Hingga
kini, kisah sex ini masih sering terlintas dalam benak dan pikiranku. Entah
suatu keberuntungankah atau kepedihan bagi si pelaku. Yang jelas dia sudah
mendapatkan pengalaman berharga dari apa yang dialaminya. Sebut saja namaya si
Wie. Berasal dari kampung yang sebenarnya tidak jauh-jauh sekali dari kota M.
Di kota M
inilah dia numpang hidup pada seorang keluarga kaya.
Suami
istri berkecukupan dengan seorang lagi pembantu wanita Inah, dengan usia kurang
lebih diatas Wie 2-3 tahun. Wie sendiri berumur 16 tahun jalan.
Suatu
hari nyonya majikannya yang masih muda, Ibu Winda atau biasa mereka memanggil
Bu Winda, mendekati mereka berdua yang tengah sibuk di dapur yang terletak di
halaman belakang, di depan kamar si Wie.
“Inah..,
besok lusa Bapak hendak ke Kalimantan lagi.
Tolong siapkan pakaian secukupnya jangan lupa sampai ke kaos kakinya segala..”
perintahnya.
“Kira-kira
berapa hari Bu..?” tanya Inah hormat.
“Cukup
lama.. mungkin hampir satu bulan.”
“Baiklah
Bu..” tukas Inah mahfum.Bu Winda segera berlalu melewati Wie yang tengah
membersihkan tanaman di pekarangan belakang tersebut.
Dia
mengangguk ketika Wie membungkuk hormat padanya.Ibu Winda majikannya itu masih
muda, paling tua mungkin sekitar 30 tahunan, begitu Inah pernah cerita
kepadanya. Mereka menikah belum lama dan termasuk lambat karena keduanya sibuk
di study dan pekerjaan. Namun setelah menikah, Bu Winda nampaknya lebih banyak
di rumah. Walaupun sifatnya hanya sementara, sekedar untuk jeda istirahat
saja.Dengan perawakan langsing, dada tidak begitu besar, hidung mancung, bibir
tipis dan berkaca mata serta kaki yang lenjang, Bu Winda terkesan angkuh dengan
wibawa intelektualitas yang tinggi.
Namun
kelihatan kalau dia seorang yang baik hati dan dapat mengerti kesulitan hidup
orang lain meski dalam proporsi yang sewajarnya.Dengan kedua pembantunya pun
tidak begitu sering berbicara. Hanya sesekali bila perlu. Namun Wie tahu pasti
Inah lebih dekat dengan majikan perempuannya, karena mereka sering
bercakap-cakap di dapur atau di ruang tengah bila waktunya senggang. Beberapa
hari kepergian Bapak ke Kalimantan ,
Wie tanpa sengaja menguping pembicaraan kedua wanita tersebut.“Itulah Nah..
kadang-kadang belajar perlu juga..” suara Bu Winda terdengar agak geli.
![]() |
Winda |
“Di
kampung memang terus terang saya pernah Bu..” Inah nampak agak bebas menjawab.
“O
ya..?”
“Iya..
kami.. sst.. pss..” dan seterusnya Wie tidak dapat lagi menangkap isi
pembicaraan tersebut. Hanya kemudian terdengar tawa berderai mereka berdua.Wie
mulai lupa percakapan yang menimbulkan tanda tanya tersebut karena kesibukannya
setiap hari. Membersihkan halaman, merawat tanaman, memperbaiki kondisi rumah,
pagar dan sebagainya yang dianggap perlu ditangani. Hari demi hari berlalu
begitu saja.
Hingga
suatu sore, Wie agak terkejut ketika dia tengah beristirahat sebentar di kamarnya.Tiba-tiba
pintu terbuka, “Kriieet.. Blegh..!” pintu itu segera menutup lagi. Dihadapannya
kini Bu Winda, majikannya berdiri menatapnya dengan pandangan yang tidak dapat
ia mengerti.
“Wie..”
suaranya agak serak.
“Jangan
kaget.. nggak ada apa-apa. Ibu hanya ada perlu sebentar..”
“Maaf
Bu..!” Wie cepat-cepat mengenakan kaosnya.
Barusan
dia hanya bercelana pendek. Bu Winda diam dan memberi kesempatan Wie mengenakan
kaosnya hingga selesai. Nampaknya Bu Winda sudah dapat menguasai diri lagi.
Dengan mimik biasa dia segera menyampaikan maksud kedatangannya.“Hmm..,” dia
melirik ke pintu.
“Ibu
minta kamu nggak usah cerita ke siapa-siapa. Ibu hanya perlu meminjam sesuatu
darimu..”
Kemudian
dia segera melemparkan sebuah majalah.
“Lihat
dan cepatlah ikuti perintah Ibu..!” suara Bu Winda agak menekan.Agak gelagapan
Wie membuka majalah tersebut dan terperangah mendapati berbagai gambar yang
menyebabkan nafasnya langsung memburu. Meski orang kampung, dia mengerti apa
arti semua ini. Apalagi jujur dia memang tengah menginjak usia yang sering kali
membuatnya terbangun di tengah malam karena bayangan dan hawa yang menyesakkan
dada bila baru nonton TV atau membaca artikel yang sedikit nyerempet ke arah
“itu”.
Sejurus
diamatinya Bu Winda yang tengah bergerak menuju pintu. Beliau mengenakan kaos
hijau ketat, sementara bawahannya berupa rok yang agak longgar warna hitam agak
berkilat entah apa bahannya. Segera tangan putih mulus itu menggerendel
pintu.Kemudian.., “Berbaringlah Wie.. dan lepaskan celanamu..!”
Agak
ragu Wie mulai membuka.
“Dalemannya
juga..” agak jengah Bu Winda mengucapkan itu.
Dengan
sangat malu Wie melepaskan CD-nya. Sejenak kemudian terpampanglah alat
pribadinya ke atas.
Lain
dari pikiran Wie, ternyata Bu Winda tidak segera ikut membuka pakaiannya.
Dengan wajah menunduk tanpa mau melihat ke wajahnya, dia segera bergerak naik
ke atas tubuhnya. Wie merasakan desiran hebat ketika betis mereka
bersentuhan.Naik lagi.. kini Wie bisa merasakan halusnya paha majikannya itu
bersentuhan dengan paha atasnya. Naik lagi.. dan.. Wie merasakan seluruh tulang
belulangnya kena setrum ribuan watt ketika ujung alat pribadinya menyentuh
bagian lunak empuk dan basah di pangkal paha Bu Winda.
Tanpa
memperlihatkan sedikitpun bagian tubuhnya, Bu Winda nampaknya hendak melakukan
persetubuhan dengannya. Wie menghela nafas dan menelan ludah ketika tangan
lembut itu memegang alatnya dan, “Bleesshh..!”Dengan badan bergetar antara
lemas dan kaku, Wie sedikit mengerang menahan geli dan kenikmatan ketika
barangnya dilumat oleh daging hangat nan empuk itu. Dengan masih menunduk Bu
Winda mulai menggoyangkan pantatnya. Tangannya menepis tangan Wie yang secara
naluriah hendak merengkuhnya.
“Hhh..
ehh.. sshh.. ” kelihatan Bu Winda menahan nafasnya.
“Aakh..
Bu.. saya.. saya nggak tahan..” Wie mulai mengeluh.
“Tahann
sebentar.. sebentar saja..!” Bu Winda nampak agak marah mengucapkan itu,
keringatnya mulai bermunculan di kening dan hidungnya.Sekuat tenaga Wie menahan
aliran yang hendak meledak di ujung peralatannya. Di atasnya Bu Winda terus
berpacu.. bergerak semakin liar hingga dipan tempat mereka berada ikut
berderit-derit. Makin lama semakin cepat dan akhirnya nampak Bu Winda
mengejang, kepalanya ditengadahkan ke atas memperlihatkan lehernya yang putih
berkeringat.“Aaahhkhh..!”Sejurus kemudian dia berhenti bergoyang. Lemas
terkulai namun tetap pada posisi duduk di atas tubuh Wie yang masih bergetar
menahan rasa. Nafasnya masih memburu. Beberapa saat kemudian, “Pleph..!”
tiba-tiba Bu Winda mencabut pantatnya dari tubuh Wie.
Dia
segera berdiri, merapihkan rambutnya dan roknya yang tersingkap
sebentar.Kemudian, “Jangan cerita kepada siapapun..!” tandasnya, “Dan bila kamu
belum selesai, kamu bisa puaskan ke Inah.. Ibu sudah bicara dengannya dan dia
bersedia..” tukasnya cepat dan segera berjalan ke pintu lalu keluar.Wie
terhenyak di atas kasurnya. Sejenak dia berusaha menahan degup jantungnya.
Diambilnya nafas dalam-dalam. Sambil sekuat tenaga meredam denyutan di ujung
penisnya yang terasa mau menyembur cepat itu.
Setelah
bisa tenang, dia segera bangkit, mengenakan pakaiannya kemudian
berbaring.nafasnya masih menyisakan birahi yang tinggi namun kesadarannya cepat
menjalar di kepalanya. Dia sadar, tak mungkin dia menuntut apapun pada majikan
yang memberinya hidup itu. Namun sungguh luar biasa pengalamannya tersebut. Tak
sedikitpun terpikir, Bu Winda yang begitu berwibawa itu melakukan perbuatan
seperti ini.Dada Wie agak berdesir teringat ucapan Bu Winda tentang Inah.
Terbayang raut wajah Inah yang dalam benaknya lugu, tetapi kenapa mau disuruh
melayaninya..? Wie menggelengkan kepala.. Tidak..! biarlah perbuatan bejat ini
antara aku dan Bu Winda. Tak ingin dia melibatkan orang lain lagi.
Perlahan
tapi pasti Wie mampu mengendapkan segala pikiran dan gejolak perasaannya.
Beberapa menit kemudian dia terlelap, hanyut dalam kenyamanan yang tanggung dan
mengganjal dalam tidurnya.Perlakuan Bu Winda berlanjut tiap kali suaminya tidak
ada di rumah. Selalu dan selalu dia meninggalkan Jo dalam keadaan menahan
gejolak yang menggelegak tanpa penyelesaian yang layak.
Beberapa
kali Wie hendak meneruskan hasrat sex nya ke Inah, tetapi selalu diurungkan
karena dia ragu-ragu, apakah semuanya benar-benar sudah diatur oleh majikannya
atau hanyalah alasan Bu Winda untuk tidak memberikan balasan pelayanan
kepadanya.Hingga akhirnya pada suatu malam yang dingin, di luar gerimis dan
terdengar suara-suara katak bersahutan di sungai kecil belakang rumah dengan
rythme-nya yang khas dan dihafal betul oleh Wie. Dia agak terganggu ketika
mendengar daun pintu kamarnya terbuka.
“Kriieet..!”
ternyata Bu Winda.Nampak segera melangkah masuk kamar. Malam ini beliau
mengenakan daster merah jambu bergambar bunga atau daun-daun apa Wie tidak
jelas mengamatinya. Karena segera dirasakannya nafasnya memburu, kerongkongannya
tercekat dan ludahnya terasa asin. Wajahnya terasa tebal tak merasakan
apa-apa.Agak terburu-buru Bu Winda segera menutup pintu. Tanpa bicara
sedikitpun dia menganggukkan kepalanya. Wie segera paham. Dia segera menarik
tali saklar di kamarnya dan sejenak ruangannya menjadi remang-remang oleh lampu
5 watt warna kehijauan.
Sementara
menunggu Wie melepas celananya, Bu Winda nampak menyapukan pandangannya ke
seantero kamar.“Hmm.. anak ini cukup rajin membersihkan kamarnya..”
pikirnya.Tapi segera terhenti ketika dilihatnya “alat pemuasnya” itu sudah
siap. Dan.., kejadian itu terulang kembali untuk kesekian kalinya. Setelah
selesai Bu Winda segera berdiri dan merapihkan pakaiannya. Dia hendak beranjak
ketika tiba-tiba teringat sesuatu.
“Oh Ibu
lupa..” terhenti sejenak ucapannya.
Wie
berpikir keras.. kurang apa lagi..? Jujur dia mulai tidak tahan mengatasi
hasrat sex nya tiap kali ditinggal begitu saja, ingin sekali dia meraih
pinggang sexy itu tiap kali hendak keluar dari pintu.Lanjutnya, “Hmm.. Inah
pulang kampung pagi tadi..” dengan wajah agak masam Bu Winda segera
mengurungkan langkahnya.
“Rasanya
tidak adil kalau hanya Ibu yang dapat. Sementara kamu tertinggal begitu saja
karena tidak ada Inah..”Wie hampir keceplosan bahwa selama ini dia tidak pernah
melanjutkan dengan Inah.
Tapi
mulutnya segera dikuncinya kuat-kuat. Dia merasa Bu Winda akan memberinya
sesuatu. Ternyata benar.. Perempuan itu segera menyuruhnya berdiri.“Terpaksa
Ibu melayani kamu malam ini. Tapi ingat.., jangan sentuh apapun. Kamu hanya
boleh melakukannya sesuai dengan yang Ibu lakukan kepadamu..”Kemudian Bu Winda
segera duduk di tepi ranjang. Diraihnya bantal untuk ganjal kepalanya. Sejurus
kemudian dia membuka pahanya.
Matanya
segera menatap Wie dan memberinya isyarat.“..” Wie tergagap. Tak mengira akan
diberi kesempatan seperti itu.Dalam cahaya kamar yang minim itu dadanya
berdesir hebat melihat sepasang paha mulus telentang. Di sebelah atas sana nampak
dua bukit membuncah di balik BH warna krem yang muncul sedikit di leher daster.
Dengan pelan dia mendekat. Kemudian dengan agak ragu selangkangannya diarahkan
ke tengah diantara dua belah paha mulus itu. Nampak Bu Winda memalingkan wajah
ke samping jauh.. sejauh-jauhnya.
“Degh..
degh..” Wie agak kesulitan memasukkan alatnya.
Karena
selama ini dia memang pasif. Sehingga tidak ada pengalaman memasukkan sama
sekali. Tapi dia merasakan nikmat yang luar biasa ketika kepala penisnya
menyentuh daging lunak dan bergesekan dengan rambut kemaluan Bu Winda yang
tebal itu. Hhh..! Nikmat sekali. Bu Winda menggigit bibir. Ingin rasanya
menendang bocah kurang ajar ini.
Tapi
dia segera menyadari ini semua dia yang memulai. Badannya menggelinjang menahan
geli ketika dengan agak paksa namun tetap pelan Wie berhasil memasukkan
penisnya (yang memang keras dan lumayan itu) ke peralatan rahasianya.Beberapa
saat kemudian Wie secara naluriah mulai menggoyangkan pantatnya maju mundur.
“Clep..
clep.. clep..!” bunyi penisnya beradu dengan vagina Bu Winda yang basah belum
dicuci setelah persetubuhan pertama tadi.
“Plak..
plak.. plakk..,” kadang Wie terlalu kuat menekan sehingga pahanya beradu dengan
paha putih mulus itu.
“Ohh..
enak sekali..” pikir Wie.
Dia
merasakan kenikmatan yang lebih lagi dengan posisi dia yang aktif ini.
“Ehh..
shh.. okh..,” Wie benar-benar tak kuasa lagi menutupi rasa nikmatnya.Hampir
beberapa menit lamanya keadaan berlangsung seperti itu.
Sementara
Wie selintas melirik betapa wajah Bu Winda mulai memerah. Matanya terpejam dan
dia melengos ke kiri, kadang ke kanan.“Hkkhh..” Bu Winda berusaha menahan
nafas.Mulanya dia berfikir pelayanannya hanya akan sebentar karena dia tahu
anak ini pasti sudah diujung “konak”-nya. Tapi ternyata, “Huoohh..,” Bu Winda
merasakan otot-otot kewanitaannya tegang lagi menerima gesekan-gesekan kasar
dari Wie.
Dia
berusaha sekuat tenaga untuk tidak terbangkitkan hasrat sex nafsu nya.Wie terus
bergoyang, berputar, menyeruduk, menekan dan mendorong sekuat tenaga. Dia
benar-benar sudah lupa siapa wanita yang dihadapannya ini. yang terfikir adalah
keinginan untuk cepat mengeluarkan sesuatu yang terasa deras mengalir
dipembuluh darahnya dan ingin segera dikeluarkannya ..!!
”Ehh..”
Bu Winda tak mampu lagi membendung hasrat sex nafsu nya.Daster yang tadinya
dipegangi agar tubuhnya tidak banyak tersingkap itu terlepas dari tangannya,
sehingga kini tersingkap jauh sampai ke atas pinggang. Melihat pemandangan ini
Wie semakin terangsang. Dia menunduk mengamati alatnya yang serba hitam,
kontras dengan tubuh putih mulus di depannya yang mulai menggeliat-geliat,
sehingga menyebabkan batang kemaluannya semakin teremas-remas.
“Ohh..
aduh.. Bu..,” Wie mengerang pelan penuh kenikmatan.
Yang
jelas Bu Winda tak akan mendengarnya karena beliau sendiri tengah berjuang
melawan rangsangan yang semakin dekat ke puncaknya.
“Okh..
hekkhh..” Bu Winda menegang, sekuat tenaga dia menahan diri, tapi sodokan itu
benar-benar kuat dan tahan.
Diam-diam
dia kagum dengan stamina anak ini.Akhirnya karena sudah tidak mampu lagi
menahan, Bu Winda segera mengapitkan kedua pahanya, tanganya meraih sprei,
meremasnya, dan.., “Aaakkhh..!” dia mengerang nikmat. Orgasmenya yang kedua
dari si Wie malam ini.Sementara si Wie pun sudah tak tahan lagi. Saat paha
mulus itu menjepit pinggangnya dan kemudian pantat wanita itu diangkat,
penisnya benar-benar seperti dipelintir hingga, “Cruuth..! crut.. crut..!”
memancar suatu cairan kental dari sana .
Wie
merasakan nikmat yang luar biasa. Seperti kencing namun terasa enak campur
gatal-gatal gimana.”Ohk.. ehh.. hh,” Wie terkulai.Tubuhnya bergetar dan dia
segera mundur dan mencabut penisnya kemudian terhenyak duduk di kursi sebelah
meja di kamarnya. Wajahnya menengadah sementara secara alamiah tangannya terus
meremas-remas penisnya, menghabiskan sisa cairan yang ada disana. Ooohh.. enak
sekali..
Di
ranjang Bu Winda telentang lemas. Benar-benar nikmat persetubuhan yang kedua
ini. Beberapa saat dia terkulai seakan tak sadar dengan keadaannya. Bongkahan
pantatnya yang mengkal dan mulus itu ter-expose dengan bebas.Rasanya batang
kenyal nan keras itu masih menyumpal celah vaginanya.
Memberinya
sengatan dan sodokan-sodokan yang nikmat. Wie menatap tubuh indah itu dengan
penuh rasa tak percaya. Barusan dia menyetubuhinya, sampai dia juga mendapatkan
kepuasan. Benarkah..?Sementara itu setelah sadar, Bu Winda segera bangkit. Dia
membenahi pakaiannya. Terlintas sesuatu yang agak aneh dengan anak ini. Tadi
dia merasa betapa panas pancaran sperma yang disemburkannya. Seperti air mani
laki-laki yang baru pernah bersetubuh.“Berapa jam biasanya kamu melakukan ini
dengan Inah, Wie..?” tanya Bu Winda menyelidik.
Wie
terdiam. Apakah beliau tidak akan marah kalau dia berterus terang..?
“Kenapa
diam..?”
Wie
menghela nafas, “Maaf Bu.. belum pernah.”
“Hah..!?
Jadi selama ini kamu..?”
“Iya
Bu. Saya hanya diam saja setelah Ibu pergi.”
“Oo..,”
Bu Winda melongo.Sungguh tidak diduga sama sekali kalau itu yang selama ini
terjadi. Alangkah tersiksanya selama ini kalau begitu. Aku ternyata egois juga.
Tapi..?, masa aku harus melayaninya. Apapun dia kan hanya
pembantu.
Dia
hanya butuh batang muda-nya saja untuk memenuhi hasrat sex nya yang
menggebu-gebu terus itu. Selama ini bahkan suami dan pacar-pacarnya dulu tak
pernah mengetahuinya. Ini rahasia yang tersimpan rapat.“Hmm.. baiklah. Ibu
minta kamu jangan ceritakan ke siapapun. Sebenarnya Ibu sudah bicara sama Inah
mengenai masalah ini.
Komentar
Posting Komentar