Namaku Roby. Saat
itu aku masih baru berumur 14 tahun. Sebagai anak tunggal yang mulai punya rasa
ingin tahu terhadap dirinya sendiri, dalam usia itu aku mulai sering
memperhatikan alat kelaminku sendiri, memain-mainkannya dan larut dalam
kebingungan, untuk apa semua itu ada. Di rumah, aku lebih sering tidur dengan
pembantu rumahku. Keadaan itu berubah waktu tanteku (adiknya ibuku) yang
bernama Lina, ikut menumpang tinggal dengan orang tuaku. Ia waktu itu berusia
belasan (masih SMU), dan bakat tubuhnya yang sintal mulai terbentuk. Tante Lina
sangat menyayangiku, karena aku adalah cucu pertama di keluarga besar kami.
Mulai saat itu aku
lebih sering tidur sekamar dengan tanteku. Mulai tumbuh perasaan nyaman tidur
bersama orang dekat, dan mulai terbiasa dengan pelukan dan sentuhan yang hangat
diantara kami. Tentu saja walaupun saat itu aku sudah bisa ereksi, tapi usia
segitu belum memungkinkan aku untuk memahami persoalan seks. Tanteku punya
kebiasaan yang unik, setiap tidur dia menanggalkan pakaiannya, menyisakan bra
dan CD, kemudian membungkus kami berdua dalam selimut yang hangat, dan mulai
memelukku sampai pagi. Kebiasaan ini berlangsung berbulan-bulan.
Suatu malam, karena
kegerahan, aku terbangun. Aku terkejut karena tanteku tidak dalam posisi
biasanya yang selalu memelukku dari belakang. Saat mataku membuka, aku melihat
pemandangan baru, yaitu bongkahan pantat tanteku yang sedang tidur menyamping,
terpampang jelas di depan mataku. Dengan berdebar dan gemetaran, naluriku mulai
bertindak.
Aku mendekatkan
wajahku, menghirup bau tubuh yang terasa aneh namun menggairahkan, dan
meraba-raba bongkahan pantat tanteku sehati-hati mungkin. Kebiasaan ini
berlangsung terus, dan di hari-hari berikutnya keberanianku tumbuh
perlahan-lahan, untuk melakukan sesuatu yang lebih dari sekedar itu. Kadangkala
aku meraba pantatnya, sembari tanganku yang lain memain-mainkan penis kecilku.
Pernah pula beberapa kali tanganku mencoba menyusup ke dalam CD-nya, namun
belum pernah mencapai hasil yang memuaskan, karena biasanya tanteku mulai
menggeliat. Dan akhirnya semua kesenangan ini mesti terputus karena setelah
genap setahun, tanteku kembali tinggal bersama orang tuanya untuk melanjutkan
ke Perguruan Tinggi.
Suatu kali ketika
usiaku 17 tahun, aku sekeluarga berlibur ke rumah nenekku, yang terpisah pulau
dari rumah tempat aku dan orang tuaku tinggal. Aku senang sekali berjumpa
kembali dengan Tante Lina, dan masa-masa liburan itu dia sering mengajakku
jalan-jalan, membelikanku mainan dan sebagainya. Suatu siang, sepulang dari
bermain-main di sekitar rumah, aku menemukan rumah dalam keadaan sepi. Semuanya
sedang tidur. Iseng-iseng aku masuk ke kamarnya Tante Lina, dan ternyata dia
sedang tertidur pulas. Saat itu tadinya aku mau bermain kembali dengan
anak-anak tetangga, tapi melihat Tante Lina yang tidur telentang dengan roknya
dalam keadaan tersingkap, membuatku teringat kembali mainanku beberapa tahun
yang lalu.
Aku naik ke
pinggiran ranjang, dag-dig-dug, ragu, wajahku memerah, tapi tidak ada waktu
untuk kembali. Telapak tanganku mulai menyusuri kaki Tante Lina dari bawah, dan
dia tetap tertidur. Sambil meneguk ludah dan susah bernafas, kusadari telapak
tanganku sudah berada di pangkal pahanya. Aku naikkan rok tanteku, dan
terpampanglah didepan mataku, CD berenda yang berwarna krem, dengan latar
beberapa helai bulu kemaluan yang keluar dari orbit, dan cetakan bibir kemaluan
yang tebal dan indah, dalam keadaan yang basah dan hangat. Aku makin susah
menelan ludah, tapi semuanya sudah dalam keadaan tanggung. Kuteruskan aksiku,
dengan tanganku perlahan-lahan mulai masuk ke CD tanteku dari samping.
Tiba-tiba tanteku terbangun seperti kaget, dan sebelum sempat mengucapkan apa-apa, aku tarik tanganku keluar, dan kabur secepatnya ke ruang keluarga. Entah kenapa, aku merasa berdosa sekali. Walaupun aku belum tahu apa-apa soal itu, aku merasa bersalah, dan takut tanteku marah. Ternyata tanteku tidak marah, ia menghampiriku, dan mengajakku tidur bareng. Akhirnya akupun mengikutinya tidur, dan tidak melakukan apapun.
Keesokan harinya
adalah salah satu hari yang bersejarah bagiku. Saat terbangun, orang tuaku
bersama kakek nenekku sedang mengunjungi kerabat yang lain. Tinggal aku dan
Tante Lina ku saja dirumah. Belum sempat aku turun ke kamar mandi, aku melihat
tanteku melewati kamarku, hanya dengan lilitan handuk di tubuhnya. Aku pun
segera beranjak, dan mencoba menengok ke kamarnya yang pintunya tidak ditutup.
Ya ampun, di kamarnya, aku melihat tanteku yang membelakangiku, mulai
menurunkan handuk dari tubuhnya. Pantatnya yang besar itu bergoyang-goyang
sementara dia memilih-milih pakaiannya dalam lemari. Pandanganku nanar, tidak
tahu harus berbuat apa.
Dan ketika dia
berbalik, aku yang hanya berjarak beberapa meter darinya, dengan terpaksa harus
menerima pemandangan bugil tubuh depannya yang montok itu. Aku tidak tahu
tanteku sedang apa, dan mengapa ia tidak bereaksi dengan kehadiranku. Mungkin
ia tidak melihatku yang sedang duduk dari luar kamarnya, atau mungkin ia
berpura-pura tidak melihatku, entah dengan motif apa.
Tampak bagiku ia seperti sedang memessage dirinya sendiri, melakukan gerakan-gerakan relaksasi, dengan payudara bulat kencang besarnya tengah berayun-ayun, perutnya yang meliuk-liuk, dan.. ya tuhan! Aku tidak tahan melihat kakinya yang perlahan meregang-regang, dengan belahan vaginanya yang indah itu terbuka seperti mengajakku untuk bermain. Aku langsung pergi ke kamarku, merasa pusing dengan kejadian barusan, merasa terundang untuk melakukan sesuatu, tapi aku tidak tahu apa dan harus bagaimana.
Sepulang dari
liburan, dan selama masa pertumbuhanku berikutnya, bayangan tentang tanteku
sulit sekali disingkirkan dari kepala, dan berperan banyak waktu fantasi
seks-ku mulai terbentuk. Ketika mulai mengenal masturbasi dan ejakulasi, aku
selalu membayangkan belahan vaginanya yang menerima semburan spermaku.
Bebeberapa tahun kemudian ia menikah dengan seorang polisi, mengikuti suaminya
pindah ke kota lain,
dan dari kabar yang aku terima ia sekarang menjadi ibu rumah tangga yang baik.
Aku pun mulai melupakannya, sampai kemudian, suatu kesempatan yang tidak
terduga tiba-tiba datang.
Tahun itu. Saat itu
aku berumur 30, tumbuh menjadi seorang remaja yang berlibido tinggi, masturbasi
tiap hari, rajin mengkonsumsi segala material porno yang sedang in saat itu, seperti
enny arrow, playboy, video blue film dan lain-lain. Dan aku sudah tahu, apa
yang harus aku lakukan apabila ada kontak fisik dengan seorang wanita, walaupun
tentu saja, belum pernah melakukannya. Saat itu, tanteku yang bungsu, Lia, yang
berumur sebaya denganku, mengajakku untuk berlibur ke rumah kakaknya, Lina.
Tentu saja aku pun mau, dan kami berdua berangkat kesana.
Saat itu, Tante
Lina yang sebenarnya masih muda (sekitar 30-31 an) semakin montok saja, dan
belum dikaruniai anak. Suaminya yang polisi, sedang mendapat piket malam.
Otomatis kami bertiga merasa bebas tidur dimana saja. Malam itu, sehabis nonton
acara TV, aku yang tadinya berniat untuk tidur dengan Tante Lina, tapi karena
kecapean aku tertidur di kasur yang digelar darurat di ruang tengah. Jam 3 pagi
aku terbangun, dan terkejut karena tiba-tiba Tante Lina tertidur di sebelahku,
sementara adeknya, Tante Lia, entah tidur dimana. Semua kenangan bersamanya
terbawa kembali saat itu ke ingatanku, dan aku merasa, inilah saatnya aku
merespon apa-apa yang pernah dia tunjukkan padaku.
Tanteku tidur
menyamping, daster yang ia kenakan tampak membuatnya semakin terlihat semakin
seksi saja. Saat itu keberanianku sudah penuh, dan aku yakin, apa-apa yang
pernah dia tunjukkan padaku adalah cermin dari keadaan dirinya yang berlibido
tinggi. Aku langsung melucuti pakaianku sendiri sampai bugil, kemudian
perlahan-lahan mengangkat dasternya sampai di perutnya. Aku mulai
mengocok-ngocokkan penisku yang sudah tegang, dan tanganku yang lain
meraba-raba kemaluannya dari balik CD-nya.
Kemudian kusingkapkan CD-nya, dan pemandangan bibir vaginanya membuatku membuatku makin bernafsu. Aku naikkan lagi dasternya sampai diatas dadanya, kemudian aku angkat bra-nya, dan buah dadanya pun tersembul manis. Tiba-tiba Tante Lina mendesah pelan, mengubah posisinya menjadi telentang, dan terlihat pulas kembali. Aku sudah tidak peduli apakah ia akan bangun atau tidak. Apabila ia terbangun, aku sudah siap dengan seribu penjelasan. Kemudian aku lucuti CD-nya, dan inilah akhirnya buah penantianku.. Tanteku yang bugil, telentang, siap disetubuhi.
Kudekatkan wajahku
pada vagina Tante Lina, baunya yang menggoda membuatku langsung saja menjilati
bibir kemaluannya, sambil kedua tanganku menyorong keatas, memainkan puting
buah dadanya. Aku terus melakukan itu, dan lama kelamaan, pinggul tanteku mulai
bergoyang, mengimbangi gerakan lidahku di seputar klitorisnya. Aku mulai
memindahkan nafasku lewat mulut, dan mencoba mendorong lidahku berkali-kali ke
lubang vaginanya. Makin kesetanan tanteku bergoyang, dan tangannya seketika
menjambak rambutku, menghimpitkan selangkangannya ke wajahku, di saat bersamaan
dengan lidahku yang terus menerobos lubangnya, merasakan dindingnya yang hangat
dan gurih.
Peduli setan dengan nafasku yang sesak, aku hanya ingin melakukan itu sampai aku gila sendiri. Tiba-tiba, tanteku menggelinjang, pantatnya terangkat keatas, meregang-regang, dan akhirnya terkulai kembali kekasur. Satu tangannya menutupi vaginanya, namun antara jadi telunjuk dan jari tengah terbuka, menyisakan lubang itu untuk kumasuki. Aku sudah mafhum, tanteku sebenarnya telah terbangun tapi masih berpura-pura tidur dan tidak ingin membuka percakapan.
Aku langsung
berinisiatif, kudekatkan penisku pada vaginanya, dan mencoba untuk
memasukkannya. Namun tiba-tiba, tangan tanteku memegang erat penisku, dan
kemudian ia mendorong tubuh telentangnya ke depan, sampai mulutnya berada di
depan penisku. Aku jengkel sekali, ia melakukan semua itu dengan terpejam.
Namun karena nafsuku sudah di ubun-ubun, kuikuti saja kemauannya.
Tiba-tiba tanteku
mendekatkan mulutnya ke penisku, dan mulai mengisap kepala kemaluanku
perlahan-lahan. Nikmat yang kurasakan membuatku secara naluriah mendorong
kemaluanku ke dalam mulutnya, dan iapun mulai mengulum batang penisku, dengan
bantuan tangannya mengocok dengan cepat. Ah, nikmat sekali rasanya saat itu,
melihat mulut dan tangan tanteku sendiri yang sedang sibuk membuat keponakannya
senang.
Tak lama kemudian, saat aku mulai mengejang, ia menarik mulutnya dari penisku, namun tetap menganga, dan tumpahan spermaku pun membanjiri rongga mulutnya. Akupun terkulai dengan lemas, dan tanpa canggung lagi mulai berbaring sambil memeluknya, teringat kenangan dengannya semasa aku kecil. Malam itu aku tertidur dengan harapan bahwa hari-hari berikutnya penuh dengan pengejaran dan pemuasan kenikmatan tubuh.
Namun hal itu tidak
pernah terjadi lagi, karena di hari-hari berikutnya ada saja gangguan.
Kadang-kadang, Lia, tanteku yang bungsu, begadang semalaman. Hari yang lain
terkadang Tante Lina tidur duluan. Sampai akhirnya liburan habis, aku pulang
dengan kenangan yang memabukkan libidoku, sekaligus sangat penasaran untuk bisa
benar-benar menyetubuhi Tante Lina.
Tahun berikutnya
aku masuk SMU, dan karena kecapean, aku terpaksa di opname karena sakit
thypus.
Seminggu dirawat di rumah sakit tanpa melakukan apa-apa membuatku jenuh tidak kepalang. Beberapa kali aku minta pulang, namun dokter belum mengizinkanku, pedahal rasanya aku sudah cukup sehat. Keluargaku giliran menjagaku di rumah sakit, sampai akhirnya, Tante Lina datang, dan mengatakan bahwa esok hari ia akan menjagaku seharian. Aku senang sekali dengan kedatangannya, dan seribu rencana pun mulai kususun sebagai pengisi kebosanan. Ruang rawatku yang luas, memiliki 2 ranjang dan kamar mandi didalam. Aku mulai merasakan keintiman tertentu saat melihat Tante Lina mulai tidur di ranjang sebelah.
Paginya, aku
terbangun jam 6. Saat itu suster mulai datang, memeriksa jarum infus,
menyiapkan makan dan melakukan tetek bengek lainnya yang tidak terlalu
kuperhatikan. Suster mulai memandikan aku, mengelap tubuhku dengan air hangat
dari kepala ke kaki. Saat itu Tante Lina sedang di kamar mandi. Di pagi yang
dingin itu penisku mulai tegang, dan saat sang suster sedang mengelap kakiku,
tubuhnya yang sedikit membungkuk membuatku tidak tahan melihat belahan dadanya
yang membusung. pelan-pelan kubuka CD-ku, dan kemaluanku yang saat itu
berukuran 15 cm mulai meronta, kukeluarkan dari kandangnya lalu kukocok
pelan-pelan. Tatkala suster melihatku, terlihat ia sedikit kaget, namun cepat
menguasai dirinya.
“Nakal yah..”,
serunya sambil tersenyum manis.
“Bersihin dong
Mbak”, sahutku sambil menunjuk kemaluanku. Terlihat sekilah ia melihat ke arah
kamar mandi, mungkin sudah tahu ada yang sedang menjagaku, dan ia pun hanya
tersenyum kembali.
“Besok lagi deh”,
jawabnya sambil kembali menyelimutiku, kemudian mendekatkan nampan makanan, dan
berlalu dari kamarku. Wah, inilah saatnya. Aku tinggal berdua dengan Tante
Lina, dan rencanaku pun mulai mengalir. Aku kembali mengocok-ngocokkan penisku
agar selalu dalam keadaan tegang, dan aku harus tetap terlihat belum terlalu
sehat untuk bisa ke WC sendiri.
Tanteku keluar dari
kamar mandi, saat itu aku mulai bisa mendeskripsikan dirinya. Berkulit kuning
langsat, rambut keriting dengan tinggi sekitar 165 cm dan berat 60-an membuatku
sangat mabuk, karena aku suka dengan perempuan yang montok. Sementara saat itu
tinggiku 170 cm dengan berat 60 kg. Ia hanya mengenakan t-shirt dan rok pendek.
“Bagaimana Bayu,
agak baikan?”, tanyanya sambil mengeringkan rambutnya.
“Iya Tante, apalagi
Tante yang jaga, pasti besok bisa pulang, he.. he.. Tapi masih agak pusing nih
kalau berdiri”, jawabku beralasan.
“Ya sudah tiduran
saja enggak apa-apa, kalau ada apa-apa biar sama Tante saja”, sahutnya sambil
mulai menyuapiku.
“Tante, saya jenuh
nih. Beliin majalah atau koran dong”, kataku.
“Iya nanti Tante
beliin, tapi sekarang makan dulu yah”, jawabnya singkat.
Selesai menyuapiku
ia langsung keluar untuk membelikanku koran. Dengan tangan kiri terpancang pada
tiang infus, aku cepat-cepat membuka piyamaku dengan tangan kanan, melucuti
seluruh pakaianku, membuang pakaianku kebawah ranjang, lalu menyelimuti kembali
tubuh bugilku. Aku terus mengocok penisku agar tetap tegang.
Sekembalinya dari
luar, Tanteku memberiku beberapa koran dan majalah, dan iapun mulai membaca
salah satunya. Sambil membaca koran aku mulai dag-dig-dug. Beberapa kali aku
berpikir ulang, sampai akhirnya tekadku sudah bulat.
“Tante, pengen
pipis nih”, kataku.
“Oh, mau ke WC apa
di pispot?” sahutnya.
“Di pispot aja deh,
belum kuat berdiri nih”, jawabku berbohong.
Tanteku mulai
mengambil pispot, dan perlahan-lahan membuka selimutku. Terasa berdesir dan ada
gairah yang sulit diungkapkan, waktu tubuh bugilku beserta penisku yang
mengacung itu mulai terbuka untuk kedua bola mata Tanteku.
“Lho, pakaianmu ke
mana Bayu?”, kata Tanteku menyembunyikan keterkejutannya, sambil melihat batang
penisku.
“Nggak tahu Tante,
tadi abis dimandiin suster nggak dipakein lagi. Di bawah ranjang kali”, sahutku
ngasal. Tanteku mulai mendekatkan pispot ke sisi ranjang, dan aku mulai
memiringkan tubuhku, kemudian Tanteku memegang penisku, dan mengarahkan ke
pispot. Tampak ia agak khawatir dengan sesuatu.
“Kapan suster ke
sini lagi?”, tanyanya.
“Masih lama Tante,
paling entar, pas makan siang. Emang kenapa?”, tanyaku balik.
“Nggak apa-apa
sih.. Eh, udah punya cewek belum Bayu?”, sambil tetap memegangi penisku yang
belum pipis juga.
“Lagi kosong Tante.
Belum pernah lagi, semenjak waktu liburan di rumah Tante”, sahutku sambil
memancing tanggapan dia atas kejadian yang pernah kami lakukan. Tampak dia
terpaku, mungkin tidak begitu suka dengan pendekatan seksku seperti itu, namun
tetap memegangi batang penisku, yang terasa hangat di genggaman tangannya.
“Mana nih
pipisnya?”, katanya sambil tersenyum.
“Enggak tahu Tante,
tadi pengen pipis. Mungkin pengen pipis seperti waktu dirumah Tante”, kataku
blak-blakan, sudah enggak peduli apa-apa lagi. Tiba-tiba ia mendesah,
melepaskan tangannya dari penisku, menyimpan pispot, mulai menutupi tirai dan
mengunci kamar kami. Aku agak terkejut karena tiba-tiba, keintiman masa lalu
itu datang kembali dengan cara yang lebih vulgar. Sambil menangis, ia membuka
seluruh pakaiannya, berjongkok di sisi ranjang, dan dengan buas mulai mengulumi
testisku.
“Oh Tante, nikmat
banget.. terus Tante..”, kataku mulai mengerang.
“Maafin Tante waktu
itu ya Bayu.. Tante khilaf”, serunya sambil tersedu-sedu namun terus memainkan
penisku. Aku tidak mengerti apa yang dia maksud, aku tidak tahu kehidupan rumah
tangganya, yang ada bagiku saat itu hanyalah pertalian emosi dan nafsu yang ada
antara aku dan dia, sejak aku kecil. Dan aku akan menikmatinya, tanpa alasan
apapun. Aku hanya ingin menikmatinya. Setelah puas dengan penisku, ia mulai
naik ke ranjang. Menciumi dan menjilati seluruh tubuhku. Nikmat yang sukar
kulukiskan, sapuan lidahnya meliuk-liuk ganas di telingaku, diwajahku. Turun ke
puting dadaku, perutku, dan kembali ke selangkanganku. Tanteku bagai hewan seks
yang lapar.
“Naikin pantatnya
Bayu, Tante mau jilatin lubang pantat kamu”, seronoknya.
Aku mulai menaikkan
pantatku, dan lidahnya tiba-tiba bersarang di sana . Geli, malu, nikmat semuanya campur jadi
satu. Ia memutar-mutarkan lidahnya tepat dilubang pantatku dan menyodok
lubangnya dengan perlahan-lahan tapi mantap. Tiba-tiba ia membalikkan wajahnya,
dan begitu saja menyuguhkan bongkahan pantatnya diatas tubuhku yang telentang,
sambil terus menjilati penis dan testisku. Belahan vagina dan lubang pantatnya
tampak membuka seiring regangan kakinya. Aku sudah kehilangan rasa jijikku saat
itu, kedua lubang nikmatnya yang tampak sedang meledekku langsung saja kujilati
tanpa ampun. Dan ia mulai menceracau dan mencaci tidak keruan.
“Oh Bayu,
penis..Bayu, aduh, vaginaku jadi enak. Enak enggak sayang? Hanget yah? Jilat
yang, terus jilatin yah.. euuh”. Aku enggak tahan mendengar omongan joroknya.
Ia terus menyodokkan pantatnya kebelakang sambil lidah dan tangannya mengocok
penisku dengan cepat. Aku enggak tahan.
“Enak enggak
sayang? Harus cepet goyangnya kalau pengen enak yang. Uhh, vagina Tante suka
lidah kamu Bayu.. hangat, oughh..”.
“Pelan-pelan dong
Tante, nanti saya enggak kuat nih”, aku mencoba bertahan.
“Iya yang,
muncratin sini penisnya di mulut Tante yang.. sini muntahin”, sahutnya sambil
mengerang dan mengocok penisku dengan gila.
“Arrgghh.. ampun
Tante, aduh enak.. aduuh!”
“Iya sayang, penis
enak, nanti Tante kasih vagina yah”. Seiring dengan ucapannya pada kata vagina,
aku enggak tahan lagi, muntahan spermaku memancur keluar ke atas. Tante gilaku
mulai mengulumi penisku yang sudah belepotan dengan sperma. Aku terkulai, dan ia
membalikkan tubuhnya, memelukku erat. Sebagian muntahan sperma susulan terus ia
perah dengan tangannya dari penisku. Ia mulai beranjak ke kamar mandi, dan aku
tertidur ayam sebentar.
Terbangun beberapa
menit kemudian, terpampang kembali kenangan masa silam. Tanteku berdiri
membelakangiku di depan kamar mandi, dengan satu kakinya berpijak diatas
wastafel, menunggingkan pantatnya, dan kedua jari tangannya maju mundur keluar
masuk di lubang vaginanya. Penisku mulai tegang kembali, dan aku mulai masturbasi
sambil menikmati bokong indah Tanteku. Tanteku kumat lagi, dan mulai memutar
mutarkan pantatnya.
“Tante, ngentot
yuk”, rayuku. Sambil tersenyum nakal dan mata yang menantang, ia terus memutar
mutarkan pantatnya.
Aku enggak tahan. Aku langsung beranjak dari ranjang, berdiri sambil tangan
kiriku menyeret tiang infus yang beroda, dan mendekati Tanteku dari belakang.
Ia terkejut melihat aku bisa berdiri, tapi kemudian dengan bahasa tubuh aku
yakinkan dia agar tetap disitu. Tangannya mulai ia lepas dari lubang vaginanya,
dan kemudian ia angkat lagi pantatnya dengan bantuan kedua telapak tangannya
yang membukakan lubang vaginanya.
“Uh, ayo colok
Tante Bayu, pake penis..”, erang Tanteku manja.
“Oughh..”, enggak
tahan aku dengan gelinya kepala penisku waktu mulai bergesekkan dengan bibir
kemaluannya.
“Ayo yang, colok
yang dalem, gatel..”, seringainya sambil menekan pantatnya ke belakang. Dan
waktu penisku memasuki vaginanya sepenuhnya, kami berdua kesetanan dan mulai
berpacu mengejar puncak kenikmatan.
“Oooh, Bayu..enak,
oh, kontol kamu enak bangeet siih”, menggeram Tanteku dengan tubuh yang
terhentak-hentak.
“Pengen pipis di
dalem, oohh.. Tante, aku enggak kuuat”. Lama kelamaan berdiri membuatku
berkeringat. Dengan tangan kiri memegang tiang infus dan tangan kanan bersandar
pada tembok, membuat pinggulku dalam posisi bebas untuk menyodok kemaluannya
sedalam mungkin. Kedua tangan Tanteku mulai memegang wastafel, dan ia makin tak
terkendali. Tubuhnya yang terguncang-guncang, pantatnya binal menghentak-hentak
dan basah vaginanya membuatku lupa daratan.
“Ooh Tantee, buka
vaginanya doong, pengen lihat”, kataku lirih dalam guncangan goyangannya. Ia
menarik satu
tangannya ke belakang, dan membuka belahan pantatnya. Pemandangan yang makin
membuatku mabuk terguncang guncang, dan ia makin seronok.
“Oh anjing kamu
Bayu, ngentotiin Tantee kaya babi..oh, anjing ngentot!”, ceracau Tanteku enggak
keruan. Aku enggak tahan lagi.
“Arrggh, Tante..
ooh, nikmaathh!!”, aku pun kelojotan di dalam vaginanya, dengan sigap ia pegang
erat pantatku dan mendorongnya makin dalam sambil memutar mutarkan pantatnya.
Nikmat, serasa terbang dan rasa ngilu karena goyangan pantatnya enggak berhenti
membuat mataku berkunang kunang. Persetubuhan singkat itu membuat kondisi
tubuhku ngedrop, dan aku terjatuh, tidak ingat apa apa lagi. Hal terakhir yang
aku sadari adalah lepasnya jarum infus dari tanganku.
Terbangun di sore
hari, Tanteku sedang duduk di kursi sambil membaca majalah. Suster sedang
memeriksa kondisiku, memastikan segalanya baik-baik saja. Aku tiba-tiba sadar,
dibalik selimutku, Tanteku belum mengenakanku pakaian. Sebelum keluar dari
ruangan, suster itu mengernyitkan dahi sambil memandangi sebentar cetakan
penisku yang membayang di balik selimut. Mungkin ia bingung dengan apa yang
terjadi, akhirnya ia tersenyum, mencubit kecil penisku dari luar selimut dan
berlalu dari kamar. Tanteku memelukku dan berjanji tidak akan mengizinkan aku
menikmati tubuhnya lagi sambil berdiri. Hari itu adalah hari yang paling aneh,
namun sekaligus paling menyenangkan.
Aku tidak pernah
berhenti berpikir tentang Tanteku sampai saat ini. Setidaknya, tidak bisa
melupakan hasratku yang terus menerus menggangguku, yaitu hasrat seks pada
wanita-wanita berumur. Dan sampai sekarang, orientasi seksku yang terbesar
adalah berhubungan dengan wanita-wanita paruh baya.
Komentar
Posting Komentar