"Warga kotaku tercinta …"
Sayup terdengar suara dari televisi.
"Saya sebagai walikota,
menghimbau seluruh warga untuk melakukan pembatasan aktivitas selama dua minggu
ke depan."
"Untuk kebutuhan pokok, kami
memastikan …"
"Lah. Diperpanjang ya,
Kak?" Tanyaku, memotong pidato Pak Walikota di televisi.
"Sepertinya iya. Udah
kuprediksi bakal lama." Jawab Kak Zaki.
"Sabar aja, Bel." Timpal
Kak Della.
"Kamu betah-betahin aja di
rumah ini, ya."
Aku mengiyakan saja. Aku hanya
khawatir bagaimana jadinya dengan UASku yang tinggal tiga minggu lagi.
"Betah tapi kamu?" Tanya
Kak Della.
"Kasian jadi tidur di
sofa."
"Semalem gimana, enak
tapi?"
"Enak sih, ditidurin suami
orang." Jawabku dalam hati sambil terkikik.
Sebelum hendak menjawab serius,
mataku berpapasan dengan mata Kak Zaki. Samar tapi aku menangkap raut wajahnya
yang terlihat was-was.
"Em …" Aku bergumam
sesaat.
"Aku bilangin Kak Della nih.
Tau rasa, lo." Bisikku lagi dalam hati sambil tertawa lagi. Kulirik lagi
Kak Zaki, dia pun membalas melirik balik.
"Enak banget." Jawabku
dengan sedikit usil, sambil kuperhatikan reaksi Kak Zaki.
Kak Zaki tampak melongo mendengar
jawabanku. Aku hanya bisa tertawa mengakak dalam hati.
"Kasian tapi kamu. Sekarang pun
kamarmu belum ada kasurnya." Kata Kak Della.
"Mungkin malem ini biar Kak
Zaki aja yang tidur di sofa. Kamu tidur sama aku."
"Enggak ..."
"Enggak ..." Tiba-tiba,
aku dan Kak Zaki menjawab berbarengan.
Aku langsung diam, begitu pun
dengannya. Untuk beberapa detik, pandangannya dan pandangan mataku berbenturan
kembali tanpa sengaja.
"Enggak lah. Gak usah."
Lanjut Kak Zaki mendahuluiku.
"Kayaknya sofa lebih …"
"Ya kamu tau lah, Bun. Kamar
kita berantakan. Gak enak sama Bella."
"Oh. Itu maunya, yaa.."
Kelakarku dalam hati.
Aku manggut-manggut, aku paham.
Kemungkinan besar skandal pencabulan kakak ipar bakal terjadi kembali nanti malam.
"Aku di sofa lagi juga oke kok,
Kak." Aku menjawab seenak hati.
Pukul 11.00, tepat di jam yang sama
dengan kejadian kemarin malam, aku masih terjaga dari tidurku. Tapi kali ini
aku tidak lagi di sofa pencabulan itu.
Yap. Pada akhirnya aku memutuskan
untuk tidur di kamar bersama Kak Della. Alasanku sederhana, jawaban Kak Zaki
tadi terlalu mudah untuk ditebak, begitu pun dengan reaksiku yang terlalu
murahan. Rasanya terlalu murahan untuk begitu saja masuk ke dalam perangkapnya.
Sedikitnya, ada bagian dalam diriku yang berharap untuk mengalami peristiwa itu
lagi, tapi aku tak sudi jika itu terjadi dengan kesengajaanku. Ternyata seru
juga kalau dipikir-pikir. Selama ini aku tak pernah berani berpetualang senekat
itu, terbentur prinsip dan moralku.
Sekitar setengah jam berikutnya, aku
mendengar suara langkah kaki, suara yang cukup jelas, mengingat malam begitu
sunyi. Dari keremangan lampu tidur, aku melihat Kak Zaki di ambang pintu. Aku
yang ketika itu masih menggulung-gulung halaman Instagram segera menutup
handphoneku begitu melihat dia memasuki kamar. Awalnya aku mengira dia hendak
mengambil sesuatu, entah selimut atau bantal, tapi kakak iparku itu justru
malah merebahkan diri di sisi jauh Kak Della yang sedang tidur terlelap di
sampingku.
"Emang dia mau tidur bertiga di
sini, gitu?" Tanyaku dalam hati sambil membetulkan selimut.
Suasana ketika itu tak ada bedanya
dengan malam kemarin, lolongan anjing di kejauhan menandakan hingar-bingar
peradaban manusia sudah lenyap ditelan kantuk. Satu jam sekali, suara ronda
malam satpam perumahan yang memukul-mukul tiang listrik membuat keheningan
tambah terasa syahdu. Suara nafas nyenyak Kak Della yang tidur di sampingku
jadi terdengar nyaring karenanya.
Tak berapa lama, aku mendengar suara
kain berdesakan, bersentuhan satu sama lain. Aku membuka mata dan dengan sudut
mataku, aku melihat tangan Kak Zaki tertumpang memeluk dada Kak Della. Tapi
tentu saja aku tak terkejut, toh mereka suami-istri. Walau pun belum
benar-benar terbiasa tapi aku bisa menerima itu.
Hanya saja, selang beberapa waktu
kemudian, aku mendengar suara itu kembali. Di keremangan lampu tidur tapi masih
cukup jelas itu, aku melihat tangan Kak Zaki merentang ke arahku,
menggapai-gapai, dan tiba-tiba mendarat di dadaku!
"WTF! Dia mau ngapain?"
Tanyaku dalam hati terkejut.
Pertanyaanku rupanya tak butuh untuk
dijawab. Segera, jemarinya yang mulai berkeliaran di tonjolan dadaku menjawab
pertanyaanku. Kak Zaki sepertinya ketagihan dengan payudaraku. Aku sendiri
hanya diam, tak tahu harus berbuat apa.
Sedikit demi sedikit, tangannya yang
awalnya hanya meraba-raba, sekarang sudah berani meremas-remas buah dadaku.
Walau pun mulai merasa keenakan, aku tetap diam saja. Aku hanya tak habis
pikir, apa jadinya kalau Kak Della bangun? Memangnya Kak Zaki tak berpikir ke
sana?
Tapi toh aku merasa, kalau pun
ketahuan, jelas bukan salahku.
"Hhhh..hhhhh." Desahku
dengan pelan sesekali.
Aku masih diam ketika jarinya
membuka kancing bagian atas piyamaku. Aku hanya menatap jarinya yang
mengusap-usap kulit payudaraku yang mulai terbuka. Sambil mengawasi situasi,
aku pasrah saja saat melihat jarinya merayap-rayap, menyelinap melintasi
keliman luar cup bra merah yang kupakai. Kemudian dengan mudahnya jari nakal
itu meraih puncak susuku, braku memang longgar karena aku terbiasa melepaskan
kaitan bra setiap kali pergi tidur, atau lebih sering aku tak memakai bra sama
sekali untuk tidur.
"Hhhh..hhhhh."
Aku menghela nafas dalam-dalam ketika
putingku mulai dijiwit dan dipilin-pilin jari nakal itu.
Tapi karena pada dasarnya cowok itu
serakah, satu buah dada saja nampaknya tak cukup buat Kak Zaki. Tangannya
merentang kembali, menggapai-gapai buah dadaku yang satunya lagi. Dan persis
saat tangannya itu bergeser, Kak Dilla bergerak dari tidurnya. Seketika itu
juga Kak Zaki menarik tangannya.
"Nah kan. Mampus ketauan."
Umpatku tertawa dalam hati.
"Kok kamu tidur di sini,
sih." Gumam Kak Della pelan. Aku pun segera memejamkan mata, pura-pura
tertidur.
"Sstt. Jangan kenceng-kenceng.
Nanti kedengeran Bella." Bisik Kak Zaki, yang mana padahal terdengar
sangat jelas di telingaku ketika itu.
"Mau apa sih?" Terdengar
suara Kak Della mulai protes.
Tapi kemudian, aku tak mendengar
jawaban dari Kak Zaki, kecuali suara kecipak dua bibir yang saling berpagutan.
"Mereka ciuman?
Astaganaga." Ejekku dalam hati, padahal kemudian aku menyipitkan mata
mengintip mereka.
Aku bisa melihat kepala Kak Zaki dan
Kak Della yang sedang bergumul mesra. Ritme ciuman mereka kemudian terdengar
bertambah cepat, suaranya pun bertambah basah, disusul sejumlah desahan di
sela-selanya.
"Yah. Jangan. Nanti Bella
bangun." Pinta Kak Della pelan sambil menahan ciumannya untuk sesaat. Aku
segera memejamkan mata kembali.
"Dia lagi nyenyak." Bisik
Kak Zaki.
"Pelan-pelan aja."
Suara kain berkasak-kusuk terdengar
lagi, tapi kecipak-kecipuk suara mulut sekarang hilang, tergantikan suara
dengusan dari helaan nafas yang berat Kak Della. Aku pun membuka mata
sedikit-sedikit. Tanpa merubah posisi kepalaku, aku bisa melihat Kak Zaki
tersungkur di antara kedua paha Kak Della.
"Ya ampun!"
"Seriusan ini!?" Intipku
dengan heran. Di sana, paha Kak Della sudah telanjang tak bercelana.
Kak Della terdengar mengaduh-aduh
pelan, dengan tangannya yang menutupi mulutnya. Di antara lenguhannya itu,
sesekali Kak Della terlihat menengokkan kepalanya ke arahku, pastinya dia
khawatir aku bangun dan melihat adegan pornoaksi mereka. Aku sendiri berusaha
berdiam diri setenang mungkin, menyipitkan mata sambil berharap tak ketahuan
sedang mengamati mereka. Ini seru sekali buatku, seumur-umur belum pernah
mendapati seorang perempuan dihisapi kemaluannya oleh laki-laki, apalagi dengan
jarak yang sedekat ini.
Rupanya, tanpa membutuhkan waktu
yang lama, Kak Della sudah mulai gelagapan tak bisa menahan terjangan mulut Kak
Zaki. Tangannya meraih kepala suaminya itu, dan terlihat menariknya keluar dari
selangkangannya.
Kak Zaki menengadah, tertawa, dan
kemudian bangun. Aku pun segera memejamkan mata, khawatir tertangkap basah.
"Yah. Gimana kalo Bella bangun?
Ih." Protes Kak Della pelan.
"Gak akan bangun. Aku liatin
dia." Bisik Kak Zaki.
Dalam hati aku protes,
"Gimana ceritanya aku gak
bangun? Orang tadi aku dia grepe-grepein."
"Sebal ih!"
Sesaat kemudian, aku mendadak
merasakan bagian kasur di samping sikutku bergoyang. Aku pun membuka mata
kembali perlahan-lahan.
"What the heeeell!" Seruku
dalam hati, melihat Kak Zaki berlutut mengangkangi tubuh Kak Della.
Di antara kedua kakinya yang
mengangkang, dengan kantung kemaluan yang menggantung, tampak selonjor batang
penis kekar tampak cegak mengacung ke udara.
Aku terdiam melongo, tak menyangka akan
bisa melihat batang kejantanan kakak iparku sedemikan dekat dan sedemikian
jelas. Walau pun remang, tetap saja lampu tidur 5 watt di samping tempat tidur
itu dengan jelas memperlihatkan detail penis Kak Zaki yang sedang ereksi. Topi
penisnya yang semalam sempat dihisap bibir kemaluanku itu tampak tebal dan
bundar, seperti bakso setengah lingkaran dengan permukaannya yang kencang
mengkilat. Batang kemaluannya yang tebal dan keras, dengan urat-urat yang
meregang dan otot-ototnya yang kekar terlihat gagah dan perkasa. Aku tak mampu
untuk berkedip, terpaku kagum, hanya otot-otot vaginaku yang mendadak
berkedut-kedut refleks menahan gemas.
Mungkin seperti halnya yang dialami
Kak Della, kakak iparku ini sepertinya juga enggan untuk menolak penis segagah
itu. Dipegang, dijilat, diciumi, dikulum, dan dihisap-hisapnya dengan penuh
gairah. Menyaksikan itu, diam-diam balung dalam selangkanganku terasa
menghangat, pertanda dinding-dinding rongga senggamaku mulai melelehkan getah
birahi hewaniku.
"Yakin mau dimasukin?"
Bisik Kak Della kemudian. Pertanyaan yang membuat kepalaku kelabakan. Terbayang
jika aku yang menyatakan pertanyaan serupa pada Kak Zaki.
"Emhhhh." Dengusku gemas
membayangkan itu.
Kak Zaki tak menjawabnya dengan
kata-kata, melainkan dengan tangannya yang membuka kedua paha Kak Della
lebar-lebar, lalu ditindihnya istrinya itu. Bersamaan dengan itu, keduanya
tampak terpejam menahan nafas.
"Emghhhh!" Dengusan nafas
tertahan Kak Della terdengar jelas olehku. Aku tak bisa melihat bagaimana
batang penis itu masuk ke dalam lubang kemaluan Kak Della, tapi dari suaranya,
bisa kubayangkan kenikmatan yang dia rasakan saat ini.
"Awas Bella bangun." Bisik
Kak Della, yang mana segera menyadarkanku. Aku pun segera kembali menutup
mataku.
"Tenang. Aku masih liatin
dia." Jawab Kak Zaki.
Kasur pun mulai terasa
bergoyang-goyang, walau pun sepertinya sudah mereka upayakan untuk tetap pelan.
Keluh-lenguh, desah-desau, dan kecipak-kecepuk mulut berciuman terdengar
menyelingi ayunan pantat sepasang suami istri yang sedang bersenggama itu.
Badanku terkadang tersenggol-senggol, tersentuh-sentuh tanpa mereka sadari.
Aku diam sambil sesekali mengintip
mereka. Ini adalah kali ketiga setelah dua kali sebelumnya aku pernah menonton
film porno beramai-ramai dengan sahabat-sahabatku dulu gara-gara penasaran.
Tapi pengalaman ini sangatlah jauh jika dibandingkan dengan itu. Nuansa intim
di tengah sepinya malam berpadu dengan hawa erotis yang panas dari dua mamalia
yang sedang bergumul dengan birahi membuat diriku terangsang, namun dengan cara
yang tak lazim dan rasa yang belum pernah aku rasakan sebelumnya.
Di bawah sana, getah kenikmatanku
mulai merembes dari dinding-dinding vaginaku, meleleh hingga belahan bibir luar
kemaluanku. Leherku berkeringat, dadaku terasa sesak, payudaraku terasa
kencang, putingku tegang.
Di saat itu, tanpa sama sekali bisa
kuduga, aku merasakan tangan yang meraih payudaraku. Aku membuka mata, melihat
tangan jahil Kak Zaki merogoh kembali buah dadaku, menyelinap masuk ke dalam cup
braku. Dengan santainya, diremas-remasnya payudaraku seolah mengerti gejolak
yang terjadi dalam tubuhku. Aku sendiri tak bisa protes mendapati itu. Aku diam
pasrah. Lagi pula, memangnya aku bisa protes? Apalah jadinya kalau aku bangun?
Karena setidaknya aku punya
kekhawatiran untuk dipergoki Kak Della, aku pun membuka mata dan melirik ke
arah kakak kandungku itu. Tapi Kak Zaki rupanya sudah memperhitungkan itu
dengan cermat. Kepalanya menyungkur di samping kepala Kak Della sehingga tak
mungkin Kak Della bisa melihat ke arahku. Tapi yang lebih mengejutkan lagi, aku
baru sadar rupanya kepala Kak Zaki itu sedang menengok ke arahku. Tanpa sempat
menghindar, mataku berpapasan dengan mata Kak Zaki!
Tapi raut wajah Kak Zaki seolah tak terkejut
bertatapan denganku, kepalanya setengah bergoyang, terdorong-dorong kayuhan
pantatnya dan pantat Kak Della. Melihatku tetap diam, ditariknya tangannya dari
dalam braku, lalu beralih ke perutku. Aku tak berkutik ketika tangannya
menyelinap masuk ke balik celana piyamaku. Mataku yang sudah sayu setengah
nafsu dan setengah pasrah itu masih terkunci bertatapan dengan matanya ketika
ujung jarinya menjamah kemaluanku. Kemaluanku yang bibirnya sudah terlanjur
banjir oleh cairan vaginaku.
"Hemhhh.." Aku berusaha
tak mengeluarkan suara dari desahan yang tak bisa kuhindari itu. Aku sudah tak
lagi takut jika kedengaran sama kak Zaki, tapi aku tak mau jika sampai
terdengar oleh Kak Della.
"Hemhhh.."
Mataku sudah mulai tak sanggup
mempertahankan tatapannya dengan mata Kak Zaki. Aku terpejam dengan sendirinya
saat jari kakak iparku itu mulai membelai-belai lemak tembam di bawah sana.
"Ssshhh..hahhh,
sshhhh..haahhh."
Dengan nafas terengah-engah, tubuhku
tergeletak lesu seperti ranting yang lapuk. Dadaku kembang-kempis seperti ikan
yang terdampar, bunyi nafasku yang kencas-kencis sudah seperti kereta uap yang
sedang menanjak. Aku tergolek lemas setelah melewati satu orgasme yang luar
biasa hebat.
Selama ini, aku melakukan masturbasi
sendiri bisa dihitung jari dalam setahunnya, atau paling sering hanya sebulan
sekali, dan itu pun setelah aku mulai tinggal di kosan. Jika saja aku tahu ada
orgasme yang senikmat tadi, mungkin aku akan masturbasi setiap hari. Jemari Kak
Zaki sudah seperti mesin blender jus ibuku saja. Tangannya berputar-putar
seperti angin puyuh yang mencorak-carik, mencobak-cabik, mengincau,
mengaduk-aduk kelentitku, mengobrak-abrik kemaluanku, meluluh-lantahkan
selangkangan dan tubuhku.
Rupanya, selama ini aku melakukannya
dengan cara yang salah. Setelah 18 tahun aku baru tahu, di balik biji
kelentitku yang teramat kecil itu rupanya ada bagian yang lebih sensitif lagi,
bagian yang hanya bisa dijangkau saat sedang terangsang hebat.
Parahnya, orgasmeku tadi berlangsung
lebih lama dari biasanya, lama sekali sampai-sampai ketika selesai, rasanya
tulang dan ototku merapuh seperti abu.
Perlahan, tanganku yang mencengkram
tangan Kak Zaki mengendur. Kak Zaki menatapku dengan tatapan yang puas saat
menarik tangannya yang basah oleh keringat itu.
"Udahan?" Tanya Kak Della,
yang masih belum sadar jika adik ipar yang tidur di sampingnya ini baru saja
disenggamai tangan cabul suaminya.
"Tumben kamu nafsu gini,
Yah." Bisik Kak Della sambil mengenakan kembali pakaiannya.
"Udah lama loh kita gak
ngeseks."
Malam itu, aku tidur nyenyak sekali.
---
"Tidur di kamar lebih enak,
kan?" Tanya Kak Della, menyambutku dari meja makan saat aku baru keluar
dari kamar.
Mataku berpapasan dengan tatapan Kak
Zaki yang duduk di samping Kak Della, sesaat pipiku rasanya merona merah.
"Enak banget, Kak."
Jawabku, kali ini aku menjawab dengan serius. Bagaimana tidak, sampai pagi ini
pun, tubuhku rasanya masih remuk sisa pencabulan semalam.
Keduanya pun segera tenggelam dalam diskusi
serius soal Covid-19, sementara aku diam saja sambil menyantap nasi goreng
buatan kakakku ini.
Ding Ding!
Aku mendengar suara notifikasi
iPhoneku.
"Follow requests: Ahmad Zaki
Mubarok"
"Oh. Dia mau follow IG
aku?" Ejekku dalam hati.
"Kamu gimana UAS, Bell?"
Tanya Kak Della di tengah suapan makanku.
"Gak tahu."
"Belum ada pengumuman."
Jawabku, sambil mempertimbangkan follow requestnya Kak Zaki.
"Apa kamu gak sekalian aja
belajar di sini?"
"Dua minggu loh, lumayan dari
pada gabut." Tanya Kak Della lagi.
"Iya sih.
"Cuman bukunya kan kutinggal di
kosan." Jawabku, sambil memijit tombol Confirm di layar Instagramku.
"Ambil aja dulu. Kali ini Kak
Zaki yang bersuara.
"Sok, kalo mau aku anter.
"Ya udah. Jawabku tanpa
berpikir macam-macam.
Setelah selesai makan sama seeperti
halnya kemarin, aku pun pergi mandi lalu duduk termenung di kloset dengan
celana dalamku yang tersangkut di kedua lututku, aku mulai teringat kembali
kejadian semalam. Bekas cairan kenikmatanku yang mengering di tengah celana dalamku
seolah mengajak pikiranku bernostalgia dengan orgasme hebatku.
"Semenit!"
"Semenit!" Teriakku dalam
hati, mengingat betapa intens dan panjangnya orgasmeku kali itu.
"Gila aja."
Aku masih ingat bagaimana Kak Zaki
dengan pintarnya menyetubuhi Kak Della sementara jarinya memperkosa klitorisku
dengan cekatan. Dipijatnya, dipecalnya, diurutnya, diperasnya, dicolek,
disentil, dicungkil-cungkilnya kelentitku.
Ada momen dimana dia beberapa kali
hendak memasukkan lagi jarinya ke dalam lubang vaginaku, sehingga aku harus
memegangi tangannya sepanjang dia mencabuli kemaluanku. Tapi itu pun nyaris
kubiarkan saking merasakan betapa nikmatnya jarinya, kalau saja itu bukan jari.
Memangnya siapa yang mau diperawani oleh jari setelah perjuangan sekian lama
menjaga dan merawat keperawananku?
Tapi harus aku akui, dengan mabuk
kenikmatan sedahsyat itu, siapa pun bisa lalai. Apalagi sambil memandangi dua
insan yang sedang berasyik-masyuk dengan alat kelamin mereka, dengan bau keringat
dan hawa lembab birahi yang menyelimuti ruangan. Jangankan mereka, aku saja
sudah kegerahan, ketiak, dada, dan leherku saja basah oleh keringat.
"Ah. Kok bisa senikmat itu,
ya?" Pikirku dalam hati.
Diam-diam, kedutan-kedutan kecil
terasa merenyuk-renyuk di otot vaginaku. Aku menatap kemaluanku, dan tersenyum
mendapati klitoris mungilku yang tiba-tiba tegang.
"Hei, kamu si
nakal." Sapaku dalam hati.
Maklum saja, klitorisku ini sangat
pemalu. Setidaknya, sehari-harinya begitu. Tenggelam, bersembunyi, berlindung
dalam himpitan lemak kemaluanku yang empuk dan nyaman. Tapi kali ini, setelah
mengalami petualangan yang menyenangkan tadi malam, dengan malu-malu kucing dia
berani unjuk diri.
Ah. Kalau saja ini di kosan, pasti
aku sudah masturbasi.
"I love you, my Clit."
Bisikku pelan.
"Kapan-kapan kita main
lagi." Ujarku, bangun dari kloset dan bersiap-siap untuk mandi.
Komentar
Posting Komentar