Aku menoleh ke arah Kak Zaki. Kakak
iparku itu tampak terjepit dalam himpitan kedua paha putihku. Dia lantas
tersenyum ke arahku, senyuman senang seperti senyuman yang menyindir.
Serta-merta, aku mengambil bantal
dan menutupkannya di wajahku.
"Aku malu. Aku malu. Aku
malu! Teriakku dalam hati.
Rasanya malu sekali.
Kak Zaki terdengar tertawa hingga
berselang beberapa waktu kemudian dia menghampiriku. Perlahan, dia mengangkat
bantal yang menutupi wajahku.
"Haha. Kenapa?
"Enak banget yaa?"
Tanyanya menggodaku.
Dengan sedikit tawa dan malu, aku
berusaha tersenyum ke arahnya.
"Loooh kok."
"Kok malah nangiiis?" Kak
Zaki bertanya dengan panik.
"Haha." Aku berusaha
tertawa sambil menutup wajahku dengan tanganku.
"Enggak kok." Jawabku
sambil menyeka air mataku, dan berusaha tetap tersenyum.
"Kenapa ih?
"Gak kenapa-napa."
"Ayo. Cerita aja."
"Aku cuma malu." Jawabku.
"Bukan sedih atau marah?"
Aku menggeleng. "Tapi enak?"
Tanyanya, hendak memastikan.
Aku membenamkan wajahku ke bahunya
sambil tertawa-tawa.
"Gimana? Enak?" Tanyanya
lagi, penasaran.
Masih di rangkulannya, aku
mengangguk.
"Enak banget." Jawabku
terpaksa jujur, walau pun rasanya malu sekali untuk mengakui itu tapi aku tak
ingin Kak Zaki salah paham.
Aku tak tahu kenapa aku bisa
tiba-tiba menangis. Bukan karena aku sakit hati, bukan karena merasa dicabuli,
merasa berdosa, atau merasa takut, dan bukan pula karena merasa sedih.
Agar dia tak panik, aku pun akhirnya
berusaha untuk menceritakannya. Bahwa tadi adalah klimaks yang terheboh yang
pernah aku alami, dan aku sama sekali tak pernah menyangka rasanya bisa seenak
itu. Aku bilang, sekali pun pernah masturbasi, tapi rasanya tak ada yang pernah
seperti itu.
"Jadi, kamu itu shock.
Iya?"
Aku mengangguk sambil menyeka
kembali mataku yang masih terasa basah.
"Saking enaknya?"
Aku mengangguk lagi.
Kemudian, aku ceritakan soal gaya
pacaranku yang tak pernah sejauh itu. Aku jelaskan bagaimana aku dididik dari kecil,
bagimana lingkunganku, dan bagaimana keseharianku membuatku punya pendirian dan
batasannya sendiri.
"Gak pernah telanjang? Gak
pernah tidur bareng? Pelukan begini?" Tanyanya seraya menunjukku yang
sedang dirangkulnya.
"Telanjang gak pernah. Tidur
bareng iya, tapi cuman tiduran. Pelukan, ciuman, pegang-pegang, handjob,
blowjob. Sejauh itu aja." Jelasku.
"Blowjob?"
Aku mengangguk.
Wajahnya pun mendadak sumringah.
Dari raut wajahnya, aku tahu apa yang dia pikirkan.
"Kak Zaki mau?" Tanyaku,
sedikit memberanikan diri.
Wajahnya berbinar dan
tersenyum-senyum.
"Cowok mana di muka bumi ini
yang bisa menolak tawaran kayak gitu?" Jawabnya.
"Apalagi dari cewek secakep
kamu."
"Tapi aku gak sepintar Kak
Della." Ujarku, khawatir tak bisa memuaskannya seperti dia memuaskanku
tadi.
"Gampang. Itu bisa aku
ajarin." Ujarnya sambil terkekeh.
Walau pun malu, aku memberanikan
diri untuk membuka sabuk dan celananya. Sampai saat aku hendak melepas celana
dalamnya, Kak Zaki menahanku.
"Jangan buru-buru."
Pintanya.
"Oh. Oke." Pikirku dalam
hati. Nampaknya Kak Zaki ingin aku bermanja-manja dengan barang miliknya itu
terlebih dahulu.
Maka kemudian kusentuh, kubelai, dan
kupijat bagian celana dalam yang menggembung ini. Celana dalamnya cukup tebal
sehingga tak begitu jelas bagian penis dan biji kemaluannya, apalagi dengan
penis yang masih lemah seperti itu.
"Kenapa celana dalem cowok
mesti setebal ini?" Pikirku.
Tebalnya celana dalamnya
mengingatkanku pada bra-bra padless katun punyaku, sangat berbeda jauh dengan
celana dalamku yang malah sangat tipis.
Tapi dengan usapanku, perlahan-lahan
benda yang tadinya terasa lembek itu sekarang mulai terasa kenyal. Bentuk
penisnya yang berbatang mulai terasa olehku. Dari kenyal, kemudian mulai terasa
liat, volumenya pun perlahan bertambah, semakin tebal dan semakin mengembang.
Hingga beberapa waktu kemudian,
lonjoran batangnya mulai terasa dan bisa kulihat dari bentuknya yang mulai
lurus. Tanganku yang membelai-belainya seolah pompa angin yang sedang meniup balon
cacing. Menebal dan mengembang, sampai pada akhirnya penisnya mengeras.
Aku tersenyum-senyum sendiri
mendapati metamorfosis kemaluannya yang sangat menggemaskan ini. Dari lembek
seperti onggokan kulit kemudian menjadi padat seperti daging, dari daging
menjadi otot, dari otot menjadi tulang, dari tulang mengeras seperti menjadi
besi.
Sebelum kepenasaranku berakhir, Kak
Zaki mengarahkan kepalaku untuk menciuminya. Hawa hangat selangkangannya terasa
menerpa wajahku saat bibirku mulai menempel ke celana dalamnya. Seiring dengan
hawa hangat itu, menguap pula aroma maskulin dari celana dalamnya yang agak
lembab berkeringat ini. Baunya seperti campuran bau permukaan kulit yang agak
kecut dan sedikit wangi hujan di tengah hutan. Aroma jantan yang mengingatkanku
pada seekor rusa di tengah rimba, maskulin, nostalgic, dan sangat menggoda.
Sekali pun aku jadi lumayan
terangsang, pikiranku masih maju-mundur ketika itu. Terkadang jadi sadar jika
ini adalah penis suaminya kakak kandungku, tapi terkadang gemas karena
diam-diam sisi feminimku tergelitik melihat kemachoan kemaluan Kak Zaki.
Baru saja aku melakukan beberapa
ciuman, tiba-tiba aku disapa oleh kepala penisnya yang muncul dari karet
pinggang celana dalamnya. Kepala penis bertopi dengan belahan lubang kencing di
tengahnya. Rupanya, celana dalam Kak Zaki sudah tak muat lagi untuk penisnya.
Aku pun menarik karet celananya
turun perlahan-lahan, dan Kak Zaki pun turut membantuku meloloskannya dari
kedua kakinya.
"Hhmhhh." Keluhku gemas,
melihat kemaluan Kak Zaki yang kini sudah telanjang di hadapanku.
Dua kantung bijinya menggelayut,
berpegangan pada batang pangkal kemaluan yang kokoh, yang menancap pada
selangkangannya. Dilatari rambut kemaluan yang terpotong rapi, batangnya
melonjor dengan kekar. Kulitnya yang berawarna gelap dan kemerahan, dengan
sejumlah urat-urat nadi yang meregang, mencengkram ke sekujur batang
kemaluannya. Tak terbayang olehku, bagaimana rasanya memiliki kemaluan dengan
urat-urat dan batang seperti itu, aku saja yang punya klitoris yang sangat
kecil, rasanya sudah kewalahan. Bagian lehernya yang menampakkan bekas luka
sunat, hanya membuatnya tambah terlihat jantan. Di bagian ujungnya, kepala
penis dengan lubang kencingnya itu terlihat tebal, kenyal, mengkilat, dan
kencang. Aku semakin merasa gemas dibuatnya, bahkan otot-otot kemaluanku terasa
berkedut-kedut karenanya.
"Kamu suka?" Tanyanya,
mungkin karena melihat raut geregetan di wajahku.
Aku mengangguk sambil kubelai-belai
dengan tanganku. Sesekali, tanduk pejantan ini mengejat-ngejat seperti
keenakan.
"Apa yang kamu suka?"
Tanyanya lagi.
"Hhmmhhh. Gemesin." Ujarku
sambil menghela nafas.
Tanpa harus diperintah, aku pun
mulai menciuminya. Begitu panas. Begitu berotot. Begitu menggoda.
Rupanya aku tak cukup tahan dengan
penisnya yang sangat mengguggah selera ini. Tanpa aba-aba, kulahap habis
sebatang-batangnya ke dalam mulutku. Walau pun sempat tersangkut di bibir dan
gigiku, aku berusaha sebisanya untuk mendekapnya dengan dinding mulut dan
bibirku. Aku basahi dan kupijat-pijat dengan lidahku.
"Argghhhh!!"
Kak Zaki sempat terdengar merintih.
Aku pun menatapnya, raut wajahnya tampak kesakitan, tapi dia tak melarang
mulutku yang masih mengulum penisnya.
Khawatir aku salah cara atau mungkin
dia terluka karena gigiku, aku pun berhenti untuk sesaat.
"Kenapa? Sakit?" Tanyaku.
Kak Zaki menggeleng.
"Mulut kamu itu mungil
banget."
"Sempit. Aku jadi
keenakan."
Mendengar itu, aku jadi tertawa.
Tapi lekas-lekas aku kembali memasukkan penisnya ke dalam mulutku. Dan seperti
pengalamanku memblowjob sebelumnya, kuhisap, kupijat, kutarik dan kuulur
keluar-masuk mulutku.
Selagi aku menghisapi kemaluannya,
dinding bibir kemaluanku terasa menghangat oleh cairan pelumas dari dalam
rongga vaginaku. Kemaluan keras yang tebal ini terasa penuh di mulutku,
otot-otot dan urat-uratnya yang kekar terasa bergerinjul-gerinjul di mulutku,
dan aku tak bisa berhenti berpikir apa jadinya kalau batang penis ini berada
dalam rongga kemaluanku. Gelikah? Gatalkah? Karena pikiran liarku itu, aku
berusaha sebisa mungkin mengencang-ngencangkan otot-otot kemaluanku agar cairan
vaginaku yang meleleh karena terangsang ini tidak luber. Aku sadar di bawah
sana aku sedang tidak memakai celana dalam.
"Bell." Panggilnya, di antara
kecipak mulutku dan kemaluannya yang basah dengan air liurku.
"Kalo dikeluarin di mulut, kamu
pernah?"
Aku tak menjawab, walau pun pernah
tapi terlalu memalukan untuk kujawab. Tapi mungkin itu yang Kak Zaki mau.
"Kak Zaki mau?" Tanyaku,
membuka mulut sekalian mengusir pegal yang mulai terasa di rahangku.
Dia hanya menjawab dengan senyuman.
"Kalo keluarin di muka?"
"Belum pernah." Jawabku.
"Tapi Kak Zaki mau?"
Dari dulu, aku menganggap hal itu
berlebihan sehingga setiap pacarku meminta, pasti aku tolak. Tapi, mengingat
aku tadi sudah dibuat orgasme dengan sebegitu dahsyatnya, aku pikir mungkin ini
cara yang tepat untuk membalasnya.
Dia mengangguk senang.
Berselang sekitar lima menit
kemudian, aku mendapati tangan Kak Zaki di kepalaku. Dari gerakannya, dia
seolah memintaku untuk menggerakan kepalaku lebih cepat. Aku pun mulai
mengabaikan hisapan dan pijatan lidahku, kubiarkan mulutku dan penis Kak Zaki
bercumbu sesuai dengan gerakan tangannya.
Seiring bertambah cepatnya gerakan, kecipak-kecipuk
basahnya mulut dan penis sudah mulai tak terkontrol, air liurku bahkan sudah
meluber ke pangkal kemaluannya. Gerakannya pun bertambah cepat, bertambah
cepat, bertambah cepat …
"Bel. Aku mau keluar."
Ujarnya dengan nafas terengah-engah. Lalu bangun berlutut di hadapanku.
Diraihnya kepalaku dan dimasukkannya
lagi penisnya ke mulutku, disusul dengan beberapa gerakan menusuk dari
pantatnya.
Lalu tiba-tiba Kak Zaki terdiam dan
membenamkan penisnya di mulutku, sangat dalam hingga menyentuh bagian amandel
di tenggorokanku. Bersamaan dengan itu, batang penisnya terasa mendorong
sesuatu hingga penisnya terasa melonjak. Sebuah lonjakan yang disertai lontaran
cairan yang cukup keras menghantam tenggorokanku. Cairan yang hangat dan terasa
lengket, berbarengan itu, aku bisa kudengar suara lenguhan dan dengusan dari
hidungnya.
Berselang sepersekian detik, batang
penis itu terasa memompa kembali dan menghantamkan kembali cairannya yang
kedua. Sebagian memercik ke jalur pernafasanku hingga aku tersedak, sebagian
lainnya lumer di lidahku bagian dalam.
Sebelum cairan ketiga keluar, Kak
Zaki sudah lebih dulu mencabut penisnya, dan mengarahkannya ke wajahku.
Refleks, aku memejamkan mata. Dan benar saja, lontaran berikutnya terasa
menghantam kelopak mataku yang tertutup. Cairan itu terasa panas seperti
layaknya lava, memercik ke beberapa bagian di wajahku, sebelum perlahan
mengalir ke pipiku.
Lontaran-lontaran berikutnya terasa
lebih sedikit, tapi tetap saja, lemparannya membuat aku kalang-kabut. Dahi, pipi,
dan hidungku bahkan jadi sasarannya.
Sebelum semuanya berakhir sama
sekali, Kak Zaki sempat mengocok penisnya dengan tangannya. Aku hanya tau dari
suara dan goyangan tubuhnya, aku tak dapat melihatnya karena mataku rapat oleh
cairan yang terasa panas dan lengket itu.
Beberapa waktu kemudian, dia meraih
kembali kepalaku dan membenamkan penisnya kembali di mulutku, disusul sejumlah
lontaran yang sama kencangnya seperti di awal. Tapi kali ini dia tak
mencabutnya, Kak Zaki membiarkan penisnya di dalam mulutku sampai semua
lontaran cairannya selesai.
Dengan sisa-sisa kedutan di
penisnya, aku berusaha membantu menghabiskan ejakulasinya itu dengan
hisapan-hisapan di mulutku. Sampai tak tersisa lagi cairan panas dari kepala
penisnya, kutelan habis cairan panas yang menggenang di mulutku itu.
Dengan hati-hati, ditariknya
penisnya keluar dari mulutku. Aku pun menyeka sisa-sisa sperma yang lengket di
mataku, dan kemudian melihat Kak Zaki yang telanjang itu tidur terlentang
dengan nafas yang terengah-engah.
Dengan lemah, dia membuka matanya
dan melirik ke arahku sambil tersenyum.
"Enak banget, Bell."
Ujarnya.
"Enak sih. Tapi ini?"
Protesku sambil menunjuk wajahku yang berlumuran spermanya.
Semerbak wangi pandan dan vanilla
sangat jelas tercium di hidungku, terutama karena sebagian spermanya masuk ke
lubang hidungku.
"Suka tapi, kan?"
Tanyanya.
Aku tersenyum dan mencolek spermanya
dari pipi dan daguku dengan telunjukku.
"Suka." Jawabku sambil
menghisap sperma yang ada di telunjukku.
"Sperma Kak Zaki enak."
Mendengar suara Kak Della, aku pun
panik. Seketika itu juga aku refleks meronta dari sofa, tanpa kupedulikan Kak
Zaki yang sedang setengah menindihku itu. Aku buru-buru berdiri, membetulkan
celana, dan lantas bergegas menuju ke kamar mandi. Untung saja ada kamar mandi,
aku tak tahu harus bersembunyi ke mana jika bukan ke sana!
Bahkan seandainya telat beberapa
saat saja, aku nyaris saja berpapasan dengan Kak Della. Tepat saat aku masuk ke
kamar mandi, aku mendengar Kak Della membuka pintu kamarnya.
"Nyaris!" Seruku dalam
hati.
Aku langsung mengunci kamar mandi
seketika itu juga.
Terdiam di belakang pintu kamar
mandi, aku mengurut dadaku. Menghela nafas dalam-dalam.
Aku tadi terkejut bukan kepalang.
Saat ini, tanganku bahkan terlihat masih bergetar karena gugup.
Soal Kak Zaki. Aku tak tahu apa
jadinya dengan dia sekarang. Aku tak tahu bagaimana pikirannya dia tadi di
sofa. Aku tak tahu apa reaksinya saat melihatku kabur tadi. Aku tak tahu
jadinya, apa yang dia pikirkan tentangku.
"Ah. Bodo amat!" Kutukku
dalam hati. Toh dia sendiri yang memulai semua itu.
"Bodo amat. Bodo amat."
Kekhawatiranku tentang Kak Zaki
rasanya tak terlalu penting, yang lebih penting lagi martabat keluargaku.
Nyaris saja terjadi skandal adik dan kakak ipar di rumah tangga ini! Beruntung
Kak Della bangun di saat yang sangat tepat.
"Kamu ini kenapa sih???"
Berkali-kali aku mencela diriku sendiri.
Kejadian tadi begitu cepat, begitu
tak terduga, begitu tak terkendalikan. Seumur-umur, rasanya belum pernah sekali
pun aku mengalami kejadian yang seekstrim ini. Sejatinya, aku hanyalah gadis
rumahan yang tahunya hanya sekolah dan kuliah. Main saja aku tak pernah larut,
nakal pun aku tak sampai merokok. Bahkan aku baru punya pacar saja hanya
menjelang kelulusan SMA, dan selama itu pun tak ada yang pernah kuizinkan
menjamah-jamah daerah kewanitaanku. Aku hanya membolehkan pacarku untuk nakal
sebatas dada saja.
"Hhhhhhhehhh." Aku
menghela nafas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri.
"Kok bisa aku jadi kayak gitu
sih?"
Di kamar mandi, aku hanya bisa diam.
Sisa-sisa adegan erotis tadi masih terasa berbekas. Hawa birahi masih terasa
panas menguap dari punggung dan dadaku, melewati kerah bajuku, menerpa-nerpa
leher dan wajahku. Panas tubuhku itu begitu kontras dengan temperatur kamar mandi
yang dingin. Renyut-renyut nikmat bahkan masih terasa di pangkal otak dan
sumsum tulang belakangku, berdenyut-denyut dari ujung syaraf-syaraf di
kemaluanku yang basah.
Setelah agak lama, shock dan stressku
mereda. Akal sehatku mulai baikan. Ketika itu, yang kukhawatirkan tinggal satu
hal. Keperawananku! Aku tak habis pikir, bagaimana ceritanya aku bisa lalai.
Bagian tubuhku yang selalu kujaga dan kurawat sepanjang waktu, hal terakhir
yang paling berharga dari seorang Bella, bisa tersaji begitu saja di hadapan
seorang kakak ipar yang cabul.
Khawatir dengan hal itu, aku pun
memutuskan untuk memeriksanya.
Rasanya, baru kali ini aku
terangsang hebat seperti ini, terbukti bahkan saat melepas skinny jeans ketatku
ini, rasanya pahaku berdesir-desir keenakan.
Baru setengahnya saja melepas
jeansku, rembesan basah sudah nampak jelas di bagian tengah celana dalamku, uap
hangat dari lipatan kemaluanku terasa menerpa wajahku. Secepatnya, aku
memeriksa kemaluanku. Ketika itu, klitorisku nampak masih bengkak,
berkedut-kedut dan tegang, mencuat ke luar tak seperti biasanya, pertanda aku
sangat terangsang. Bagian balung di bawahnya bahkan masih terlihat mekar
memerah, mengkilat-kilat oleh cairan cintaku. Bibir kemaluanku yang tembam
sebagian tampak lebam, merah merona, kontras dengan permukaan kulit yang putih
di sekelilingnya.
Beruntungnya, aku tak menemukan
sepercik noda merah di mana pun. Nampaknya penis Kak Zaki belum sama sekali
sempat menjamah selaput daraku.
***
Pagi itu, aku sangat berharap untuk
terbangun di kosan atau di rumahku saja. Aku merasa tak sanggup jika harus
bertemu dengan Kak Zaki untuk kali ini. Tapi apa daya, Covid-19 sedang
menguasai dunia, jangankan berkhayal, untuk pergi saja memang tak mungkin. Aku
pasrah saja saat terbangun di rumah mungil yang masih bau cat ini.
Suara letupan minyak goreng dan
wangi telor dadar dari arah dapur dengan cepat mengembalikan kesadaranku. Aku
pun bangun dan duduk dengan setengah lesu.
"Sarapan. Sini." Suara Kak
Della terdengar memanggilku dari jauh, dari dapur yang bentuknya terbuka itu.
Aku menengok, tersenyum, bangun, dan
kemudian menghampirinya.
Sedikitnya ada perasaan bersalah
saat aku bertemu dengan Kak Della. Setelah kupikir-pikir, aku tega sekali tadi
malam membiarkan suaminya mencabuliku, padahal kakakku ini sebegitu baiknya
padaku. Semoga saja Kak Zaki sudah pergi entah kemana.
"Kak Zaki ke mana, Kak?"
Tanyaku sambil duduk di meja makan, tak jauh dari tempat Kak Della memasak.
"Bangun-bangun malah nanyain
Zaki. Sarapan dulu, napa?" Jawab Kak Della tertawa dan menunjuk hidangan
sarapan yang sudah tersaji di hadapanku.
"Mau apa emang? Tuh, orangnya
di situ."
"Apa, Bell?" Tiba-tiba saja
aku mendengar suara Kak Zaki tak jauh dariku. Entah bagaimana ceritanya,
rupanya Kak Zaki dari tadi sedang duduk di lantai, sedang membuka tali sepatu
runningnya.
"What the faaak!" Teriakku
dalam hati dengan lemas.
"Bego banget!"
"Begooo, bego!"
"Sarapan ala kadarnya aja ya,
Bel." Ujar Kak Zaki santai, lantas bangun berdiri.
"Bego dasar. Aduh.
Maluuu.."
Baru kali ini aku merasa gagal jadi
manusia. Entah apa yang dia pikirkan tentangku jadinya sekarang, setelah cukup
salah tingkah karena kejadian tadi malam, sekarang ditambah hal seperti ini.
Tapi keabsurdan hari itu rupanya
baru mulai. Beberapa saat setelah aku beres sarapan, Kak Zaki juga baru beres
mandi. Tapi dasar cowok, ketika itu dia hanya berhanduk seperut, dengan
santainya menghampiriku di depan meja makan. Baginya mungkin itu biasa saja;
mencomot tempe mendoan dari meja sambil berbincang-bincang dengan Kak Della,
seperti pagi yang biasa buat Kak Zaki, mungkin. Tapi bagiku ini terlalu vulgar.
Dengan berhanduk seperti itu? Ayolah,
"Pake baju dulu napa
seeeh!"
Perutnya yang terbuka, berlatarkan
otot-otot six pack yang samar, dengan rambut-rambut maskulinnya yang tumbuh di
bawah pusarnya, sedikitnya membuat perasaanku gundah. Apalagi ketika mataku
menyisir handuk yang terlilit di tubuhnya. Pandanganku terantuk bagian yang
menebal di tengah handuknya itu. Di balik handuk itu, samar, seolah ada belalai
yang menjuntai ke bawah.
"Hemhh. Haha.." Aku
tertawa mendengus, merasa geli dan malu sendiri melihatnya. Terang saja aku
begitu, di rumahku yang mayoritas perempuan tak pernah ada pemandangan porno
seperti itu. Masih ada ayahku memang, tapi itu tak masuk hitunganku.
Penampakan itu langsung
mengingatkanku bagaimana belalainya itu mencabuli kemaluanku. Aku tak bisa
membayangkan, apa jadinya dengan Kak Zaki semalam, ketika dia mendapati batang
kejantanannya itu terlumuri oleh cairan birahi adik iparnya.
"Haha.."
"Itu cairan kemaluan gadis
perawan, loh! Gak akan bisa dibeli sembarangan."
Selesai urusanku di meja makan, Kak
Della menyuruhku mandi duluan. Aku pun pergi ke kamar mandi. Di sana, setan
syahwat rupanya masih mengikutiku. Wangi segar bekas Kak Zaki mandi masih
menyelubungi ruang kamar mandi. Wangi maskulin yang jantan, wangi yang jarang
kutemui di rumah dan kosanku. Entahlah, rasanya sangat menggugah gairah,
sampai-sampai rasanya ujung-ujung syaraf tubuhku terasa menyilu-nyilu,
mendesir-desir karena menghirup itu.
Clear Men Shampoo, The Body Shop Men
Shower Gel, L'Oreal Men Expert Moisturizer, Gillette Men Shaving Cream, Dove
Men Roll On, satu per-satu kulihat dan kubaui karena penasaran. Tumbuh dari
kecil dalam keluarga mayoritas perempuan, barang-barang-barang cowok seperti
ini memang jarang kujumpai di rumah. Tapi aku tak pernah sejalang ini
sebelumnya, baru kali ini kelakuanku agak nyeleneh.
Aku pun mulai bertanya-tanya. Apakah
aku sedang berahi? Kenapa segala hal tentang cowok mendadak membuatku
terangsang? Mungkinkah karena pengaruh pencabulan tadi malam? Aku berkaca,
menatap kedua buah dadaku yang rasanya lebih kencang dari biasanya. Aku pun
mulai menghitung-hitung tanggal jadwal menstruasiku, takutnya ini hanya
fluktuasi hormonal semata.
Entahlah, tapi aku memang sedang
centil hari ini, aku merasa tubuhku jadi lebih seksi hari ini. Terbukti saat
memilih baju pun, aku sedikit kesulitan memilihnya. Bajuku yang biasa terasa
'terlalu biasa' untukku hari ini.
Pilihan pakaianku pada akhirnya
jatuh pada satu setelan yang lucu, cukup seksi tapi tetap lucu. Tank top katun u-neck
longgar pink dengan legging jogging spandeks ketat berwarma abu-abu. Setelan
ini sebetulnya buat aku terlalu 'kurang sopan' untuk dipakai di tempat umum;
kerah tank topku ini terlalu lebar sehingga sebagian payudaraku bisa terlihat
dengan mudah, sementara leggingku terlalu ketat dan sangat tipis sehingga
lekukan dan lipatan tubuhku jadi jelas terlihat. Selama ini, aku tak pernah
memakainya selain di luar rumah dan kamar kosku. Tapi hari itu aku merasa lain,
aku merasa seperti ingin jadi pusat perhatiannya Kak Zaki.
Katanya orang-orang, matanya
perempuan itu jeli. Struktur pada otaknya membuat perempuan bisa peka dengan
penglihatan periferal, penglihatan pada objek yang berada di luar fokus mata.
Jika itu benar, maka artinya sepanjang waktu Kak Zaki memperhatikanku, karena
feelingku merasa seperti itu. Dari siang hingga sore, kali itu kami bertiga
bahu-membahu membereskan kamar yang kemarin tertunda, dan aku merasa mata
jalang Kak Zaki tak pernah lepas memperhatikan badanku. Bisa saja aku salah soal
itu, bisa jadi aku hanya kegeeran, bisa jadi lebay semata. Tapi beberapa kali
memang mata Kak Zaki tertangkap basah sedang mengintip celah kerah bajuku, di
waktu lainnya mengintip selangkangan di celah pahaku. Aku tak biasa pamer tak
senonoh seperti itu, tapi kali itu aku sangat senang, aku merasa dianggap, aku
merasa diperhitungkan, aku merasa tubuhku cukup bagus sampai bisa menarik
perhatiannya.
Komentar
Posting Komentar