Awan
terlihat semakin gelap dam mendung yang menggantung menandakan sebentar lagi
akan hujan. Pakde Marto menyuruh Siska membenahi sendok dan rantang makanannya
kemudian mereka bergegas pulang sebelum hujan turun. Siska adalah istrinya
Iding yang merupakan keponakan Pakde Marto yang sejak kecil ikut Pakde-nya.
Pakde
Marto ini adalah kakak bapaknya yang tidak mempunyai anak sendiri. Dan sesudah
menikah pasangan itu tetap mengikuti Pakde-nya yang sangat sayang pada
keponakannya. Sehari-hari mereka bahu membahu mencari sesuap nasi membantu
Pakde di sawah atau Budenya yang buka warung kecil-kecilan di rumahnya.
Seperti
biasanya menjelang siang Siska mengantarkan makanan dan minuman Pakde-nya yang
kerja di sawah. Hari itu kebetulan Iding pergi ke kota untuk
membeli pupuk dan bibit tanaman.
Rupanya
hujan keburu turun sementara mereka masih di tengah hamparan sawah desa yang
sangat luas itu. Hujan ini luar biasa lebatnya. Disertai dengan angin yang
menggoyang keras dan nyaris merubuhkan pohon-pohon di sawah hujan kali ini
sungguh luar biasa besarnya.
Sebagai
petani yang telah terbiasa denagn kejadian semacam ini dengan enteng Pakde
Marto membabat daun pisang yang lebar untuk mereka gunakan sebagai payung guna
sedikit mengurangi terpaan air hujan yang jatuh di wajah mereka yang menghambat
pandangan mata.
Sambil
memanggul cangkulnya Pakde Marto merangkul bahu Siska erat-erat agar payung
daun pisangnya benar-benar bisa melindungi mereka. Siska merasakan kehangatan
tubuh Pakde-nya. Demikian pula Pakde Marto merasakan kehangatan tubuh Siska
yang istri keponakannya itu.
Siska |
Jalan pematang langsung menjadi licin
sehingga mereka berdua tidak bisa bergerak cepat. Sementara pelukan mereka juga
bertambah erat karena Pakde Marto khawatir Siska jatuh dari pematang.
Kadang-kadang terjadi pergantian, satu saat Siska yang memeluki pinggang
Pakde-nya. Tiba-tiba ada “setan lewat” yang melihat mereka dan langsung
menyambar ke duanya.
Saat Pakde Marto memeluk bahu Siska tanpa
sengaja beberapa kali menyentuh payudaranya. Pada awalnya hal itu tidak
mempengaruhi Pakde, tetapi hawa dingin yang menyertai hujan itu ternyata
mendatangkan gelisah di hatinya. Kegelisahan yang bisa merubah perasaannya.
Saat pertama kali Pakde Marto tanpa sengaja menyentuh payudara istri
keponakannya dia agak kaget, khawatir Siska menganggap dirinya berlaku tidak
sopan.
Tetapi saat yang kedua kali dan kemudian
dengan sadar menyentuhnya kembali untuk yang ketiga kalinya dia tidak melihat
adanya reaksi menolak dari Siska, pikiran Pakde mulai dirasuki “setan lewat”
tadi. Dan pelan-pelan tetapi pasti batang di balik kolornya mulai menghangat
dan bangun.
Toh rasa ke-imanan Pakde Marto masih
berusaha bilang “jangan” walaupun tak bisa dipungkiri bahwa dalam hatinya dia
mengharapkan sesuatu keajaiban, mungkin semacam sinyal, yang datang dari Siska.
Demikian pula Siska yang merasakan
beberapa kali payudaranya tersentuh, pada awalnya dia tidak sepenuhnya
menyadari. Tetapi saat tersentuh untuk yang kedua kalinya dia mulai mengingat
sentuhan yang sama yang sering dilakukan oleh suaminya Iding. Biasanya kalau
Iding menyentuh macam itu pasti ada maunya.
Pikiran lugu Siska langsung disambar
“setan lewat” lagi. Adakah macam kemauan suaminya itu juga melanda kemauan
Pakde-nya di hari hujan yang dingin ini? Tetapi sebagaimana Pakde Marto, Siska
juga berusaha menepis pikiran buruknya dan berkata dalam hatinya “nggak
mungkin, ah”. Walaupun dibalik sanggahannya sendiri itu bersemi di hati
kecilnya, akankah datang sebuah keajaiban yang membuat tangan Pakde-nya
menyentuh payudaranya lagi?
Maka, ketika pelukkan Pakde Marto pada
bahu Siska yang semakin mengetat dan menyebabkan sentuhan ke tiga benar-benar
hadir, hal itu sudah merupakan awal kemenangan sang “setan lewat” tadi.
Demikian pula saat hujan yang semakin
deras dan jalan yang semakin licin hingga mengharuskan mereka menyesuaikan dan
mengganti posisi pelukan agar tidak jatuh dari pematang, pelukan Siska dari
arah punggung pada pinggang dan dada Pakde-nya mendorong lajunya bisikkan
“setan lewat” tadi. Buah dada Siska yang empuk menempel hangat di punggung dan
tangan halus Siska yang menyentuh perut dan dada, membuat batang Pakde-nya
benar-benar tidak tahu diri.
Keras mencuat ke depan seperti cengkal
kayu yang menonjol pada sarung anak yang disunat. Untung Siska berada di
belakangnya sehingga gangguan teknis itu tidak terlihat olehnya. Pakde Marto
mulai mencari-cari apa jalan keluarnya?
Demikian pula yang dirasakan Siska saat
memeluki Pakde-nya dari belakang. Tangannya yang ketat memeluk perut dan dada
Pakde-nya membuat buah dadanya demikian gatal saat tergosok-gosok punggung
Pakde yang tidak mungkin terdiam karena setiap langkah kaki Pakde-nya pasti
akan menggoncang seluruh bagian-bagian tubuhnya.
Kegatalan macam itu menjadi terasa nikmat
saat Siska mengingat bagaimana Iding suaminya sering menggosokkan wajahnya ke
payudaranya. Mudah-mudahan Pakde-nya tidak keberatan dengan pelukannya,
demikian pikiran lugu Siska.
Kemudian sang “setan lewat” kembali
membisikkan ke dalam pikirannya, mudah-mudahan rumahnya semakin menjauh dan
hujannya semakin menderas, yang disusul dengan seringai gigi taringnya karena
gembira melihat usahanya telah meraih kemenangannya secara mutlak. Sekarang
tinggal menggiring Pakde dan keponakkan mantunya ini menuju ke ke sentuhan
setannya yang terakhir.
Hujan yang demikian hebat ini membuat jam
2 siang hari bolong itu gelap serasa menjelang maghrib. Awan gelap masih
memenuhi langit. Dan lebih seram lagi kilat dan petir ikut menyambar-nyambar.
Pikiran Pakde Marto dan Siska sekarang adalah mencari tempat berteduh. Pakde
Marto tidak kehilangan arah.
Dia tahu persis kini berada di petak sawah
milik Sarmin tetangganya. Kalau dia belok sedikit ke kanan dia akan menjumpai
dangau untuk berteduh. Dan benar, begitu Pakde Marto yang dalam pelukan Siska
belok kekanan nampak bayangan kehitaman berdiri tegak di depan jalannya. Mereka
berdua memutuskan untuk berhenti dulu menunggu hujan sedikit reda.
Siska bisa menurunkan beban gendongannya
ke amben bambu yang ada di situ. Kini mereka saling memandang. Siska memandang
kaos oblong Pakde-nya yang basah kuyup lengket di tubuhnya dan menunjukkan
bayangan dadanya yang gempal berotot.
Sementara Pakde Marto melihat kebaya dan
kain di tubuh Siska yang istri keponakannya basah kuyup dan membuat bayangan
tubuhnya yang sintal dengan payudaranya yang menggembung ke depan. Dengan
setengah mati Pakde Marto berusaha menyembunyikan tonjolan batangnya pada
celana kolornya.
Pakde Marto memperkirakan jarak dangau itu
ke dusunnya kira-kira “se-udut”-an, sebuah perhitungan yang biasa dipakai orang
desa mengenai jarak dekat atau jauh diukur dari sebatang rokok yang dinyalakan
(dihisap).
Mungkin sekitar 6 s/d 8 menit orang jalan
kaki. Sementara itu tak bisa diharapkan akan ada orang lewat sawah ini dalam
keadaan hujan macam begini. Pandangan mata secara jelas ke depan tidak lebih
dari 5 meter, selebihnya kabut hujan yang menyelimuti seluruh hamparan sawah
itu.
Dalam usaha menghindar percikan hujan di
dangau Pakde Marto dan Siska harus duduk meringkuk ketengah amben yang relatip
sangat sempit yang tersedia. Artinya seluruh anggota tubuh harus naik ke amben
sehingga mau tidak mau mereka harus kembali berhimpitan. Dan sang “setan lewat”
kembali hadir menawarkan berbagai pertimbangan dan keputusan.
Siska yang ditimpa hujan dan hawa dingin
menggigil. Demikian juga Pakde Marto. Untuk menunjukkan rasa iba pada istri
keponakannya Pakde meraih pundak Siska dan membagikan kehangatan tubuhnya. Dan
untuk menghormati maksud baik Pakde-nya Siska menyenderkan kepalanya pada
dadanya.
Walaupun pakaian mereka serba basah tetapi
saat tubuh-tubuh mereka nempel kehangatan itu terjadi juga. Dan pelukan yang
ini sudah berbeda dengan pelukan saat awal Pakde Marto membagi payung daun
pisangnya tadi. Pelukan yang sekarang ini sudah terkontaminasi secara
akumulatip oleh campur tangan sang “setan lewat” tadi.
Saat kepala Siska terasa pasrah bersender
pada dada, jantung Pakde Marto langsung tidak berjalan normal. Dan tonjolan di
celananya membuat susah memposisikan duduknya. Demikian pula bagi Siska. Saat
Pakde-nya meraih bahunya untuk memberikan kehangatan pada tubuhnya dia
merasakan seakan Iding yang meraihnya.
Dengan wajahnya yang mendongak pasrah
menatap ke wajah Pakde-nya Siska semakin menggigil hingga kedengaran giginya
yang gemelutuk beradu. Dan inilah saatnya “sang setan” lewat melemparkan
bisikan racunnya yang terakhir kepada Pakde Marto.
“Ambil!, Ambil!, Ambil!, Ambil!”, dan
Pakde tahu persis maksudnya.
Seperti bunga layu yang jatuh dari
tangkainya, wajah Pakde Marto langsung jatuh merunduk. Bibirnya menjemput bibir
Siska yang istri keponakkannya itu. Dan desah-desah lembut dari dua insan
manusia itu, membuat seluruh rasa dingin dari baju yang basah dan tiupan angin
menderu akibat hujan lebat itu musnah seketika dari persada Pakde Marto maupun
persada Siska.
Mereka kini saling melumat. Sang “setan
lewat” cepat berlalu untuk menghadap atasannya dengan laporan bahwa otomatisasi
setannya sudah ditinggal dan terpasang dalam posisi “ON” pada setiap dada
korbannya. Kini dia berhak menerima bintang kehormatan para setan.
Dan lumatan lembut menjadi pagutan liar.
Kini lidah dan bibir mereka saling berebut jilatan, isepan dan kecupan. Dan
bukan hanya sebatas bibir. Jilatan, isepan dan kecupan itu merambah dan
menghujan ke segala arah. Keduanya menggelinjang dalam gelombang dahsyat birahi.
Siska menggeliatkan tubuhnya minta agar Pakde-nya cepat merangkulnya. Pakde
Marto sendiri langsung memeluki dada Siska.
Wajahnya merangsek buah dadanya.
Dikenyotnya baju basah penutup buah dadanya. Siska langsung mengerang
keras-keras mengalahkan suara hujan. Kaki-kakinya menginjak tepian amben
sebagai tumpuan untuk mengangkat-angkat pantatnya sebagai sinyal untuk
Pakde-nya bahwa dia sudah menunggu tindak lanjut operasi cepat Pakde-nya.
Pakde Marto memang mau segalanya berjalan
cepat. Waktu mereka tidak banyak. Segalanya harus bisa diraih sebelum hujan
reda. Dan operasi ini tidak memerlukan prosedur formal. Kain penutup tubuh Siska
cukup dia singkap dengan tangannya hingga ke pinggang. Nonok Siska yang
menggembung nampak sangat ranum dalam bayangan jembutnya yang lembut tipis.
Kelentitnya nampak ngaceng mengeras
menunggu lumatan lidahnya. Tak ada yang ditunggu, wajah Pakde Marto langsung
merangsek ke kemaluan ranum itu. Bibir dan lidahnya melumat dan menghisap
seluruh perangkat kemaluan itu. Tangan Siska menangkap kepala Pakdenya,
menekannya agar lumatan dan jilatan Pakde-nya lebih meruyak masuk ke dalam
vaginanya.
Cairan birahi yang asin hangat bercampur
dengan air hujan dia sedot dan telan untuk membasahi kerongkongannya yang
kering kehausan. Itil Siska dia lumat dan gigit dengan sepenuh gemasnya.
Tekanan Siska pada kepalanya berubah jadi jambakkan pada rambutnya. Pantat Siska
terus naik-naik menjemput bibir dan lidah Pakde-nya. Tetapi Pakde Marto tidak
akan mengikuti kemauan idealnya. Hitungan waktu mundurnya sudah dimulai.
Kini Pakde Marto yang sudah meninggalkan
celana kolornya di rerumputan pematang merangkak ke atas dan memeluki tubuh
basah hujan Siska. Batangnya berayun-ayun mencari sasarannya. Paha Siska yang
hangat langsung menjepit tubuh Pakde-nya dengan nonoknya yang tepat terarah ke
ujung batang Pakde Marto. Untuk langkah lanjutannya, mereka berdua, baik yang
senior maupun yang yunior sudah terampil dengan sendirinya.
Ujung batang Pakde Marto sudah tepat
berada di lubang vagina istri keponakannya. Mereka telah siap melakukan manuver
akhir sambil menunggu hujan reda. Dan saat mereka saling dorong, kemaluan Pakde
Marto langsung amblas ditelan vagina Siska. Sambil bibir-bibir mereka saling
melumat, Pakde Sastro mengayun dan Siska menggoyang.
batang kemaluan dan liang kewanitaan Siska
bertemu dalam kehangatan seksual birahi ruang luar, ditengah derasnya hujan,
tiupan angin dan kilat serta petir yang menyambar-nyambar dengan disaksikan
oleh segenap dangau yang lengkap dengan berisik ambennya, oleh belalang yang
ikut berteduh di atapnya, oleh kodok yang bersuka ria menyambut hujan, oleh
wereng yang berlindung di daunan padi yang sedang menguning, oleh baju-baju
mereka yang basah dan lengket di badan.
Pakde Marto mempercepat ayunan batangnya
pada lubang kemaluan Siska. Walaupun dia sangat kagum sekaligus merasai nikmat
yang sangat dahsyat atas penetrasi batangnya pada lubang vagina Siska yang
serasa perawan itu, dia tetap “concern” dengan waktu. Siska yang menikmati
legitnya batang Pakde-nya menggelinjang dengan hebatnya.
Dia juga ingin selekasnya meraih
orgasmenya. Genjotan batang Pakde-nya yang semakin cepat pada kemaluannya
mempercepat dorongan untuk orgasmenya. Kini dia merasakan segalanya telah siap
berada di ujung perjalanan. Dan dengan jambakan tangannya pada rambut Pakde
Marto, bak kuda betina yang lepas dari kandangnya Siska memacu seluruh
saraf-saraf pekanya.
Kedua kakinya dia jejakkan keras-keras
pada tepian amben dangau hingga pantatnya terangkat tinggi untuk menelan
seluruh batang batang Pakde Marto dan datanglah kenikmatan merangkum seluruh
otot, daging dan tulang belulang Siska. Cairan birahi Siska muncrat melebihi
derasnya hujan siang itu.
Terus muncrat-muncrat yang diikuti dengan
pantatnya yang terus naik-naik menjemputi batang Pakde Marto yang juga terus
mempercepat sodokkannya untuk mengejar kesempatan meraih orgasme secara
berbarengan dengan orgasme Siska.
Dan pada saat puncratan cairan vagina Siska
mulai surut batang Pakde Marto yang masih kencang mengayun vagina Siska
tiba-tiba berkedut keras. Kedutan besar pertama menumpahkan bermili-mili liter
air mani yang kental lengket dari kantong spermanya. Dan kedutan berikutnya
merupakan kedutan pengiring yang menguras habis kandungan sperma dari
kantongnya.
Sesaat kemudian bersamaan dengan surutnya
hujan mereka berdua Pakde Marto dan Siska yang istri keponakannya
terengah-engah dan rebah. Amben dangau itu nyaris terbongkar. Bambu-bambunya
ada yang lepas terjatuh. Mereka kini kegerahan dalam dinginnya sisa hujan.
Keringat mereka bercucuran rancu dengan air hujan yang membasahi sebelumnya.
Pakde Marto dan Siska telah meraih
kepuasan yang sangat dahsyat. Pelan-pelan mereka bangkit dari amben dan turun
ke pematang kembali. Siska membetulkan letak kain dan kebayanya. Pakde Marto
memakai celana kolornya yang basah jatuh di pematang dan kembali meraih
cangkulnya. Langit yang cepat cerah kembali nampak biru dengan sisa awan yang
berarak menyingkir.
Pohon kelapa di dusunnya nampak
melambai-lambai menanti kepulangannya. Siska dan Pakde Marto yakin bahwa Bude
maupun Iding pasti cemas pada mereka yang tertahan hujan ini. Pakde sudah
membayangkan pasti istrinya telah memasak air untuk kopinya lengkap dengan
singkong bakar kesukaannya.
Dan dalam bayangan Siska, Iding pasti
telah sangat merindukannya untuk bercumbu di siang hari. Suara kodok di sawah
mengantarkan mereka pulang ke rumahnya.
Komentar
Posting Komentar