burung? Kamu puas, hutangmu lunas… Tawaran menarik kan ? goda Pak Edi.“Kamu
tinggal ngangkang aja, biar memekmu disodok pake burung-burung lelaki birahi.
Dengan tubuh kaya kamu, gak sulit kok kamu dapet duit banyak. heheheh…. Apalagi
yang wanita janda kaya kamu, pasti banyak peminatnya.”Tanpa ku sadar, Pak Edi
telah berdiri di sampingku, dan tanpa basa-basi, ia pun menarik tanganku hingga
aku berdiri. Aku ingin menolak dan lari, namun aku sadar bahwa aku tidak lagi
punya kuasa. Bahkan pada diriku sendiri. Kini aku telah dikuasai oleh Pak Edi.
Aku hanya pasrah ketika ia menarik tubuhku hingga berdiri.Dengan penuh birahi,
Pak Edi menariku ke dalam pelukannya.
Dengan rakus Pak Edi melumat mulutku dengan
mulutnya. Tangannya menjamahi dua payudaraku yang masih. Kurasakan perut buncit
Pak Edi menekan tubuhku.
“Mhhhh….. mphhhhhh….” aku berusaha meronta,
menghindari ciuman Pak Edi.Namun mulutnya terus mengejar mulutku. Dengan kasar
dibaliknya tubuhku hingga aku membelakanginya. Lalu ditekannya tubuhku hingga
perutku menempel di tepi mejanya. Tanganku berpegangan pada meja agar menopang
badanku. Kini aku dalam posisi agak membungkuk, dengan pantat yang membusung
kearah Pak Edi. Kini pantatku begitu bebas untuk dijamahinya. Dengan kasar ia
meremas pantatku. Aku merasakan ada sesuatu yang mengganjal di pantatku.
Ohhh, ternyata itu adalah penis Pak Edi
yang sudah menegang dan mengeras.
Sambil menggesek-gesekkan penisnya di
pantatku, salah satu tangan Pak Edi juga meremasi bongkahan pantatku yang
montok dan padat itu, sedang tangan yang lain kini telah mencengkram salah satu
payudaraku yang masih tertutup pakaianku. Aku merasakan bahwa tangan Pak Edi
telah mulai menyusup masuk ke balik pakaianku yang menutup dadaku. Ia meremasi
payudaraku dari balik baju kurungku.“Mhhhh…. ahhhh…. ohhhhh….” jeritan-jeritan
kecil terlontar dari mulutku ketika Pak Edi menyentil ujung payudaraku dengan
keras, sementara penisnya yang masih berada di dalam celana itu menekan
pantatku ke depan.Tangan yang satunya kini telah meremas-remas pangkal pahaku.
Mulut Pak Edi dengan rakus menggigit
leherku yang masih tertutup pakaian warna krem itu, hingga nampak basah bekas
gigitan. Terkadang menengadah ke atas, setiap kali Pak Edi menyodokkan penisnya
ke pantatku.Kini tangan Pak Edi mulai menarik ritsleting baju kurungku yang ada
di punggungku. Dengan trampil tangannya menurunkan baju bagian atas baju kurung
itu. Kini pundak dan punggung putihku pun terbuka.
Tak lama kemudian, aku merasa bahwa pengait
braku di bagian belakang telah terbuka.Secara umum, bagian atas tubuhku telah
setengah terbuka, dan dua payudaraku yang tak seberapa besar itu menggelantung
di atas meja. Dengan rakus Pak Edi menciumi dan menjilati punggungku, hingga
basah oleh liurnya. Kedua tangan Pak Edi pun tak henti-hentinya meremas dan
memilin dua putting mungilku yang berwarna coklat muda itu.“Ahhhhhhh….. udahhh…
lama aku menunggu saat ini…” bisik Pak Edi di telingaku
“Mhhhh… ohhhhh…. mhhhhhh…..”
desahku.Walaupun aku telah lama tidak menikmati sentuhan pria. Sungguh, aku
tetap tidak bisa menikmati perlakuan Pak Edi itu.
Aku justru merasa terhina, karena penis
seorang pria yang bukan suamiku kini sedang menggesek-gesek pantatku yang masih
tertutup rok itu. Selama ini hanyalah mantan suamiku yang pernah menikmati
bibirku, menghisap dua putingku yang sedang mengeras, dan menyodokkan penisnya
di lubang surgaku yang basah.Saat ini, seorang pria yang bukan suamiku dengan
bebas dapat menikmati pantatku, dan tangannya dengan bebas memilin dan meremas
puting payudaraku. Ohhh, betapa malang
nasibku..Aku dengar suara ritsleting celana Pak Edi. Tak lama kemudian Pak Edi
pun membalikkan tubuhku hingga posisiku berhadapan dengannya. Terlihatlah
pemandangan yang membuatku takjub.
Penis Pak Edi yang menjulang sepanjang 15
cm.Jauh lebih besar daripada milik mantan suamiku. Dengan rakus Pak Edi pun
menghisap putting payudara kiriku, sementara tangan satunya memilin dan meremas
payudaraku yang kanan. Terasa gigitannya pada payudaraku, yang kemudian
disentakannya hingga aku menjerit.“Aahhhhhhhhh”.
Pantatku kini bersandar pada tepi meja,
dengan posisi tangan menekan meja di belakang tubuhku.
“Mhhh… ahhhhh….” jeritan dan rintihan yang
keluar dari mulutku semakin membakar birahi Pak Edi.Pak Edi pun kemudian
mengangkat rokku keatas. Nampaklah dua kaki dan paha mulusku telanjang, dan
secarik kain celana dalam di pangkalnya. Salah satu tangan Pak Edi memegangi
ujung rok ku agar tak turun, sementara tangan lain melebarkan dua pahaku,
hingga pangkalnya yang masih terutup celana dalam itu semakin
menganga.Kurasakan benda keras mulai menyusuri belahan kemaluanku.
Salah satu tangan Pak Edi menuntun benda
keras itu agar menggesek-gesek dengan belahan vaginaku yang tertutup celana
dalam itu.“Ohhhhh….” walau aku berusaha mengingkarinya, tak dapat kupungkiri
bahwa sensasi gatal di vaginaku mulai kurasakan.Aku pun mulai merasa lemas dan
birahi. Aku berada dalam dilema. Aku dipaksa untuk menikmati perlakuan Pak Edi,
walaupun sesungguhnya aku enggan. Tangan Pak Edi pun mulai mencari-cari
ritsleting rokku, dan segera melepasnya. Kini bagian bawahku telah benar-benar
telanjang, hanya celana dalam putihku yang masih melindungi lubang
kehormatanku.
Payudaraku telah menggelantung indah dengan
bekas gigitan dan basah air liur Pak Edi.Dengan kasar Pak Edi menarik hingga
aku terjatuh dalam keadaan bersimpuh. Dihadapanku kini sebatang penis Pak Edi
yang tegang dan mengeras itu. Sambil mengarahkan kepalaku dengan tangannya
keaarah penisnya, Pak Edi mengatakan
“Ayo… kulum burung bapak…!!!”Dengan
perasaan jijik, akupun memenuhi permintaannya. Sementara payudaraku tengah
bebas menggelantung, dan bagian bawahku telah telanjang, hanya celana dalam
yang tersisa.“Mmphhhhh… mhhhhh…” lenguhku saat penis Pak Edi menerobos
mulutku.Pak Edi menyuruhku menjilati ujung penisnya hingga lubang burungnya.
Uhhhh…. aku merasa ingin muntah. Mulutku pun penuh oleh penisnya. Tak satu
jengkalpun bagian penisnya yang tidak berkesempatan menikmati pelayanan bibir
dan lidahku. Bahkan testisnya pun turut aku jilati. Dengan perasaan muak, aku
terpaksa melakukan hal itu.Setelah puas, Pak Edi memintaku berdiri.
Komentar
Posting Komentar