Aku tinggal di Cirebon tapi tempat kerjaku di dekat
Indramayu yang berjarak sekitar 45 Km dan kutempuh dengan kendaraan kantor
(nyupir sendiri) sekitar 1 jam. Bagi yang tahu daerah ini, pasti akan tahu
jalan mana yang kutempuh. Setiap pagi kira-kira jam 06.30 aku sudah
meninggalkan rumah melewati route jalan yang sama (cuma satu-satunya yang
terdekat) untuk berangkat ke kantor.
Pagi hari di daerah ini, seperti biasa
terlihat pemandangan anak-anak sekolah entah itu anak SD, SMP ataupun SMU,
berjajar di beberapa tempat di sepanjang jalan yang kulalui sambil menunggu
angkutan umum yang akan mereka naiki untuk ke sekolah mereka masing-masing.
Karena angkutan umum sangat terbatas, biasanya mereka melambai-lambaikan
tangannya dan mencoba menyetop kendaraan yang lewat untuk mendapatkan
tumpangan. Kadang-kadang ada juga kendaraan truk ataupun pick-up yang berhenti
dan berbaik hati memberikan tumpangan, sedangkan kendaraan lainnya jarang mau
berhenti, karena yang melambai-lambaikan tangannya berkelompok dan berjumlah
puluhan.
Suatu hari Senin di bulan Oktober, aku
keluar dari rumah agak terlambat yaitu jam 06.45 pagi. Kuperhatikan anak-anak
sekolah yang biasanya ramai di sepanjang jalan itu mulai agak sepi, mungkin
mereka sudah mendapatkan kendaraan ke sekolahnya masing-masing. Saat
perjalananku mencapai ujung desa Bedulan (tempat ini pasti dikenal oleh semua
orang karena sering terjadi tawuran antar desa sampai saat ini), kulihat ada
seorang anak sekolah perempuan yang melambai-lambaikan tangannya.
Setelah kulihat di belakangku tidak ada
kendaraan lain, aku mengambil kesimpulan kalau anak sekolah itu berusaha
mendapatkan tumpangan dariku dan karena dia seorang diri di sekitar situ maka
segera kuhentikan kendaraanku serta kubuka kacanya sambil kutanyakan, Mau ke
mana dik?. Kulihat anak sekolah itu agak cemas dan segera menjawab
pertanyaanku, Pak boleh saya ikut sampai di SMU, dari tadi kendaraan umum penuh
terus dan saya takut terlambat?, dengan wajah yang penuh harap. Yaa , OK
lah.., naik cepat, kataku. Terima kasih paak, katanya sambil membuka pintu
mobilku.
Heni |
Jarak dari sini sampai di sekolahnya kira-kira 10 Km dan selama perjalanan kuselingi dengan pertanyaan-pertanyaan ringan, sehingga aku tahu kalau dia itu duduk bangku SMU. Tinggi badannya kira-kira 160 cm, warna kulitnya bisa dibilang agak putih bersih dan tidak cantik tapi manis dan menarik untuk dilihat, entah apanya yang menarik, mungkin karena matanya agak sayu.
Tidak terlalu lama, kendaraanku sudah
sampai di daerah-dan Heni segera memberikan aba-aba. Ooom, sekolah saya ada di
depan itu, katanya sambil jarinya menunjuk satu arah di kanan jalan. Kuhentikan
kendaraanku di depan sekolahnya dan sambil menyalamiku Heni mengucapkan terima
kasih. Sambil turun dari mobil, Heni masih sempat bertanya, Oom, besok pagi saya
boleh ikut lagi.., nggak Oom, lumayan Oom, bisa naik mobil bagus ke sekolah dan
sekalian menghemat ongkos.., boleh yaa.. Oom?. Aku tidak segera menjawab
pertanyaan itu, tapi kupandangi wajahnya, lalu kujawab, Boleh boleh saja Heni
ikut Oom, tapi jangan bergerombol ikutnya yaa.
Enggak deh Oom, saya cuma sendiri saja kok
selama ini.
Setiap pagi sewaktu aku mencapai desa itu,
Heni sudah ada di pinggir jalan dan melambaikan tangannya untuk menghentikan
mobilku. Dalam setiap perjalanan dia makin lama makin banyak bercerita soal
keluarganya, kehidupannya di desa, teman-teman sekolahnya dan dia juga sudah
punya pacar di sekolahnya. Ketika kutanya apakah pacarnya tidak marah kalau
setiap hari naik mobil orang, Heni bilang tidak apa-apa tapi tanpa ada
penjelasan apapun, sepertinya dia enggan menceritakan lebih jauh soal pacarnya.
Heni juga cerita bahwa selama ini dia tidak pernah kemana-mana, kecuali pernah
dua kali di ajak pacarnya piknik ke daerah wisata di Kuningan.
Seminggu kemudian di hari Jumat, waktu Heni
akan naik di mobilku kulihat wajahnya sedih dan matanya bengkak seperti habis
menangis dan Heni duduk tanpa banyak bicara.
Karena penasaran, kusapa dia, Heni, habis
nangis yaa, kenapa..? coba Heni ceritakan.., siapa tahu Oom bisa membantu. Heni
tetap membisu dan sedikit gelisah. Lama dia diam saja dan aku juga tidak mau
mengganggunya dengan pertanyaan-pertanyaan, tetapi kemudian dia berkata, Oom,
saya habis ribut dengan Bapak dan Ibu, lalu dia diam lagi.
Kalau Heni percaya pada Oom, tolong coba
ceritakan masalahnya apa, siapa tahu Oom bisa membantu, kataku tetapi Heni saja
tetap membisu.
Ketika mobilku sudah mendekati sekolahnya,
tiba-tiba Heni berkata, Oom, boleh nggak Heni minta waktu sedikit buat bicara
di sini, mumpung masih belum sampai di sekolah. Mendengar permintaannya itu,
segera saja kuhentikan mobilku di pinggir jalan dan kira-kira jaraknya masih 2
Km dari sekolahnya.
Ayoo, lah Heni (sebenarnya pengarang penuliskan
tiga harus terakhir dari namanya, tapi terpaksa oleh Yuri diganti jadi 3 huruf
terdepan), jangan takut atau ragu, ada apa sebenarnya, tanyaku lagi.
Begini, Oom, kata Heni, lalu dia
menceritakan bahwa tadi malam dia minta uang kepada orang tuanya untuk membayar
uang sekolahnya yang sudah tiga bulan belum dibayar dan hari ini adalah hari
terakhir dia harus membayar, karena kalau tidak dia tidak boleh mengikuti
ulangan. Orang tuanya ternyata tidak mempunyai uang sama sekali, padahal uang
sekolah yang harus dibayar itu sebesar ratusan ribu rupiah. Alasan orang tuanya
karena panen padi yang diharapkan telah punah karena hujan yang terus menerus.
Dan katanya lagi orang tuanya menyuruh dia berhenti sekolah karena tidak mampu
lagi untuk membayar uang sekolah dan mau dikimpoikan dengan tetangganya.
Aku tetap diam untuk mendengarkan
ceritanya sampai selesai dan karena Heni juga terus diam, lalu kutanya,
Teruskan ceritamu sampai selesai Heni. Dia tidak segera menjawab tapi yang
kulihat airmatanya terlihat menggenang dan sambil mengusap air matanya dia
berkata, Oom, sebetulnya masih banyak yang ingin Heni ceritakan, tapi saya
takut nanti Oom terlambat ke kantornya dan Heni juga harus ke sekolah, serta
lanjutnya lagi, kalau Oom ada waktu dan tidak keberatan, saya ingin pergi
dengan Oom supaya saya bisa menceritakan semua masalah pribadi saya. Setelah
diam sejenak, lalu Heni berkata lagi, Oom, kalau ada dan tidak keberatan, saya
mau pinjam uang Oom 80 ribu untuk membayar uang sekolah dan saya janji akan
mengembalikan setelah saya dapat dari orang tua saya.
Mendengar cerita Heni walaupun belum
seluruhnya, hatiku terasa tersayat dan segera kurogoh dompetku dan kuambilkan
uang 200 ribu dan segera kuberikan padanya.
Lho Oom, kok banyak benar, saya takut
tidak dapat mengembalikannya, katanya sambil menarik tangannya sebelum uang
dari tanganku dipegangnya.
Heni.., ambillah, nggak apa-apa kok,
sisanya boleh kamu belikan buku-buku atau apa saja, saya yakin Heni
membutuhkannya, dan segera kupegang tangannya sambil meletakkan uang itu
ditangannya dan sambil kukatakan, Heni.., ini nggak usah kamu beritahukan
kepada siapa-siapa, juga jangan kepada orang tuamu, dan Heni nggak perlu
mengembalikannya.
Belum selesai kata-kataku, tiba-tiba saja
dari tempat duduknya dia maju dan mencium pipi kiriku sambil berkata, Terima
kasih banyak Oom.., Oom.. sudah banyak menolong saya. Aku jadi sangat terkesiap
dan berdebar, bukan karena mendapat ciuman di pipiku, tapi karena tangan kiriku
tersentuh buah dadanya yang terasa sangat empuk sehingga tidak terasa penisku
menjadi tegang dan sementara Heni masih mencium pipiku, kugunakan tangan
kananku untuk membelai rambutnya dan kucium hidungnya.
Ayoo, Heni, sudah lama kita di sini, nanti
kamu terlambat sekolahnya.
Heni tidak menjawab tapi kulihat dikedua
matanya masih tergenang air matanya. Ketika sudah sampai di depan sekolahnya
sambil membuka pintu mobil, Heni berkata, Oom.., terima kasih yaa.. Ooom dan
kapan Oom ada waktu untuk mendengar cerita Heni.
Kalau besok gimana..?, kataku.
Boleh.., oom, jawabnya cepat.
Lho, besok kan
masih hari Sabtu dan Heni kan
harus sekolah, jawabku.
Sekali-kali mbolos kan
nggak apa apa Oom, hari Sabtu kan
pelajarannya tidak begitu padat dan kurang penting, kata Heni.
Oklah, kalau begitu, Heni, kita ketemu
besok pagi ditempat biasa kamu menunggu.
Dalam perjalanan ke kantor setelah Heni
turun, masalah Heni terasa mengganggu pikiranku sehingga tidak terasa aku sudah
sampai di kantor. Sebelum pulang kantor, aku izin untuk tidak masuk besok Sabtu
pada Bossku dengan alasan akan mengurus persoalan keluarga di Kuningan.
Demikian juga waktu malamnya kukatakan pada istriku kalau aku harus ke Jakarta untuk urusan
kantor dan kalau selesainya telat terpaksa harus menginap dan pulang pada hari
Minggu.
Besok paginya dengan berbekal 1 stel
pakaian yang telah disiapkan oleh Istriku, aku berangkat dan sampai di tempat
yang biasa, kulihat Heni tetap memakai baju seragam sekolahnya. Setelah dia
naik ke mobil, kembali kulihat matanya tetap seperti habis menangis.
Lalu kutanya, Heni, habis perang lagi
yaa?, soal apa lagi?.
Oom, ceritanya nanti saja deh, katanya
agak malas.
Kita mau kemana Oom?, Tanyanya.
Lho, terserah Heni saja.., Oom sih ikut
saja.
Oom, saya kepingin ke tempat yang agak
sepi dan nggak ada orang lain, jadi kalau-kalau Heni nangis, nggak ada yang
melihatnya kecuali Oom.
Sambil memutar mobilku kembali ke arah Cirebon , aku berpikir sejenak mau ke tempat mana yang
sesuai dengan permintaan Heni, dan segera teringat kalau di pinggiran kota Cirebon
yang ke arah Kuningan ada sebuah lapangan Golf dan Cottage CPN.
Segera saja kukatakan padanya, Heni Tempat
yang sesuai dengan keinginanmu itu kayaknya agak susah, tapi, bagaimana kalau
kita ke CPN saja..?.
Dimana itu Oom dan tempat apaan?,tanya Heni.
Aku jadi agak susah menjelaskannya, tapi
kujawab saja, Tempatnya sih nggak jauh yaitu sedikit di luar Cirebon dan,
begini saja deh.., Heni.., kita ke sana dulu dan kalau Heni kurang setuju
dengan tempatnya, kita cari tempat lain lagi.
Setelah sampai di tempat dan mendaftar di
receptionist serta memesan minuman ringan serta mengambil kunci kamarnya,
segera aku kembali ke mobil dan kutanyakan pada Henigimana Heni.., kamu mau
disini..?, lihat saja tempatnya sepi (maklum saja masih pagi-pagi.
Receptionistnya saja seperti terheran-heran, sepertinya berfikir kok ada tamu
pagi-pagi sekali dan nomor mobilnya bukan dari luar kota ).
Setelah mobil kuparkir di depan kamar,
sebelum turun kutanya dia kembali, Heni, gimana.., mau di sini? atau mau cari
tempat lain?. Heni tidak segera menjawab pertanyaanku, tapi dia ikut turun dari
mobil dan mengikutiku ke arah pintu kamar motel. Segera setelah sampai di
dalam, dia langsung duduk di tempat tidur sambil memperhatikan seluruh ruangan.
Karena kulihat dia tetap diam saja, aku jadi merasa tidak enak dan segera
kudekati dia yang masih tetap duduk di pinggiran tempat tidur dan sambil agak
berlutut, kucium keningnya beberapa saat dan tiba-tiba saja Heni memelukku dan
terdengar tangisan lirih sambil terisak-isak. Sambil masih memelukku, kuangkat
berdiri dari duduknya dan kuelus-elus rambutnya, sambil kucium pipinya serta
kukatakan, Heni coba tenangkan dirimu dan ceritakan semua masalah mu pada Oom,
siapa tahu Oom bisa membantumu dalam memecahkan masalahmu itu. Heni masih saja
memelukku tapi senggukan tangisnya mulai mereda. Beberapa saat kemudian
kubimbing dia ke arah tempat tidur dan perlahan kutelentangkan Heni di tempat
tidur dan kurangkulkan tangan kiriku di bahunya dan kupandangi wajahnya, sambil
kukatakan, Heni cobalah ceritakan masalahmu itu dan biar Oom bisa mengetahui permasalahanmu
itu.
Heni tetap diam saja dan memejamkan
matanya, tapi tak lama kemudian, sambil menyeka air matanya dia membuka matanya
dan memandang ke arahku yang jaraknya antara wajahnya dan wajahku sangat dekat
sekali.
Oom, katanya seperti akan memulai
bercerita, tapi lalu dia diam lagi. Heni, kataku sambil kucium pipinya dan
kuusap-usapkan jari tangan kananku di rambutnya, cerita lah.
Lalu Heni mulai bercerita dan dia
menceritakan secara panjang lebar soal kehidupan keluarganya yang miskin, dia
anak pertama dari 3 bersaudara, tentang pacarnya di sekolah tapi lain kelas
yang sudah 2 tahun pacaran dan sekarang sudah meninggalkan dia karena
mendapatkan pacar baru di kelasnya dan dia juga menceritakan kalau orang tuanya
sudah menjodohkan dengan tetangganya yang sudah punya istri dan anak, tapi kaya
dan rumahnya tidak terlalu jauh dari rumah Heni dan dia harus segera berhenti
dari sekolahnya karena akan dikimpoikan pada bulan Maret akan datang. Heni
katanya kepingin sekolah dulu dan belum pingin kimpoi, apalagi kimpoi dengan
orang yang sudah punya Istri dan anak. Heni punya keinginan mau lari dari
rumahnya, tapi tidak tahu mau ke mana. Heni juga menceritakan bahwa sebetulnya
dia masih cinta kepada kawan sekolahnya itu, apalagi dia sudah telanjur pernah
tidur bersama sewaktu piknik ke Kuningan dulu, walaupun katanya dia tidak yakin
kalau punya pacarnya itu sudah masuk ke vaginanya apa belum, karena belum
apa-apa sudah keluar katanya.
Jadi, gimana.., Oom.., apa yang harus saya
perbuat dengan masalah ini, katanya setelah menyelesaikan ceritanya.
Heni, kataku sambil kembali kuelus-elus
rambutnya dan kucium pipinya di dekat bibirnya.
Heni, masalahmu kok begitu rumit, terutama
persoalan lamaran tetanggamu itu. Begini saja Heni, sebaiknya kamu minta kepada
orangtuamu untuk menunda perkimpoian itu sampai kamu selesai sekolah. Bilang
saja, kalau ujian SMA-mu hanya tinggal beberapa bulan lagi.
Katakan lagi, sayang kalau biaya yang
telah dikeluarkan selama hampir tiga tahun di SMA harus hilang percuma tanpa
mendapatkan Ijasah. Heni, sewaktu kamu mengatakan ini semua, jangan pakai
emosi, katakan dengan lemah lembut, mudah-mudahan saja orang tuamu mau mengerti
dan mengundurkan perjodohanmu dengan tetanggamu itu.
Kalau orang tuamu setuju, jadi kamu bisa
konsentrasi untuk menyelesaikan sekolahmu dan yang lainnya bisa dipikirkan
kemudian.
Setelah selesai memberikan saran ini, lalu
kembali kucium pipinya seraya kutanya, Heni, bagaimana pendapatmu dengan saran
Oom ini?.
Seraya saja Heni bangkit dari tidurnya dan
memelukku erat-erat sambil menciumi pipiku dan berkata, Ooom, terima kasih..,
atas saran Oom ini, belum terpikir oleh saya sebelumnya hal ini, Oom sangat
baik terhadap Heni entah bagaimana caranya saya membalas kebaikan Oom, dan
terasa air matanya menetes di pipiku.
Setelah diam sesaat, kembali kurebahkan
badan Heni telentang dan kulihat dari matanya yang tertutup itu sisa air
matanya dan segera kucium kedua matanya dan sedikit demi sedikit cimmanku
kuturunkan ke hidungnya dan terus turun ke pipi kirinya, setelah itu kugeser
ciumanku mendekati bibirnya. Karena Heni masih tetap diam dan tidak menolak,
keberanianku semakin bertambah dan secara perlahan-lahan kugeser ciumanku ke
arah bibirnya, dan tiba-tiba saja Heni menerkam dan memelukku serta mencari
bibirku dengan matanya yang masih tertutup. Aku berciuman cukup lama dan
sesekali lidahku kujulurkan ke dalam mulutnya dan Heni mengisapnya. Sambil
tetap berciuman, kurebahkan badannya lagi dan tangan kananku segera kuletakkan
tepat di atas buah dadanya yang terasa sangat kenyal dan sedikit kuremas.
Karena tidak ada reaksi yang berlebihan serta Heni bukan saja mencium bibirku
tapi seluruh wajahku, maka satu persatu kancing baju SMU-nya berhasil kulepas
dan ketika kusingkap bajunya, tersembul dua bukit yang halus tertutup BH putih
tipis dan ukurannya tidak terlalu besar.
Ketika kucoba membuka baju sekolahnya dari
tangan kanannya, Heni kelihatannya tetap diam dan malah membantu dengan
membengkokkan tangannya. Setelah berhasil melepas baju dari tangan kanannya,
segera kucari kaitan BH-nya di belakang dan dengan mudah kutemukan serta
kulepaskan kaitannya, sementara itu kami masih tetap berciuman, kadang dibibir
dan sesekali di seluruh wajah bergantian. BH-nya pun dengan mudah kulepas dari
tangan kanannya dan ketika kusingkap BH-nya, tersembul buah dada Heni yang
ukurannya tidak terlalu besar tapi menantang dan dengan puting susunya berHenina
kecoklatan.
Dan dengan tidak sabar dan sambil meremas
pelan payudara kanannya, kuturunkan wajahku menyelusuri leher dan terus ke
bawah dan sesampainya di payudaranya, kujilati payudara Heni yang menantang itu
dan sesekali kuhisap puting susunya, sementara Heni meremas-remas rambutku
seraya terdengar suara lirih, aahh, aahh, ooomm, ssshh, aahh. Aku paling tidak
tahan kalau mendengar suara lirih seperti ini, serta merta penisku semakin
tegang dan kugunakan kesempatan ini sambil tetap menjilati dan menghisap
payudara Heni, kugunakan tangan kananku untuk menelusuri bagian bawah badan Heni.
Ketika sampai di celana dalamnya serta
kuelus-elus vaginanya, terasa sekali ada bagian CD yang basah. Sambil masih
tetap menjilati payudara Heni, kugunakan jari tanganku menyusup masuk dari
samping CD-nya untuk mencari bibir vaginanya dan ketika dapat dan kuelus, badan
Heni terasa menggelinjang dan membukakan kakinya serta kembali terdengar, aahh,
ssshh, ssshh, aahh. Aku jadi semakin penasaran saja mendengar suara Heni
mengerang lirih seperti itu. Segera kulepas tanganku yang ada di vaginanya dan
sekarang kugunakan untuk mencari kancing atau apapun yang ada di Rok sekolahnya
untuk segera kulepas. Untung saja rok sekolah yang dipakai adalah rok standard
yaitu ada kaitan sekaligus ritsluiting, sehingga dengan mudah kutemukan dan
kubuka kaitan dan ritsluitingnya, sehingga roknya menjadi longgar di badan Heni.
Lalu perlahan-lahan kuturunkan badanku
serta ciumanku menelusuri perut Heni seraya tanganku berusaha menurunkan
roknya. Roknya yang sudah longgar itu dengan mudah kuturunkan ke arah kakinya
dan kuperhatikan Heni mengenakan CD Henina merah muda dan kulihat juga vaginanya
yang menggunung di dalam CD-nya.
Badan Heni menggelinjang saat ciumanku
menelusuri perut dan pada saat ciumanku mencapai CD di atas gunungan vaginanya,
gelinjang badan Heni semakin keras dan pantatnya seakan diangkat serta tetap
kudengar suaranya yang lirih sambil meremas-remas rambutku agak keras serta
sesekali memanggil, ssshh, aahh, ssshht, ooom, aahh. Sambil kujilati lipatan
pahanya, kuturunkan CD-nya perlahan-lahan dan setelah setengahnya terbuka,
kuperhatikan vagina Heni masih belum banyak ditumbuhi bulu sehingga terlihat
jelas belahan vaginanya dan basah.
Setelah berhasil melepas CD-nya dari kedua
kaki Heni yang masih menjulur di lantai, kuposisikan badanku diantara kedua
paha Heni sambil merenggangkan kedua pahanya. Dengan pelan-pelan kujulurkan lidahku
dan kujilati belahan vaginanya yang agak terbuka akibat pahanya kubuka agak
lebar. Bersamaan dengan jilatanku itu, tiba-tiba Heni bangun dari tidurnya dan
berkata, Jaa, ngaan, Ooom, sambil mencoba mengangkat kepalaku dengan kedua
tangannya.
Karena takut Heni akan marah, maka dengan
terpaksa aku bangkit dan kupeluk Heni serta berusaha menidurkannya lagi sambil
kucium bibirnya untuk menenangkan dirinya. Heni tidak memberikan komentar
apa-apa, tapi kami kembali berciuman dan Heni sepertinya lebih bernafsu dari
sebelumnya dan lebih agresif menciumi seluruh wajahku. Sementara itu tanganku
kugunakan untuk melepas baju dan BH Heni yang sebelah dan yang tadi belum
sempat kulepas, Heni sepertinya mendiamkan saja, malah sepertinya membantuku
dengan memiringkan badannya agar bajunya mudah kulepas. Sambil tetap berciuman,
sekarang aku berusaha untuk melepas baju dan celanaku sendiri.
Setelah aku berhasil melepas semua
pakaianku termasuk CD-ku, lalu dengan harap-harap cemas karena aku takut Heni
akan menolaknya, aku menempatkan diriku yang tadinya selalu di samping kiri
atau kanan badan Heni, sekarang aku naik di atas badan Heni. Perkiraanku
ternyata salah, setelah aku ada di atas badan Heni, ternyata dia malah
memelukkan kedua tangannya di punggungku sambil sesekali menekan-nekan. Dalam
posisi begini, terasa penisku agak sakit karena tertindih di antara badanku dan
paha Heni. Karena tidak tahan, segera kuangkat kaki kananku untuk mencari
posisi yang nikmat, tapi bersamaan dengan kakiku terangkat, kurasakan Heni malah
merenggangkan kedua kakinya agak lebar, tentu saja kesempatan ini tidak
kusia-siakan, segera saja kutaruh kedua kakiku di bagian tengah kedua kakinya
yang dilebarkan itu dan sekarang terasa penisku berada di atas vagina Heni. Heni
masih memelukkan kedua tangannya di punggungku dan meciumi seluruh wajahku.
Sambil masih tetap kujilat dan ciumi
seluruh wajahnya, kuturunkan tanganku ke bawah dan sedikit kumiringkan badanku,
perlahan-lahan kuelus vagina Heni yang menggembung dan setelah beberapa saat
lalu kupegang bibir vaginanya dengan jariku dan kurasakan kedua tangan Heni
serasa mencekeram di punggungku dan ketika jari tengahku kugunakan untuk
mengelus bagian dalam vaginanya, terasa vagina Heni sangat basah dan kurasakan
badan bawah Heni bergerak perlahan-lahan sepertinya mengikuti gerakan jari
tanganku yang sedang mengelus dan meraba bagian dalam vaginanya dan sesekali
kupermainkan clitorisnya dengan jari-jariku sehingga Heni sering berdesis,
Ssshh, ssshh, aahh, ssshh, sambil kurasakan jari kedua tangannya menusuk
punggungku.
Setelah sekian lama kupernainkan vaginanya
dengan jariku, kemudian kulepaskan jariku dari vagina Heni dan kugunakan tangan
kananku untuk memegang penisku serta segera saja penisku kuarahkan ke vagina Heni
sambil kugosok-gosokan ke atas dan ke bawah sepanjang bagian dalam vagina Heni,
serta kembali kudengar desis suaranya, ssshh, ssshh, ooom, aahh, ssshh, dan
pantatnya diangkat naik turun pelan-pelan. Karena kulihat Heni sudah sangat
terangsang nafsunya, segera saja kuhentikan gerakan tanganku dan kutujukan
penisku ke arah bawah bagian vaginanya dan setelah kurasa pas, segera
kulepaskan tanganku dan kutekan pelan-pelan penisku k edalam vagina Heni.
Kuperhatikan wajah Heni agak mengerenyit
seperti menahan rasa sakit serta menghentikan gerakan pantatnya serta bersuara
pelan tepat di dekat telingaku, Aduuuhh, ooomm, Jangaannn, sakiiittt, Asiihh..,
takuuut., Oom. Mendengar suaranya yang sedikit menghiba itu, segera kuhentikan
tusukan penisku dan kuelus-elus dahinya sambil kucium telinganya serta
kubisikan, Tidak, apa-apa, sayaang, Oom, pelan-pelan saja, kok, untuk
menenangkan ketakutan Heni. Heni tidak segera menanggapi kata-kataku dan tetap
diam saja dengan tetap masih memelukkan kedua tangannya di punggungku.
Karena dia diam saja dan memejamkan kedua
matanya, segera secara perlahan-lahan, kutusukan kembali penisku ke dalam
vaginanya dan terdengar lagi Heni berkata lirih di dekat telingaku, Aduuuhh,
sakiiittt, ooom, Asihh.., takuuut, padahal kurasakan kalau Heni mulai lagi
menggerakkan pantatnya perlahan-lahan.
Mendengar kata-katanya yang lirih ini,
kembali kuhentikan tusukan penisku tapi masih tetap ditempatnya yaitu di lubang
vaginanya, dan kembali kuciumi bibir dan wajahnya serta kuelus-elus rambutnya
sambil kubisiki, Takut apa sayang… Heni tidak segera menjawab pertanyaanku itu.
Sambil menunggu jawabannya, kuteruskan ciumanku di bibirnya dan Heni mulai lagi
melayani ciumanku itu dengan memainkan lidahku yang kujulurkan ke dalam
mulutnya dan kurasakan Heni mulai memindahkan kedua tangannya dari punggung ke
atas pantatku. Aku tetap bersabar menunggu dan tidak terburu-buru untuk
menusukkan penisku lagi. Tetap dengan masih menghisap lidahku, kurasakan kedua
tangan Heni sedikit menekan pantatku, entah perintah supaya aku menusukkan
penisku ke vaginanya atau hanya perasaanku saja.
Sementara aku diamkan saja dan dengan
masih berciuman, kutunggu reaksi Heni selanjutnya. Ketika ciumanku kualihkan ke
daerah dekat telinganya, kulihat Heni berusaha mengelak mungkin karena kegelian
dan kembali kurasakan kedua tangannya seperti menekan pantatku. Lalu kembali
kulumat bibirnya dan perlahan tapi pasti, kembali kutekan penisku ke dalam
liang kewanitaannya, tapi Heni tidak kuberi kesempatan untuk berkata-kata
karena mulutnya kusumpal dengan mulutku dan penisku makin kutekankan ke dalam
vaginanya serta kulihat mata Heni menutup rapat-rapat seperti menahan sakit.
Karena penisku belum juga menembus
vaginanya, lalu sedikit kuangkat pantatku dan kembali kutusukkan ke dalam
vagina Heni dan, Bleeesss, terasa penisku sepertinya sudah menembus vagina Heni
dan, aahh, sakiiit, ooom
Ketika sampai di celana dalamnya serta
kuelus-elus vaginanya, terasa sekali ada bagian CD yang basah. Sambil masih
tetap menjilati payudara Heni, kugunakan jari tanganku menyusup masuk dari samping
CD-nya untuk mencari bibir vaginanya dan ketika dapat dan kuelus, badan Heni
terasa menggelinjang dan membukakan kakinya serta kembali terdengar, aahh,
ssshh, ssshh, aahh. Aku jadi semakin penasaran saja mendengar suara Heni
mengerang lirih seperti itu. Segera kulepas tanganku yang ada di vaginanya dan
sekarang kugunakan untuk mencari kancing atau apapun yang ada di Rok sekolahnya
untuk segera kulepas. Untung saja rok sekolah yang dipakai adalah rok standard
yaitu ada kaitan sekaligus ritsluiting, sehingga dengan mudah kutemukan dan
kubuka kaitan dan ritsluitingnya, sehingga roknya menjadi longgar di badan Heni.
Lalu perlahan-lahan kuturunkan badanku
serta ciumanku menelusuri perut Heni seraya tanganku berusaha menurunkan
roknya. Roknya yang sudah longgar itu dengan mudah kuturunkan ke arah kakinya
dan kuperhatikan Heni mengenakan CD Henina merah muda dan kulihat juga
vaginanya yang menggunung di dalam CD-nya.
Badan Heni menggelinjang saat ciumanku
menelusuri perut dan pada saat ciumanku mencapai CD di atas gunungan vaginanya,
gelinjang badan Heni semakin keras dan pantatnya seakan diangkat serta tetap
kudengar suaranya yang lirih sambil meremas-remas rambutku agak keras serta
sesekali memanggil, ssshh, aahh, ssshht, ooom, aahh. Sambil kujilati lipatan
pahanya, kuturunkan CD-nya perlahan-lahan dan setelah setengahnya terbuka,
kuperhatikan vagina Heni masih belum banyak ditumbuhi bulu sehingga terlihat
jelas belahan vaginanya dan basah.
Setelah berhasil melepas CD-nya dari kedua
kaki Heni yang masih menjulur di lantai, kuposisikan badanku diantara kedua
paha Heni sambil merenggangkan kedua pahanya. Dengan pelan-pelan kujulurkan
lidahku dan kujilati belahan vaginanya yang agak terbuka akibat pahanya kubuka
agak lebar. Bersamaan dengan jilatanku itu, tiba-tiba Heni bangun dari tidurnya
dan berkata, Jaa, ngaan, Ooom, sambil mencoba mengangkat kepalaku dengan kedua
tangannya.
Karena takut Heni akan marah, maka dengan
terpaksa aku bangkit dan kupeluk Heni serta berusaha menidurkannya lagi sambil
kucium bibirnya untuk menenangkan dirinya. Heni tidak memberikan komentar
apa-apa, tapi kami kembali berciuman dan Heni sepertinya lebih bernafsu dari
sebelumnya dan lebih agresif menciumi seluruh wajahku. Sementara itu tanganku
kugunakan untuk melepas baju dan BH Heni yang sebelah dan yang tadi belum
sempat kulepas, Heni sepertinya mendiamkan saja, malah sepertinya membantuku
dengan memiringkan badannya agar bajunya mudah kulepas. Sambil tetap berciuman,
sekarang aku berusaha untuk melepas baju dan celanaku sendiri.
Setelah aku berhasil melepas semua
pakaianku termasuk CD-ku, lalu dengan harap-harap cemas karena aku takut Heni
akan menolaknya, aku menempatkan diriku yang tadinya selalu di samping kiri
atau kanan badan Heni, sekarang aku naik di atas badan Heni. Perkiraanku
ternyata salah, setelah aku ada di atas badan Heni, ternyata dia malah
memelukkan kedua tangannya di punggungku sambil sesekali menekan-nekan. Dalam
posisi begini, terasa penisku agak sakit karena tertindih di antara badanku dan
paha Heni. Karena tidak tahan, segera kuangkat kaki kananku untuk mencari
posisi yang nikmat, tapi bersamaan dengan kakiku terangkat, kurasakan Heni
malah merenggangkan kedua kakinya agak lebar, tentu saja kesempatan ini tidak
kusia-siakan, segera saja kutaruh kedua kakiku di bagian tengah kedua kakinya
yang dilebarkan itu dan sekarang terasa penisku berada di atas vagina Heni. Heni
masih memelukkan kedua tangannya di punggungku dan meciumi seluruh wajahku.
Sambil masih tetap kujilat dan ciumi
seluruh wajahnya, kuturunkan tanganku ke bawah dan sedikit kumiringkan badanku,
perlahan-lahan kuelus vagina Heni yang menggembung dan setelah beberapa saat
lalu kupegang bibir vaginanya dengan jariku dan kurasakan kedua tangan Heni
serasa mencekeram di punggungku dan ketika jari tengahku kugunakan untuk
mengelus bagian dalam vaginanya, terasa vagina Heni sangat basah dan kurasakan
badan bawah Heni bergerak perlahan-lahan sepertinya mengikuti gerakan jari
tanganku yang sedang mengelus dan meraba bagian dalam vaginanya dan sesekali
kupermainkan clitorisnya dengan jari-jariku sehingga Heni sering berdesis,
Ssshh, ssshh, aahh, ssshh, sambil kurasakan jari kedua tangannya menusuk
punggungku.
Setelah sekian lama kupernainkan vaginanya
dengan jariku, kemudian kulepaskan jariku dari vagina Heni dan kugunakan tangan
kananku untuk memegang penisku serta segera saja penisku kuarahkan ke vagina Heni
sambil kugosok-gosokan ke atas dan ke bawah sepanjang bagian dalam vagina Heni,
serta kembali kudengar desis suaranya, ssshh, ssshh, ooom, aahh, ssshh, dan
pantatnya diangkat naik turun pelan-pelan. Karena kulihat Heni sudah sangat
terangsang nafsunya, segera saja kuhentikan gerakan tanganku dan kutujukan
penisku ke arah bawah bagian vaginanya dan setelah kurasa pas, segera
kulepaskan tanganku dan kutekan pelan-pelan penisku k edalam vagina Heni.
Kuperhatikan wajah Heni agak mengerenyit
seperti menahan rasa sakit serta menghentikan gerakan pantatnya serta bersuara
pelan tepat di dekat telingaku, Aduuuhh, ooomm, Jangaannn, sakiiittt, Asiihh..,
takuuut., Oom. Mendengar suaranya yang sedikit menghiba itu, segera kuhentikan
tusukan penisku dan kuelus-elus dahinya sambil kucium telinganya serta
kubisikan, Tidak, apa-apa, sayaang, Oom, pelan-pelan saja, kok, untuk
menenangkan ketakutan Heni. Heni tidak segera menanggapi kata-kataku dan tetap
diam saja dengan tetap masih memelukkan kedua tangannya di punggungku.
Karena dia diam saja dan memejamkan kedua
matanya, segera secara perlahan-lahan, kutusukan kembali penisku ke dalam
vaginanya dan terdengar lagi Heni berkata lirih di dekat telingaku, Aduuuhh,
sakiiittt, ooom, Asihh.., takuuut, padahal kurasakan kalau Heni mulai lagi
menggerakkan pantatnya perlahan-lahan.
Mendengar kata-katanya yang lirih ini,
kembali kuhentikan tusukan penisku tapi masih tetap ditempatnya yaitu di lubang
vaginanya, dan kembali kuciumi bibir dan wajahnya serta kuelus-elus rambutnya
sambil kubisiki, Takut apa sayang… Heni tidak segera menjawab pertanyaanku itu.
Sambil menunggu jawabannya, kuteruskan ciumanku di bibirnya dan Heni mulai lagi
melayani ciumanku itu dengan memainkan lidahku yang kujulurkan ke dalam
mulutnya dan kurasakan Heni mulai memindahkan kedua tangannya dari punggung ke
atas pantatku. Aku tetap bersabar menunggu dan tidak terburu-buru untuk
menusukkan penisku lagi. Tetap dengan masih menghisap lidahku, kurasakan kedua
tangan Heni sedikit menekan pantatku, entah perintah supaya aku menusukkan
penisku ke vaginanya atau hanya perasaanku saja.
Sementara aku diamkan saja dan dengan
masih berciuman, kutunggu reaksi Heni selanjutnya. Ketika ciumanku kualihkan ke
daerah dekat telinganya, kulihat Heni berusaha mengelak mungkin karena kegelian
dan kembali kurasakan kedua tangannya seperti menekan pantatku. Lalu kembali
kulumat bibirnya dan perlahan tapi pasti, kembali kutekan penisku ke dalam
liang kewanitaannya, tapi Heni tidak kuberi kesempatan untuk berkata-kata
karena mulutnya kusumpal dengan mulutku dan penisku makin kutekankan ke dalam
vaginanya serta kulihat mata Heni menutup rapat-rapat seperti menahan sakit.
Karena penisku belum juga menembus
vaginanya, lalu sedikit kuangkat pantatku dan kembali kutusukkan ke dalam
vagina Heni dan, Bleeesss, terasa penisku sepertinya sudah menembus vagina Heni
dan, aahh, sakiiit, ooom., kudengar suara Heni sambil seperti menahan rasa
sakit dan berusaha menarik pantatku. Untuk sementara tidak kugerakkan pantatku
dan setelah kulihat Heni mulai tenang dan kembali mau menciumi wajahku, lalu
perlahan-lahan kutekan penisku yang sudah menembus vaginanya supaya masuk lebih
dalam lagi.
aahh, oom, pelan, pelaan.., kudengar Heni
berkata lirih.
Iyaa, sayaang, ooom pelah-pelan, jawabku
serta kubelai rambutnya. Setelah kudiamkan sebentar, lalu kugerakkan pantatku
naik turun sangat pelan agar Heni tidak merasa kesakitan, dan ternyata
berhasil, wajah Heni keperhatikan tidak tegang lagi sehingga pergerakan penisku
keluar masuk vagina Heni sedikit kupercepat dan belum berapa lama terdengar
suara Heni, ooom, ooom, aaduuuhh, ooomm, aahh, sambil kedua tangannya
mencengkeram punggungku dengan kuat dan menciumi keseluruhan wajahku dengan
sangat bernafsu dan badannya berkeringat, lalu Heni berteriak agak keras, aahh,
ooomm, aduuuhh.., lalu Heni terkapar dan terdiam lemas dengan nafas
terengah-engah. Rupanya Aku yakin kalau Heni sudah mencapai orgasmenya padahal
nafsuku baru saja akan naik. Karena kulihat Heni sepertinya sedang kelelahan
dengan kedua matanya tertutup rapat, jadi timbul rasa kasihanku, lalu sambil
kuseka keringat wajahnya kuciumi pipi dan bibirnya dengan lembut, tapi Heni
tidak bereaksi dan tanpa kuduga di gigitnya bibirku yang sedang menciumnya
seraya berkata lirih, ooom, nakal, yaa, Heni baru sekali ini merasakan hal
seperti tadi, sambil mencubit punggungku. Aku tidak menjawab komentarnya tapi
yang kuperhatikan adalah nafasnya sudah mulai teratur dan secara perlahan-lahan
aku mulai menggerakkan penisku lagi keluar masuk vagina Heni.
Kuperhatikan Heni mulai terangsang lagi, Heni
mulai menghisap bibirku dan mulai mencoba menggerakkan pantatnya pelan-pelan
dan gerakannya ini membuat penisku seperti di pelintir keenakan. Gerakan
penisku keluar masuk semakin kupercepat dan demikian juga Heni mulai makin
berani mempercepat gerakan putaran pantatnya, sambil sesekali kedua tangannya
yang dipelukkan dipinggangku berusaha menekan sepertinya menyuruhku untuk
memasukkan penisku ke dalam vaginanya lebih dalam lagi dan kudengar Heni mulai
bersuara lagi, aahh, aahh, ooohh, oomm, aah, dan tidak terasa akupun mulai
berkicau, aacchh, aahh, Siiihh, enaakk, teruuus, Siiih. Ketika nafsuku sudah
mulai memuncak dan kudengar juga nafas Heni semakin cepat, dengan
perlahan-lahan kupeluk badan Heni dan segera kubalik badannya sehingga sekarang
Heni sudah berada di atasku dan kupelukkan kedua tanganku di pantatnya,
sedangkan wajah Heni ditempelkan di wajahku. Dengan sedikit makan tenaga,
kucoba menggerakkan pantatku naik turun dan setiap kali pantatku naik,
kugunakan kedua tanganku menekan pantat Heni ke bawah dan bisa kurasakan kalau
penisku masuk lebih dalam di vagina Heni, sehingga setiap kali kudengar
suaranya sedikit keras, aahh, oooh. Dan mungkin karena keenakan, sekarang
gerakan Heni malah lebih berani dengan menggerakkan pantatnya naik turun
sehingga kedua tanganku tidak perlu menekannya lagi dan setiap kali pantatnya
menekan ke bawah sehingga penisku serasa masuk semuanya di vagina Heni,
kudengar dia bersuara keenakan, Aahh, aah disertai nafasnya yang semakin cepat,
demikian juga aku sambil berusaha menahan agar maniku tidak segera keluar.
Gerakan Heni semakin cepat saja dan
kurasakan wajahnya semakin ditekankan ke wajahku sehingga kudengar nafasnya
yang sangat cepat itu di dekat telingaku dan, Aduuuh, aahh, aahh, ooomm.., Heni,
mauuu.., keluaar, aah.
Tungguuu, Waarrr.., kitaa, samaa, samaa.,
ooom.., Jugaa.., mauuu, keluarr.
aahh, aahh, ooomm, teriak Heni sambil
mengerakkan pantatnya menggila dan akupun karena sudah tidak tahan menahan
maniku dari tadi segera kegerakkan pantatku lebih cepat dan, Crreeettt,
ccrreeett, ccccrrreeett, dan aahh, siiihh, ooom keluaar, sambil kutekan pantat Heni
kuat-kuat.
Setelah beristirahat sebentar, kuajak Heni
ke kamar mandi untuk membersihkan badan dan Heni kembali menjatuhkan badannya
di tempat tidur, mungkin masih merasakan kelelahan. Tak terasa jam sudah
menunjukkan hampir jam 12 siang dan segera saja kupesan makan siang.
Komentar
Posting Komentar