Sebenarnya
aku teramat malu untuk menceritakan kejadian tragis ini, bagaimanapun ini
rahasia keluarga, aku dan mama. Waktu itu hari Minggu pagi, pertengahan bulan
Desember, ketika liburan sekolah semester ganjil, semester pertama setelah di
SMU.
Pada
hari itu aku diminta mama untuk mengantar ke Solo, katanya ada acara reuni
dengan teman-temannya di kota Solo.
Dengan sepeda motor pemberian mama sebagai hadiah ulang tahun ke-17 juga
sebagai hadiah aku diterima di salah satu SMU negeri bonafid di kabupaten, aku
antar mama ke Solo, tepatnya di kota Palur.
Sesampainya
di tujuan, sudah banyak teman mama yang hadir. Mereka datang berpasangan (mama
sudah menjanda ketika aku duduk di bangku SMP, karena papa tertangkap
menghamili gadis tetangga). Semula aku kira mereka pasangan suami istri atau
ibu dengan puteranya sepertiku, namun lama-lama aku menjadi sangsi. Bagaimana
tidak, meskipun selisih usianya cukup jauh tapi mereka tampak begitu mesra.
Bahkan ketika mama memperkenalkan aku kepada teman-temannya sebagai anaknya,
mereka semua tidak percaya, malah-malah mereka bilang mama hebat dalam memilih
pasangan. Beberapa lelaki, yang semula aku anggap suami-suami mereka, banyak
yang memberi semangat kepadaku.
Menurut mereka, aku merupakan lelaki yang
beruntung bisa mendapatkan cewe seperti mama, selain cantik, muda dan tidak
pelit namun yang lebih penting duitnya banyak. Sebenarnya aku malu, marah dan
kesal. Bagaimana tidak marah, mereka tetap tidak percaya kalau aku anak mama
yang sebenarnya. Namun demi melihat mama hanya tersenyum saja, aku tak
menampakkan kesemuanya itu.
Dalam
perjalanan pulang mama baru cerita semuanya kalau sebenarnya mereka bukan suami
istri atau ibu dengan anak-anaknya, mereka merupakan pasangan idaman lain
(PIL). Mama juga cerita mengapa tadi hanya tersenyum waktu mereka bilang aku
pasangan mama dan hanya sedikit membela diri bahwa aku anaknya yang sebenarnya.
Menurut
mama susah menjelaskan kepada mereka kalau aku anak mama yang sebenarnya,
karena dihati mereka sudah lain. Mama juga cerita kenapa mengajak aku untuk
mengantar ke acara tersebut, selain aku libur juga mama akan susah menolak
seandainya nanti lelaki (gigolo) yang mereka tawarkan kepada mama jadi datang.
Selama ini sudah sering mama diolok-olok oleh mereka. Mama dikata sebagai janda
muda yang cantik dan punya uang tapi kuper. Dan jadwal selanjutnya, tahun baru
(siang) di yogyakarta, di rumah Tante Ina.
Dua
minggu sejak pertemuan di Solo, Tahun Baru pun datang. Dengan sepeda motor yang
sama aku antar mama ke rumah Tante Ina di yogyakarta. Sengaja untuk acara ini
aku minta mama untuk membeli beberapa pakaian, aku tidak terlalu kalah gengsi
dengan cowok-cowok mereka. Sesampainya kami di di rumah Tante Ina, teman-teman
mama sudah banyak yang datang lengkap dengan centheng-centhengnya. Ketika
datang kami disambut dengan peluk dan cium mesra.
Rumah
Tante Ina cukup besar dan luas, cukup untuk menampung lebih dari 30 orang.
Acara dibuka dengan sambutan selamat datang dan selamat tahun baru dari tuan
rumah, dilanjutkan dengan makan bersama dan seterusnya acara biasa “ngerumpi”.
Entah usul dari siapa, diruangan tengah menyetel VCD porno. Kata mereka biasa untuk
menghangatkan suasana yang dingin karena musin hujan.
Bisa
dibayangkan bagaiaman perasaanku, diusia ke-17 dikala tingkat birahi sedang
tumbuh menyaksikan kesemuanya ini. Mamapun juga tampak kikuk terhadapku,
terlebih ketika Tante Astuti dan pacarnya tampak asyik bercium mesra
disampingku dengan tangannya yang gencar menjelajah dan suaranya yang cukup
berisik. Dan diantara kegelisahan itu, Tante Ina membisikkan kepada kami kalau
mau boleh menggunakan kamar diatas. Sambil menyerahkan kunci dia ngeloyor pergi
sama pacarnya.
Aku dan
mama hanya tersenyum, tapi ketika aku toleh di sekeliling sudah kosong, yang
ada tinggal Tante Melani dan Tante Yayuk beserta pasangan mereka masing-masing,
dimana pakaian yang mereka kenakan juga sudah kedodoran dan tidak lengkap lagi.
Dengan rasa jengah mama mengajakku ke lantai atas.
Di
lantai atas, di kamar yang disediakan untuk kami, tidak banyak yang dapat
dilakukan. Kasur yang luas dan kain sprei yang berwarna putih polos hanya
menambah gairah mudaku yang tak tersalurkan. Mama minta maaf, kata mama
kegiatan semacam ini tidak biasanya diadakan waktu siang hari, dan baru kali
ini mama ikut didalamnya (biasanya mama tidak hadir kalau acara malam hari).
Sewaktu akan keluar kamar mama sengaja membuat rambutnya tampak awut-awutan
(biar enggak ada yang curiga, katanya).
Waktu
menunjukkan pukul 15.30 wib acara selesai. Pertemuan selanjutnya dikediaman
Tante Astuti di Solo, bertepatan hari ulang tahun Tante Astuti yang ke-42.
Sejak acara mendadak di rumah Tante Ina, selama dalam perjalanan pulang, mama
tak banyak bicara. Kebekuan ini akhirnya cair waktu kami istirahat isi bensin.
Satu
hal yang tak dapat kulupa dari mama, ketika akan keluar kamar atas tidak tampak
penolakan mama waktu aku sekilas mencium pipi dan bibirnya serta waktu akan
pamitan pulang mama juga tampak santai ketika tanganku sekilas meremas buah
dadanya.
Ketika
aku tanyakan semua ini, mama hanya tersenyum dan mengatakan kalau aku mulai
nakal.
Sehari
menjelang pertemuan di rumah Tante Astuti mama tanya sama aku, mau datang apa
enggak karena malam hari dan takut hal-hal seperti dirumah Tante Ina yang lalu
akan terulang. Karena bertepatan hari ulang tahun Tante Astuti aku sarankan
hadir, masalah yang lalu kalau memang harus terjadi yach itung-itung rejeki,
kataku sambil berkelakar.
Saat
itu di rumah Tante Astuti suasana terasa hingar-bingar. Maklum Tante Astuti
seorang janda sukses dengan seorang putera yang masih kecil. Dalam acara hari
ini Tante Astuti sengaja mendekorasi rumahnya dengan suasana diskotik. Dentuman
musik keras, asap rokok dan bau minuman beralkohol menyemarakkan hari ulang
tahunnya.
Setelah
memberikan ucapan selamat dan mencicipi makan malam acara dilanjutkan dengan
ajang melantai. Sebenarnya mama sudah berusaha untuk tidak beranjak dari tempat
duduknya, namun permintaan Tante Susan agar mama bersedia berdansa dengan
relasi Tante Susan jualah yang membuat mama bersedia bangkit. Tak tega aku
melihat kekikukan mama apalagi relasi Tante Susan tampak berusaha untuk mencium
mama, serta merta akupun berdiri dan permisi kepada relasi Tante Susan agar
mama berdansa denganku.
Kujauhkan
rasa sungkan, malu dan grogi. Kurengkuh pinggang mama sambil terus berdansa
kuajak ke arah taman untuk istirahat minggir dari keramaian pesta.
Dibangku
taman bukan ketenangan yang kudapat, justru yang ada Tante Vita dan Tante Mitha
dengan pasangannya asyik bercumbu mesra. Kepalang tanggung mau kembali ke pesta
kasihan mama yang sudah cukup lelah selain tak enak sama mereka karena kalaupun
kembali ke dalam harus melewati Tante Vitadan Tante Mitha.
Akhirnya
mama memutuskan kami tetap dibangku taman sambil menunggu pesta usai. Supaya
Tante Vitadan Tante Mitha tidak merasa jengah, mama memintaku untuk menciumnya.
Awalnya hanya sekedar pipi dan sekilas bibir namun demi mendengar dengus nafsu
Tante Yani, nafsu mudaku pun tak dapat kutahan. Tak hanya kecupan, justru
pagutan yang lebih dominan dan tanpa sadar entah kapan mulainya, tangan ini
sudah bergerilya di dalam baju mama, memeras, memilin dan ….. hingga teriakan
nafsu Tante Mitha menyadarkan perbuatanku atas mama.
Bercampurlah
rasa malu, bersalah dan entah …. pada diri ini, aku mengajak mama untuk segera
pamit kepada tuan rumah meskipun Tante Astuti menyarankan kami menginap
dirumahnya.
Sesampainya
dirumah kutumpahkan rasa sesalku atas perbuatan tak senonohku pada mama.
Lagi-lagi mama hanya tersenyum dan mengatakan tak apa-apa, wajar orang lupa dan
khilaf apalagi suasana seperti di rumah Tante Vita yang serba bebas. Sambil
iseng aku bertanya mengapa waktu itu mama tidak menolak. Kata mama supaya Tante
Vitadan Tante Mitha tak terganggu apalagi waktu itu aku tampak bernafsu sekali.
Oleh mama aku tak perlu memikirkan yang sudah-sudah dan sambil beranjak tidur
mama masih sempat mencium pipiku.
Namun
bagaimana aku bisa tak perlu memikirkan yang sudah-sudah sementara nafsu sudah
bersimaharajalela. Karena tetap tak bisa tidur, dengan terpaksa tengah malam (+
02.00 wib) kubangunkan mama. Dikamar tengah kucumbu mama, kucium, kupagut dan
tangan ini tak terhalang bergentayangan disekujur tubuh mama. Namun tangan ini
akhirnya berhenti sebelum sampai pada tujuan akhir, tempat yang teramat khusus.
Pagi
harinya tak tampak kemarahan pada wajah mama, sambil sarapan pagi mama malah
berkata kalau aku mewarisi sifat-sifat papa yang nakal tanpa menegur kelakuanku
tadi malam. Bahkan mama geleng-geleng kepala ketika aku pamit berangkat sekolah
kucium bibirnya didepan pintu.
Tak
terasa genap sudah 18 tahun usiaku, hari itu terasa lama sekali menunggu sore.
Hari itu aku menunggu-nunggu hadiah ulang tahun spesial yang telah dijanjikan
mama. Dua hari yang lalu, aku ditanya mama ingin hadiah apa untuk merayakan
hari ulang tahunku. Sudah cukup banyak hadiah ulang tahun yang aku punya
seperti : motor atau komputer.
Akhirnya
aku katakan pada mama, kalau mama tidak keberatan aku mau mama. Sekilas mama
terdiam, ada perasaan tidak percaya atau tidak dapat menerima permintaanku. Aku
dikira bercanda lagi dan mama bertanya seebnarnya aku mau hadiah apa, aku
bilang pada mama kalau aku tidak bercanda kalau aku mau mama.
Dua
hari mama terdiam, dua hari kami tidak bertegur sapa. Aku kira mama marah atas
permintaanku terdahulu. Pagi hari tadi setelah sarapan aku minta maaf pada mama
atas permintaanku dua hari yang lalu dan sekaligus aku bermaksud menarik
permintaanku.
Namun
mama berkata lain, bahwa permintaanku dua hari yang lalu akan mama penuhi. Aku
nanti malam diminta tidak mengundang teman-temanku dan aku juga diminta untuk
mempersiapkan diri. Timbul dihatiku rasa senang, cemas, grogi, bahagia dan
entah…. Spontan kucium mama, kucium pipinya, kucium bibirnya dan kucium matanya
serta kupeluk erat.
Selepas
pulang kerja tadi sore mama tidak keluar dari kamarnya. Baru tepat pukul 21.30
wib bersamaan dengan selesainya acara Dunia Dalam Berita di TV mama memanggilku
untuk ke kamarnya. Dengan gemuruh hati yang berdetak keras kuhampiri kamarnya
dan kudapati mama di depan pintu dengan tubuhnya terbalut kain sprei. Sambil
tersenyum manis mama mencium bibirku dan mulai melepas satu-persatu pakaian
yang kukenakan. Tak kudapati wajah keterpaksaan pada mama, bahkan dengan serta
merta tangan mama meraba dan mengelus dengan lembut ketika pakaian yang
kukenakan tinggal celana dalam saja.
Dengan
nafsu dan gairah yang menggelegak kuserang mama. Kucium, kupeluk, kucumbu dan
dengan kekuatan prima kuakhiri perjakaku yang disambut mama dengan belitan yang
memabukkan, yang menuntuk terus dan selalu terus, entah berapa kali malam itu
birahi kutuntaskan.
Entah
mengapa dengan mama aku bisa begitu bergairah, semenjak kejadian di rumah Tante
Vi di Yogyakarta yang lalu setiap memandang mama selalu timbul birahiku. Di
sekolah tak kurang gadis sebaya yang lebih cantik yang tak menolak aku pacari,
namun justru dengan mama birahiku timbul.
Tapi
harus diakui meskipun mama sudah cukup umur namun memang masih cantik, putih,
tinggi, sintal, supel, luwes, berisi dan semenjak itu, hampir tiada batas
penghalang antara aku dan mama. Dimana tempat dan dimana waktu, kalau aku mau
mama selalu memenuhi. Dengan mama birahiku tak padam-padam. Setiap acara
teman-teman mama selalu menjadi acara luar kota yang
sangat mengasyikan dan menjadi acara favorit yang selalu aku tunggu-tunggu.
Sungguh
permainan ranjang mama menjadi suatu candu hidupku, sore hari, sebelum tidur,
sebelum belajar bahkan sebelum berangkat sekolah pun mama selalu siap. Dengan
lemah-lembut, keayuan, kepasrahan, dan naluri keibuannya mama memenuhi hasratku
sebagai lelaki.
Hingga
kini, ketika istriku tengah mengandung anakku yang ketiga, dimana istri sedang
tidak laik pakai, kembali mama sebagai penyelamat saluran nafsuku dan entah
sampai kapan lagi kami masih harus begini.
Komentar
Posting Komentar