Langsung ke konten utama

Pengalaman Baru Yang Mendebarkan 2



"Warga kotaku tercinta …" Sayup terdengar suara dari televisi.
"Saya sebagai walikota, menghimbau seluruh warga untuk melakukan pembatasan aktivitas selama dua minggu ke depan."
"Untuk kebutuhan pokok, kami memastikan …"
"Lah. Diperpanjang ya, Kak?" Tanyaku, memotong pidato Pak Walikota di televisi.
"Sepertinya iya. Udah kuprediksi bakal lama." Jawab Kak Zaki.
"Sabar aja, Bel." Timpal Kak Della.
"Kamu betah-betahin aja di rumah ini, ya."
Aku mengiyakan saja. Aku hanya khawatir bagaimana jadinya dengan UASku yang tinggal tiga minggu lagi.
"Betah tapi kamu?" Tanya Kak Della.
"Kasian jadi tidur di sofa."
"Semalem gimana, enak tapi?"
"Enak sih, ditidurin suami orang." Jawabku dalam hati sambil terkikik.

Sebelum hendak menjawab serius, mataku berpapasan dengan mata Kak Zaki. Samar tapi aku menangkap raut wajahnya yang terlihat was-was.
"Em …" Aku bergumam sesaat.
"Aku bilangin Kak Della nih. Tau rasa, lo." Bisikku lagi dalam hati sambil tertawa lagi. Kulirik lagi Kak Zaki, dia pun membalas melirik balik.
"Enak banget." Jawabku dengan sedikit usil, sambil kuperhatikan reaksi Kak Zaki.
 Kak Zaki tampak melongo mendengar jawabanku. Aku hanya bisa tertawa mengakak dalam hati.
"Kasian tapi kamu. Sekarang pun kamarmu belum ada kasurnya." Kata Kak Della.
"Mungkin malem ini biar Kak Zaki aja yang tidur di sofa. Kamu tidur sama aku."

"Enggak ..."
"Enggak ..." Tiba-tiba, aku dan Kak Zaki menjawab berbarengan.
Aku langsung diam, begitu pun dengannya. Untuk beberapa detik, pandangannya dan pandangan mataku berbenturan kembali tanpa sengaja.

"Enggak lah. Gak usah." Lanjut Kak Zaki mendahuluiku.
"Kayaknya sofa lebih …"
"Ya kamu tau lah, Bun. Kamar kita berantakan. Gak enak sama Bella."

"Oh. Itu maunya, yaa.." Kelakarku dalam hati.
Aku manggut-manggut, aku paham. Kemungkinan besar skandal pencabulan kakak ipar bakal terjadi kembali nanti malam.

"Aku di sofa lagi juga oke kok, Kak." Aku menjawab seenak hati.

Pukul 11.00, tepat di jam yang sama dengan kejadian kemarin malam, aku masih terjaga dari tidurku. Tapi kali ini aku tidak lagi di sofa pencabulan itu.
Yap. Pada akhirnya aku memutuskan untuk tidur di kamar bersama Kak Della. Alasanku sederhana, jawaban Kak Zaki tadi terlalu mudah untuk ditebak, begitu pun dengan reaksiku yang terlalu murahan. Rasanya terlalu murahan untuk begitu saja masuk ke dalam perangkapnya. Sedikitnya, ada bagian dalam diriku yang berharap untuk mengalami peristiwa itu lagi, tapi aku tak sudi jika itu terjadi dengan kesengajaanku. Ternyata seru juga kalau dipikir-pikir. Selama ini aku tak pernah berani berpetualang senekat itu, terbentur prinsip dan moralku.

Sekitar setengah jam berikutnya, aku mendengar suara langkah kaki, suara yang cukup jelas, mengingat malam begitu sunyi. Dari keremangan lampu tidur, aku melihat Kak Zaki di ambang pintu. Aku yang ketika itu masih menggulung-gulung halaman Instagram segera menutup handphoneku begitu melihat dia memasuki kamar. Awalnya aku mengira dia hendak mengambil sesuatu, entah selimut atau bantal, tapi kakak iparku itu justru malah merebahkan diri di sisi jauh Kak Della yang sedang tidur terlelap di sampingku.

"Emang dia mau tidur bertiga di sini, gitu?" Tanyaku dalam hati sambil membetulkan selimut.

Suasana ketika itu tak ada bedanya dengan malam kemarin, lolongan anjing di kejauhan menandakan hingar-bingar peradaban manusia sudah lenyap ditelan kantuk. Satu jam sekali, suara ronda malam satpam perumahan yang memukul-mukul tiang listrik membuat keheningan tambah terasa syahdu. Suara nafas nyenyak Kak Della yang tidur di sampingku jadi terdengar nyaring karenanya.

Tak berapa lama, aku mendengar suara kain berdesakan, bersentuhan satu sama lain. Aku membuka mata dan dengan sudut mataku, aku melihat tangan Kak Zaki tertumpang memeluk dada Kak Della. Tapi tentu saja aku tak terkejut, toh mereka suami-istri. Walau pun belum benar-benar terbiasa tapi aku bisa menerima itu.

Hanya saja, selang beberapa waktu kemudian, aku mendengar suara itu kembali. Di keremangan lampu tidur tapi masih cukup jelas itu, aku melihat tangan Kak Zaki merentang ke arahku, menggapai-gapai, dan tiba-tiba mendarat di dadaku!

"WTF! Dia mau ngapain?" Tanyaku dalam hati terkejut.

Pertanyaanku rupanya tak butuh untuk dijawab. Segera, jemarinya yang mulai berkeliaran di tonjolan dadaku menjawab pertanyaanku. Kak Zaki sepertinya ketagihan dengan payudaraku. Aku sendiri hanya diam, tak tahu harus berbuat apa.

Sedikit demi sedikit, tangannya yang awalnya hanya meraba-raba, sekarang sudah berani meremas-remas buah dadaku. Walau pun mulai merasa keenakan, aku tetap diam saja. Aku hanya tak habis pikir, apa jadinya kalau Kak Della bangun? Memangnya Kak Zaki tak berpikir ke sana?

Tapi toh aku merasa, kalau pun ketahuan, jelas bukan salahku.
"Hhhh..hhhhh." Desahku dengan pelan sesekali.

Aku masih diam ketika jarinya membuka kancing bagian atas piyamaku. Aku hanya menatap jarinya yang mengusap-usap kulit payudaraku yang mulai terbuka. Sambil mengawasi situasi, aku pasrah saja saat melihat jarinya merayap-rayap, menyelinap melintasi keliman luar cup bra merah yang kupakai. Kemudian dengan mudahnya jari nakal itu meraih puncak susuku, braku memang longgar karena aku terbiasa melepaskan kaitan bra setiap kali pergi tidur, atau lebih sering aku tak memakai bra sama sekali untuk tidur.

"Hhhh..hhhhh."
Aku menghela nafas dalam-dalam ketika putingku mulai dijiwit dan dipilin-pilin jari nakal itu.

Tapi karena pada dasarnya cowok itu serakah, satu buah dada saja nampaknya tak cukup buat Kak Zaki. Tangannya merentang kembali, menggapai-gapai buah dadaku yang satunya lagi. Dan persis saat tangannya itu bergeser, Kak Dilla bergerak dari tidurnya. Seketika itu juga Kak Zaki menarik tangannya.

"Nah kan. Mampus ketauan." Umpatku tertawa dalam hati.

"Kok kamu tidur di sini, sih." Gumam Kak Della pelan. Aku pun segera memejamkan mata, pura-pura tertidur.

"Sstt. Jangan kenceng-kenceng. Nanti kedengeran Bella." Bisik Kak Zaki, yang mana padahal terdengar sangat jelas di telingaku ketika itu.

"Mau apa sih?" Terdengar suara Kak Della mulai protes.

Tapi kemudian, aku tak mendengar jawaban dari Kak Zaki, kecuali suara kecipak dua bibir yang saling berpagutan.
"Mereka ciuman? Astaganaga." Ejekku dalam hati, padahal kemudian aku menyipitkan mata mengintip mereka.

Aku bisa melihat kepala Kak Zaki dan Kak Della yang sedang bergumul mesra. Ritme ciuman mereka kemudian terdengar bertambah cepat, suaranya pun bertambah basah, disusul sejumlah desahan di sela-selanya.

"Yah. Jangan. Nanti Bella bangun." Pinta Kak Della pelan sambil menahan ciumannya untuk sesaat. Aku segera memejamkan mata kembali.

"Dia lagi nyenyak." Bisik Kak Zaki.
"Pelan-pelan aja."

Suara kain berkasak-kusuk terdengar lagi, tapi kecipak-kecipuk suara mulut sekarang hilang, tergantikan suara dengusan dari helaan nafas yang berat Kak Della. Aku pun membuka mata sedikit-sedikit. Tanpa merubah posisi kepalaku, aku bisa melihat Kak Zaki tersungkur di antara kedua paha Kak Della.
"Ya ampun!"
"Seriusan ini!?" Intipku dengan heran. Di sana, paha Kak Della sudah telanjang tak bercelana.

Kak Della terdengar mengaduh-aduh pelan, dengan tangannya yang menutupi mulutnya. Di antara lenguhannya itu, sesekali Kak Della terlihat menengokkan kepalanya ke arahku, pastinya dia khawatir aku bangun dan melihat adegan pornoaksi mereka. Aku sendiri berusaha berdiam diri setenang mungkin, menyipitkan mata sambil berharap tak ketahuan sedang mengamati mereka. Ini seru sekali buatku, seumur-umur belum pernah mendapati seorang perempuan dihisapi kemaluannya oleh laki-laki, apalagi dengan jarak yang sedekat ini.

Rupanya, tanpa membutuhkan waktu yang lama, Kak Della sudah mulai gelagapan tak bisa menahan terjangan mulut Kak Zaki. Tangannya meraih kepala suaminya itu, dan terlihat menariknya keluar dari selangkangannya.

Kak Zaki menengadah, tertawa, dan kemudian bangun. Aku pun segera memejamkan mata, khawatir tertangkap basah.

"Yah. Gimana kalo Bella bangun? Ih." Protes Kak Della pelan.

"Gak akan bangun. Aku liatin dia." Bisik Kak Zaki.

Dalam hati aku protes,
"Gimana ceritanya aku gak bangun? Orang tadi aku dia grepe-grepein."
"Sebal ih!"

Sesaat kemudian, aku mendadak merasakan bagian kasur di samping sikutku bergoyang. Aku pun membuka mata kembali perlahan-lahan.
"What the heeeell!" Seruku dalam hati, melihat Kak Zaki berlutut mengangkangi tubuh Kak Della.

Di antara kedua kakinya yang mengangkang, dengan kantung kemaluan yang menggantung, tampak selonjor batang penis kekar tampak cegak mengacung ke udara.

Aku terdiam melongo, tak menyangka akan bisa melihat batang kejantanan kakak iparku sedemikan dekat dan sedemikian jelas. Walau pun remang, tetap saja lampu tidur 5 watt di samping tempat tidur itu dengan jelas memperlihatkan detail penis Kak Zaki yang sedang ereksi. Topi penisnya yang semalam sempat dihisap bibir kemaluanku itu tampak tebal dan bundar, seperti bakso setengah lingkaran dengan permukaannya yang kencang mengkilat. Batang kemaluannya yang tebal dan keras, dengan urat-urat yang meregang dan otot-ototnya yang kekar terlihat gagah dan perkasa. Aku tak mampu untuk berkedip, terpaku kagum, hanya otot-otot vaginaku yang mendadak berkedut-kedut refleks menahan gemas.

Mungkin seperti halnya yang dialami Kak Della, kakak iparku ini sepertinya juga enggan untuk menolak penis segagah itu. Dipegang, dijilat, diciumi, dikulum, dan dihisap-hisapnya dengan penuh gairah. Menyaksikan itu, diam-diam balung dalam selangkanganku terasa menghangat, pertanda dinding-dinding rongga senggamaku mulai melelehkan getah birahi hewaniku.

"Yakin mau dimasukin?" Bisik Kak Della kemudian. Pertanyaan yang membuat kepalaku kelabakan. Terbayang jika aku yang menyatakan pertanyaan serupa pada Kak Zaki.

"Emhhhh." Dengusku gemas membayangkan itu.

Kak Zaki tak menjawabnya dengan kata-kata, melainkan dengan tangannya yang membuka kedua paha Kak Della lebar-lebar, lalu ditindihnya istrinya itu. Bersamaan dengan itu, keduanya tampak terpejam menahan nafas.

"Emghhhh!" Dengusan nafas tertahan Kak Della terdengar jelas olehku. Aku tak bisa melihat bagaimana batang penis itu masuk ke dalam lubang kemaluan Kak Della, tapi dari suaranya, bisa kubayangkan kenikmatan yang dia rasakan saat ini.

"Awas Bella bangun." Bisik Kak Della, yang mana segera menyadarkanku. Aku pun segera kembali menutup mataku.

"Tenang. Aku masih liatin dia." Jawab Kak Zaki.

Kasur pun mulai terasa bergoyang-goyang, walau pun sepertinya sudah mereka upayakan untuk tetap pelan. Keluh-lenguh, desah-desau, dan kecipak-kecepuk mulut berciuman terdengar menyelingi ayunan pantat sepasang suami istri yang sedang bersenggama itu. Badanku terkadang tersenggol-senggol, tersentuh-sentuh tanpa mereka sadari.

Aku diam sambil sesekali mengintip mereka. Ini adalah kali ketiga setelah dua kali sebelumnya aku pernah menonton film porno beramai-ramai dengan sahabat-sahabatku dulu gara-gara penasaran. Tapi pengalaman ini sangatlah jauh jika dibandingkan dengan itu. Nuansa intim di tengah sepinya malam berpadu dengan hawa erotis yang panas dari dua mamalia yang sedang bergumul dengan birahi membuat diriku terangsang, namun dengan cara yang tak lazim dan rasa yang belum pernah aku rasakan sebelumnya.

Di bawah sana, getah kenikmatanku mulai merembes dari dinding-dinding vaginaku, meleleh hingga belahan bibir luar kemaluanku. Leherku berkeringat, dadaku terasa sesak, payudaraku terasa kencang, putingku tegang.

Di saat itu, tanpa sama sekali bisa kuduga, aku merasakan tangan yang meraih payudaraku. Aku membuka mata, melihat tangan jahil Kak Zaki merogoh kembali buah dadaku, menyelinap masuk ke dalam cup braku. Dengan santainya, diremas-remasnya payudaraku seolah mengerti gejolak yang terjadi dalam tubuhku. Aku sendiri tak bisa protes mendapati itu. Aku diam pasrah. Lagi pula, memangnya aku bisa protes? Apalah jadinya kalau aku bangun?

Karena setidaknya aku punya kekhawatiran untuk dipergoki Kak Della, aku pun membuka mata dan melirik ke arah kakak kandungku itu. Tapi Kak Zaki rupanya sudah memperhitungkan itu dengan cermat. Kepalanya menyungkur di samping kepala Kak Della sehingga tak mungkin Kak Della bisa melihat ke arahku. Tapi yang lebih mengejutkan lagi, aku baru sadar rupanya kepala Kak Zaki itu sedang menengok ke arahku. Tanpa sempat menghindar, mataku berpapasan dengan mata Kak Zaki!

Tapi raut wajah Kak Zaki seolah tak terkejut bertatapan denganku, kepalanya setengah bergoyang, terdorong-dorong kayuhan pantatnya dan pantat Kak Della. Melihatku tetap diam, ditariknya tangannya dari dalam braku, lalu beralih ke perutku. Aku tak berkutik ketika tangannya menyelinap masuk ke balik celana piyamaku. Mataku yang sudah sayu setengah nafsu dan setengah pasrah itu masih terkunci bertatapan dengan matanya ketika ujung jarinya menjamah kemaluanku. Kemaluanku yang bibirnya sudah terlanjur banjir oleh cairan vaginaku.
"Hemhhh.." Aku berusaha tak mengeluarkan suara dari desahan yang tak bisa kuhindari itu. Aku sudah tak lagi takut jika kedengaran sama kak Zaki, tapi aku tak mau jika sampai terdengar oleh Kak Della.

"Hemhhh.."
Mataku sudah mulai tak sanggup mempertahankan tatapannya dengan mata Kak Zaki. Aku terpejam dengan sendirinya saat jari kakak iparku itu mulai membelai-belai lemak tembam di bawah sana.

"Ssshhh..hahhh, sshhhh..haahhh."
Dengan nafas terengah-engah, tubuhku tergeletak lesu seperti ranting yang lapuk. Dadaku kembang-kempis seperti ikan yang terdampar, bunyi nafasku yang kencas-kencis sudah seperti kereta uap yang sedang menanjak. Aku tergolek lemas setelah melewati satu orgasme yang luar biasa hebat.

Selama ini, aku melakukan masturbasi sendiri bisa dihitung jari dalam setahunnya, atau paling sering hanya sebulan sekali, dan itu pun setelah aku mulai tinggal di kosan. Jika saja aku tahu ada orgasme yang senikmat tadi, mungkin aku akan masturbasi setiap hari. Jemari Kak Zaki sudah seperti mesin blender jus ibuku saja. Tangannya berputar-putar seperti angin puyuh yang mencorak-carik, mencobak-cabik, mengincau, mengaduk-aduk kelentitku, mengobrak-abrik kemaluanku, meluluh-lantahkan selangkangan dan tubuhku.

Rupanya, selama ini aku melakukannya dengan cara yang salah. Setelah 18 tahun aku baru tahu, di balik biji kelentitku yang teramat kecil itu rupanya ada bagian yang lebih sensitif lagi, bagian yang hanya bisa dijangkau saat sedang terangsang hebat.

Parahnya, orgasmeku tadi berlangsung lebih lama dari biasanya, lama sekali sampai-sampai ketika selesai, rasanya tulang dan ototku merapuh seperti abu.
Perlahan, tanganku yang mencengkram tangan Kak Zaki mengendur. Kak Zaki menatapku dengan tatapan yang puas saat menarik tangannya yang basah oleh keringat itu.

"Udahan?" Tanya Kak Della, yang masih belum sadar jika adik ipar yang tidur di sampingnya ini baru saja disenggamai tangan cabul suaminya.

"Tumben kamu nafsu gini, Yah." Bisik Kak Della sambil mengenakan kembali pakaiannya.
"Udah lama loh kita gak ngeseks."

Malam itu, aku tidur nyenyak sekali.
 ---

"Tidur di kamar lebih enak, kan?" Tanya Kak Della, menyambutku dari meja makan saat aku baru keluar dari kamar.
Mataku berpapasan dengan tatapan Kak Zaki yang duduk di samping Kak Della, sesaat pipiku rasanya merona merah.

"Enak banget, Kak." Jawabku, kali ini aku menjawab dengan serius. Bagaimana tidak, sampai pagi ini pun, tubuhku rasanya masih remuk sisa pencabulan semalam.

Keduanya pun segera tenggelam dalam diskusi serius soal Covid-19, sementara aku diam saja sambil menyantap nasi goreng buatan kakakku ini.

Ding Ding!
Aku mendengar suara notifikasi iPhoneku.
"Follow requests: Ahmad Zaki Mubarok"
"Oh. Dia mau follow IG aku?" Ejekku dalam hati. 
"Kamu gimana UAS, Bell?" Tanya Kak Della di tengah suapan makanku. 
"Gak tahu."
"Belum ada pengumuman." Jawabku, sambil mempertimbangkan follow requestnya Kak Zaki.

"Apa kamu gak sekalian aja belajar di sini?"
"Dua minggu loh, lumayan dari pada gabut." Tanya Kak Della lagi. 
"Iya sih.
"Cuman bukunya kan kutinggal di kosan." Jawabku, sambil memijit tombol Confirm di layar Instagramku.
"Ambil aja dulu. Kali ini Kak Zaki yang bersuara.
"Sok, kalo mau aku anter. 
"Ya udah. Jawabku tanpa berpikir macam-macam.

Setelah selesai makan sama seeperti halnya kemarin, aku pun pergi mandi lalu duduk termenung di kloset dengan celana dalamku yang tersangkut di kedua lututku, aku mulai teringat kembali kejadian semalam. Bekas cairan kenikmatanku yang mengering di tengah celana dalamku seolah mengajak pikiranku bernostalgia dengan orgasme hebatku.

"Semenit!"
"Semenit!" Teriakku dalam hati, mengingat betapa intens dan panjangnya orgasmeku kali itu.
"Gila aja."

Aku masih ingat bagaimana Kak Zaki dengan pintarnya menyetubuhi Kak Della sementara jarinya memperkosa klitorisku dengan cekatan. Dipijatnya, dipecalnya, diurutnya, diperasnya, dicolek, disentil, dicungkil-cungkilnya kelentitku.
Ada momen dimana dia beberapa kali hendak memasukkan lagi jarinya ke dalam lubang vaginaku, sehingga aku harus memegangi tangannya sepanjang dia mencabuli kemaluanku. Tapi itu pun nyaris kubiarkan saking merasakan betapa nikmatnya jarinya, kalau saja itu bukan jari. Memangnya siapa yang mau diperawani oleh jari setelah perjuangan sekian lama menjaga dan merawat keperawananku?

Tapi harus aku akui, dengan mabuk kenikmatan sedahsyat itu, siapa pun bisa lalai. Apalagi sambil memandangi dua insan yang sedang berasyik-masyuk dengan alat kelamin mereka, dengan bau keringat dan hawa lembab birahi yang menyelimuti ruangan. Jangankan mereka, aku saja sudah kegerahan, ketiak, dada, dan leherku saja basah oleh keringat.

"Ah. Kok bisa senikmat itu, ya?" Pikirku dalam hati.
Diam-diam, kedutan-kedutan kecil terasa merenyuk-renyuk di otot vaginaku. Aku menatap kemaluanku, dan tersenyum mendapati klitoris mungilku yang tiba-tiba tegang.
 "Hei, kamu si nakal." Sapaku dalam hati.
Maklum saja, klitorisku ini sangat pemalu. Setidaknya, sehari-harinya begitu. Tenggelam, bersembunyi, berlindung dalam himpitan lemak kemaluanku yang empuk dan nyaman. Tapi kali ini, setelah mengalami petualangan yang menyenangkan tadi malam, dengan malu-malu kucing dia berani unjuk diri.
Ah. Kalau saja ini di kosan, pasti aku sudah masturbasi.
"I love you, my Clit." Bisikku pelan.
"Kapan-kapan kita main lagi." Ujarku, bangun dari kloset dan bersiap-siap untuk mandi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Draft Amarah Para Buruh 21

Draft Amarah Para Buruh 20

Lust in Broken Home 4

Lust In Broken Home 5

Terjebak Didalam Kelas

Akibat Kena Gendam Tetanggaku

Kisah Tragis Dikebun Karet

Amarah Para Buruh 10

Amarah Para Buruh 17

Binalnya Ibu Tiriku 4