Aku dilahirkan di sebuah kota
kecil di propinsi Jawa Timur, kota
yang panas karena terletak di dataran rendah. Selain tinggi badan seukuran
orang-orang bule, kata temanku wajahku lumayan. Mereka bilang aku hitam manis.
Sebagai laki-laki, aku juga bangga karena waktu SMA dulu aku banyak memiliki
teman-teman perempuan. Walaupun aku sendiri tidak ada yang tertarik satupun di
antara mereka. Mengenang saat-saat dulu aku kadang tersenyum sendiri, karena
walau bagaimanapun kenangan adalah sesuatu yang berharga dalam diri kita.
Apalagi kenangan manis.
Sekarang aku belajar di salah satu
perguruan tinggi swasta di kota
lain, mengambil jurusan ilmu perhotelan. Aku duduk di tingkat akhir. Sebelum
berangkat dulu, orangtuaku berpesan harus dapat menyelesaikan studi tepat pada
waktunya. Maklum, keadaan ekonomi orangtuaku juga biasa-biasa saja, tidak kaya
juga tidak miskin. Apalagi aku juga memiliki 3 orang adik yang nantinya juga
akan kuliah seperti aku, sehingga perlu biaya juga. Aku camkan kata-kata
orangtuaku. Dalam hati aku akan berjanji akan memenuhi permintaan mereka,
selesai tepat pada waktunya.
Tapi para pembaca, sudah kutulis di atas
bahwa segala sesuatu yang terjadi padaku tanpa aku dapat menyadarinya, sampai
saat ini pun aku masih belum dapat menyelesaikan studiku hanya gara-gara satu
mata kuliah saja yang belum lulus, yaitu mata kuliah yang berhubugan dengan
hitung berhitung. Walaupun sudah kuambil selama empat semester, tapi hasilnya
belum lulus juga. Untuk mata kuliah yang lain aku dapat menyelesaikannya, tapi
untuk mata kuliah yang satu ini aku benar-benar merasa kesulitan.
“Coba saja kamu konsultasi kepada dosen
pembimbing akademis..,” kata temanku Andi ketika kami berdua sedang duduk-duduk
dalam kamar kost.
“Sudah, Di. Tapi beliau juga lepas tangan
dengan masalahku ini. Kata beliau ini ditentukan oleh dirimu sendiri.” kataku
sambil menghisap rokok dalam-dalam.
“Benar juga apa yang dikatakan beliau, Gi,
semua ditentukan dari dirimu sendiri.” sahut Andi sambil termangu, tangannya
sibuk memainkan korek api di depannya.
Lama kami sibuk tenggelam dalam pikiran
kami masing-masing, sampai akhirnya Andi berkata, “Gini saja, Gi, kamu langsung
saja menghadap dosen mata kuliah itu, ceritakan kesulitanmu, mungkin beliau mau
membantu.” kata Andi.
Mendengar perkataan Andi, seketika aku
langsung teringat dengan dosen mata kuliah yang menyebalkan itu. Namanya Ibu
Eni, umurnya kira-kira 35 tahun. Orangnya lumayan cantik, juga seksi, tapi
banyak temanku begitu juga aku mengatakan Ibu Eni adalah dosen killer, banyak
temanku yang dibuat sebal olehnya. Maklum saja Ibu Eni belum berkeluarga alias
masih sendiri, perempuan yang masih sendiri mudah tersinggung dan sensitif.
“Waduh, Di, bagaimana bisa, dia dosen
killer di kampus kita..,” kataku bimbang.
“Iya sih, tapi walau bagaimanapun kamu
harus berterus terang mengenai kesulitanmu, bicaralah baik-baik, masa beliau
tidak mau membantu..,” kata Andi memberi saran.
Aku terdiam sejenak, berbagai pertimbangan
muncul di kepalaku. Dikejar-kejar waktu, pesan orang tua, dosen wanita yang
killer.
Akhirnya aku berkata, “Baiklah Di, akan
kucoba, besok aku akan menghadap beliau di kampus.”
“Nah begitu dong, segala sesuatu harus
dicoba dulu,” sahut Andi sambil menepuk-nepuk pundakku.
Siang itu aku sudah duduk di kantin kampus
dengan segelas es teh di depanku dan sebatang rokok yang menyala di tanganku.
Sebelum bertemu Ibu Eni aku sengaja bersantai dulu, karena bagaimanapun nanti
aku akan gugup menghadapinya, aku akan menenangkan diri dulu beberapa saat.
Tanpa aku sadari, tiba-tiba Andi sudah berdiri di belakangku sambil menepuk
pundakku, sesaat aku kaget dibuatnya.
“Ayo Gi, sekarang waktunya. Bu Eni kulihat
tadi sedang menuju ke ruangannya, mumpung sekarang tidak mengajar, temuilah
beliau..!” bisik Andi di telingaku.
“Oke-oke..,” kataku singkat sambil
berdiri, menghabiskan sisa es teh terakhir, kubuang rokok yang tersisa sedikit,
kuambil permen dalam saku, kutarik dalam-dalam nafasku.
Aku langsung melangkahkan kaki.
“Kalau begitu aku duluan ya, Gi. Sampai
ketemu di kost,” sahut Andi sambil meninggalkanku.
Aku hanya dapat melambaikan tangan saja,
karena pikiranku masih berkecamuk bimbang, bagaimana aku harus menghadapai Ibu
Eni, dosen killer yang masih sendiri itu.
Perlahan aku berjalan menyusupi lorong
kampus, suasana sangat lengang saat itu, maklum hari Sabtu, banyak mahasiswa
yang meliburkan diri, lagipula kalau saja aku tidak mengalami masalah ini lebih
baik aku tidur-tiduran saja di kamar kost, ngobrol dengan teman. Hanya karena
masalah ini aku harus bersusah-susah menemui Bu Eni, untuk dapat membantuku
dalam masalah ini.
Kulihat pintu di ujung lorong. Memang
ruangan Bu Eni terletak di pojok ruangan, sehingga tidak ada orang lewat
simpang siur di depan ruangannya. Kelihatan sekali keadaan yang sepi.
Pikirku, “Mungkin saja perempuan yang
belum bersuami inginnya menyendiri saja.”
Perlahan-lahan kuketuk pintu, sesaat
kemudian terdengar suara dari dalam, “Masuk..!”
Aku langsung masuk, kulihat Bu Eni sedang
duduk di belakang mejanya sambil membuka-buka map. Kutup pintu pelan-pelan.
Kulihat Bu Eni memandangku sambil tersenyum, sesaat aku tidak menyangka beliau
tersenyum ramah padaku. Sedikit demi sedikit aku mulai dapat merasa tenang,
walaupun masih ada sedikit rasa gugup di hatiku.
“Silakan duduk, apa yang bisa Ibu
bantu..?” Bu Eni langsung mempersilakan aku duduk, sesaat aku terpesona oleh
kecantikannya.
Bagaimana mungkin dosen yang begitu cantik
dan anggun mendapat julukan dosen killer. Kutarik kursi pelan-pelan, kemudian
aku duduk.
“Oke, Yogi, ada apa ke sini, ada yang bisa
Ibu bantu..?” sekali lagi Bu Eni menanyakan hal itu kepadaku dengan senyumnya
yang masih mengembang.
Perlahan-lahan kuceritakan masalahku
kepada Bu Eni, mulai dari keinginan orangtua yang ingin aku agak cepat
menyelesaikan studiku, sampai ke mata kuliah yang saat ini aku belum dapat
menyelesaikannya.
Kulihat Bu Eni dengan tekun mendengarkan
ceritaku sambil sesekali tersenyum kepadaku. Melihat keadaan yang demikian aku
bertambah semangat bercerita, sampai pada akhirnya dengan spontan aku berkata,
“Apa saja akan kulakukan Bu Eni, untuk dapat menyelesaikan mata kuliah ini.
Mungkin suatu saat membantu Ibu membersihkan rumah, contohnya mencuci piring,
mengepel, atau yah, katakanlah mencuci baju pun aku akan melakukannya demi agar
mata kuliah ini dapat saya selesaikan. Saya mohon sekali, berikanlah keringanan
nilai mata kuliah Ibu pada saya.”
Mendengar kejujuran dan perkataanku yang
polos itu, kulihat Bu Eni tertawa kecil sambil berdiri menghampiriku, tawa
kecil yang kelihatan misterius, dimana aku tidak dapat mengerti apa maksudnya.
“Apa saja Yogi..?” kata Bu Eni seakan
menegaskan perkataanku tadi yang secara spontan keluar dari mulutku tadi dengan
nada bertanya.
“Apa saja Bu..!” kutegaskan sekali lagi
perkataanku dengan spontan.
Sesaat kemudian tanpa kusadari Bu Eni
sudah berdiri di belakangku, ketika itu aku masih duduk di kursi sambil
termenung. Sejenak Bu Eni memegang pundakku sambil berbisik di telingaku.
“Apa saja kan Yogi..?”
Aku mengangguk sambil menunduk, saat itu
aku belum menyadari apa yang akan terjadi. Tiba-tiba saja dari arah belakang,
Bu Eni sudah menghujani pipiku dengan ciuman-ciuman lembut, sebelum sempat aku
tersadar apa yang akan terjadi. Bu Eni tiba-tiba saja sudah duduk di
pangkuanku, merangkul kepalaku, kemudian melumatkan bibirnya ke bibirku. Saat
itu aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, seketika kedua tangan Bu Eni
memegang kedua tanganku, lalu meremas-remaskan ke payudaranya yang sudah mulai
mengencang.
Aku tersadar, kulepaskan mulutku dari
mulutnya.
“Bu, haruskah kita..”
Sebelum aku menyelesaikan ucapanku, telunjuk
Bu Eni sudah menempel di bibirku, seakan menyuruhku untuk diam.
“Sudahlah Yogi, inilah yang Ibu
inginkan..”
Setelah berkata begitu, kembali Bu Eni
melumat bibirku dengan lembut, sambil membimbing kedua tanganku untuk tetap
meremas-remas payudaranya yang montok karena sudah mengencang.
Akhirnya timbul hasrat kelelakianku yang
normal, seakan terhipnotis oleh reaksi Bu Eni yang menggairahkan dan ucapannya
yang begitu pasrah, kami berdua tenggelam dalam hasrat seks yang sangat
menggebu-gebu dan panas. Aku membalas melumat bibirnya yang indah merekah
sambil kedua tanganku terus meremas-remas kedua payudaranya yang masih tertutup
oleh baju itu tanpa harus dibimbing lagi. Tangan Bu Eni turun ke bawah perutku,
kemudian mengusap-usap kemaluanku yang sudah mengencang hebat. Dilanjutkan
kemudian satu-persatu kancing-kancing bajuku dibuka oleh Bu Eni, secara reflek
pula aku mulai membuka satu-persatu kancing baju Bu Eni sambil terus bibirku
melumat bibirnya.
Setelah dapat membuka bajunya, begitu pula
dengan bajuku yang sudah terlepas, gairah kami semakin memuncak, kulihat kedua
payudara Bu Eni yang memakai BH itu mengencang, payudaranya menyembul indah di
antara BH-nya. Kuciumi kedua payudara itu, kulumat belahannya, payudara yang
putih dan indah. Kudengar suara Bu Eni yang mendesah-desah merasakan kenikmatan
yang kuberikan. Kedua tangan Bu Eni mengelus-elus dadaku yang bidang. Lama aku
menciumi dan melumat kedua payudaranya dengan kedua tanganku yang sesekali
meremas-remas dan mengusap-usap payudara dan perutnya.
Akhirnya kuraba tali pengait BH di
punggungnya, kulepaskan kancingnya, setelah lepas kubuang BH ke samping. Saat
itu aku benar-benar dapat melihat dengan utuh kedua payudara yang mulus, putih
dan mengencang hebat, menonjol serasi di dadanya. Kulumat putingnya dengan
mulutku sambil tanganku meremas-remas payudaranya yang lain. Puting yang
menonjol indah itu kukulum dengan penuh gairah, terdengar desahan nafas Bu Eni
yang semakin menggebu-gebu.
“Oh.., oh.., Yogi.. teruskan.., teruskan
Yogi..!” desah Bu Eni dengan pasrah dan memelas.
Melihat kondisi seperti itu, kejantananku
semakin memuncak. Dengan penuh gairah yang mengebu-gebu, kedua puting Bu Eni
kukulum bergantian sambil kedua tanganku mengusap-usap punggungnya, kedua
puting yang menonjol tepat di wajahku. Payudara yang mengencang keras.
Lama aku melakukannya, sampai akhirnya
sambil berbisik Bu Eni berkata, “Angkat aku ke atas meja Yogi.., ayo angkat
aku..!”
Spontan kubopong tubuh Bu Eni ke arah
meja, kududukkan, kemudian dengan reflek aku menyingkirkan barang-barang di
atas meja. Map, buku, pulpen, kertas-kertas, semua kujatuhkan ke lantai dengan
cepat, untung lantainya memakai karpet, sehingga suara yang ditimbulkan tidak
terlalu keras.
Masih dalam keadaan duduk di atas meja dan
aku berdiri di depannya, tangan Bu Eni langsung meraba sabukku, membuka
pengaitnya, kemudian membuka celanaku dan menjatuhkannya ke bawah. Serta-merta
aku segera membuka celana dalamku, dan melemparkannya ke samping.
Kulihat Bu Eni tersenyum dan berkata
lirih, “Oh.. Yogi.., betapa jantannya kamu.. kemaluanmu begitu panjang dan
besar.. Oh.. Yogi, aku sudah tak tahan lagi untuk merasakannya.”
Aku tersenyum juga, kuperhatikan tubuh Bu
Eni yang setengah telanjang itu.
Kemudian sambil kurebahkan tubuhnya di
atas meja dengan posisi aku berdiri di antara kedua pahanya yang telentang
dengan rok yang tersibak sehingga kelihatan pahanya yang putih mulus, kuciumi
payudaranya, kulumat putingnya dengan penuh gairah, sambil tanganku bergerilya
di antara pahanya. Aku memang menginginkan pemanasan ini agak lama, kurasakan
tubuh kami yang berkeringat karena gairah yang timbul di antara aku dan Bu Eni.
Kutelusuri tubuh Bu Eni yang setengah telanjang dan telentang itu mulai dari
perut, kemudian kedua payudaranya yang montok, lalu leher. Kudengar desahan-desahan
dan rintihan-rintihan pasrah dari mulut Bu Eni.
Sampai ketika Bu Eni menyuruhku untuk
membuka roknya, perlahan-lahan kubuka kancing pengait rok Bu Eni, kubuka
restletingnya, kemudian kuturunkan roknya, lalu kujatuhkan ke bawah. Setelah
itu kubuka dan kuturunkan juga celana dalamnya. Seketika hasrat kelelakianku
semakin menggebu-gebu demi melihat tubuh Bu Eni yang sudah telanjang bulat,
tubuh yang indah dan seksi, dengan gundukan daging di antara pahanya yang
ditutupi oleh rambut yang begitu rimbun.
Terdengar Bu Eni berkata pasrah, “Ayolah
Yogi.., apa yang kau tunggu..? Ibu sudah tak tahan lagi.”
Kurasakan tangan Bu Eni menggenggam
kemaluanku, menariknya untuk lebih mendekat di antara pahanya. Aku mengikuti
kemauan Bu Eni yang sudah memuncak itu, perlahan tapi pasti kumasukkan
kemaluanku yang sudah mengencang keras layaknya milik kuda perkasa itu ke dalam
vagina Bu Eni. Kurasakan milik Bu Eni yang masih agak sempit. Akhirnya setelah
sedikit bersusah payah, seluruh batang kemaluanku amblas ke dalam vagina Bu
Eni.
Terdengar Bu Eni merintih dan mendesah,
“Oh.., oh.., Yogi.. terus Yogi.. jangan lepaskan Yogi.. aku mohon..!”
Tanpa pikir panjang lagi disertai hasratku
yang sudah menggebu-gebu, kugerakkan kedua pantatku maju-mundur dengan posisi
Bu Eni yang telentang di atas meja dan aku berdiri di antara kedua pahanya.
Mula-mula teratur, seirama dengan
goyangan-goyangan pantat Bu Eni. Sering kudengar rintihan-rintihan dan desahan
Bu Eni karena menahan kenikmatan yang amat sangat. Begitu juga aku, kuciumi dan
kulumat kedua payudara Bu Eni dengan mulutku.
Kurasakan kedua tangan Bu Eni
meremas-remas rambutku sambil sesekali merintih, “Oh.. Yogi.. oh.. Yogi..
jangan lepaskan Yogi, kumohon..!”
Mendengar rintihan Bu Eni, gairahku
semakin memuncak, goyanganku bertambah ganas, kugerakkan kedua pantatku
maju-mundur semakin cepat.
Terdengar lagi suara Bu Eni merintih,
“Oh.. Yogi.. kamu memang perkasa.., kau memang jantan.. Yogi.. aku mulai
keluar.. oh..!”
“Ayolah Bu.., ayolah kita mencapai puncak
bersama-sama, aku juga sudah tak tahan lagi,” keluhku.
Setelah berkata begitu, kurasakan tubuhku
dan tubuh Bu Eni mengejang, seakan-akan terbang ke langit tujuh, kurasakan
cairan kenikmatan yang keluar dari kemaluanku, semakin kurapatkan kemaluanku ke
vagina Bu Eni. Terdengar keluhan dan rintihan panjang dari mulut Bu Eni,
kurasakan juga dadaku digigit oleh Bu Eni, seakan-akan nmenahan kenikmatan yang
amat sangat.
“Oh.. Yogi.. oh.. oh.. oh..”
Setelah kukeluarkan cairan dari kemaluanku
ke dalam vagina Bu Eni, kurasakan tubuhku yang sangat kelelahan, kutelungkupkan
badanku di atas badan Bu Eni dengan masih dalam keadan telanjang, agak lama aku
telungkup di atasnya.
Setelah kurasakan kelelahanku mulai
berkurang, aku langsung bangkit dan berkata, “Bu, apakah yang sudah kita lakukan
tadi..?”
Kembali Bu Eni memotong pembicaraanku,
“Sudahlah Yogi, yang tadi itu biarlah terjadi karena kita sama-sama
menginginkannya, sekarang pulanglah dan ini alamat Ibu, Ibu ingin cerita banyak
kepadamu, kamu mau kan ..?”
Setelah berkata begitu, Bu Eni langsung
menyodorkan kartu namanya kepadaku. Kuterima kartu nama yang berisi alamat itu.
Sejenak kutermangu, kembali aku dikagetkan
oleh suara Bu Eni, “Yogi, pulanglah, pakai kembali pakaianmu..!”
Tanpa basa-basi lagi, aku langsung
mengenakan pakaianku, kemudian membuka pintu dan keluar ruangan. Dengan gontai
aku berjalan keluar kampus sambil pikiranku berkecamuk dengan kejadian yang
baru saja terjadi antara aku dengan Bu Eni. Aku telah bermain cinta dengan
dosen killer itu. Bagaimana itu bisa terjadi, semua itu diluar kehendakku.
Akhirnya walau bagaimanapun nanti malam aku harus ke rumah Bu Eni.
Kudapati rumah itu begitu kecil tapi asri
dengan tanaman dan bunga di halaman depan yang tertata rapi, serasi sekali
keadannya. Langsung kupencet bel di pintu, tidak lama kemudian Bu Eni sendiri
yang membukakan pintu, kulihat Bu Eni tersenyum dan mempersilakan aku masuk ke
dalam. Kuketahui ternyata Bu Eni hidup sendirian di rumah ini. Setelah duduk,
kemudian kami pun mengobrol. Setelah sekian lama mengobrol, akhirnya kuketahui
bahwa Bu Eni selama ini banyak dikecewakan oleh laki-laki yang dicintainya.
Semua laki-laki itu hanya menginginkan tubuhnya saja bukan cintanya. Setelah
bosan, laki-laki itu meninggalkan Bu Eni. Lalu dengan jujur pula dia memintaku
selama masih menyelesaikan studi, aku dimintanya untuk menjadi teman sekaligus
kekasihnya. Akhirnya aku mulai menyadari bahwa posisiku tidak beda dengan
gigolo.
Kudengar Bu Eni berkata, “Selama kamu
masih belum wisuda, tetaplah menjadi teman dan kekasih Ibu. Apa pun
permintaanmu kupenuhi, uang, nilai mata kuliahmu agar lulus, semua akan Ibu
penuhi, mengerti kan
Yogi..?”
Selain melihat kesendirian Bu Eni tanpa
ada laki-laki yang dapat memuaskan hasratnya, aku pun juga mempertimbangkan
kelulusan nilai mata kuliahku. Akhirnya aku pun bersedia menerima tawarannya.
Akhirnya malam itu juga aku dan Bu Eni
kembali melakukan apa yang kami lakukan siang tadi di ruangan Bu Eni, di
kampus. Tetapi bedanya kali ini aku tidak canggung lagi melayani Bu Eni dalam
bercinta. Kami bercinta dengan hebat malam itu, 3 kali semalam, kulihat senyum
kepuasan di wajah Bu Eni. Walau bagaimanapun dan entah sampai kapan, aku akan
selalu melayani hasrat seksualnya yang berlebihan, karena memang ada jaminan
mengenai kelulusan mata kuliahku yang tidak lulus-lulus itu dari dulu.
Komentar
Posting Komentar